Senin, 10 Oktober 2016

Merekonstruksi Semangat Para Generasi Muda untuk Berkiprah di Industri #BatikIndonesia Sehingga Meningkatkan Eksistensi Batik Sebagai Identitas Indonesia di Dunia Internasional


Indonesia memiliki banyak sekali ragam peninggalan budaya dari masa lalu. Misalnya seperti bangunan-bangunan bersejarah (candi, stupa, keraton, benteng dll); rumah, lagu dan pakaian adat; tari-tarian dan masih banyak lagi untuk disebut satu persatu.  

Dari sekian banyaknya kebudayaan yang kita miliki, salah satu yang paling terkenal di kalangan masyarakat adalah batik. Sebuah pakaian yang sering kita jumpai (atau dipakai) pada saat pergi ke acara pernikahan, ketika sekolah dulu, hingga pada pertemuan tingkat presiden dan jajarannya. 

Namun, dengan familiarnya kita dengan warisan budaya yang satu ini (batik), belum tentu kita tahu seluk beluk tentangnya. Bisa jadi, batik yang kita anggap hanya sebatas pakaian yang kita pakai di saat acara seremonial saja, malah memiliki fakta-fakta unik dan sesuatu yang mengagumkan! Mari kita ulas. Ohiya, satu lagi, kita baru saja melewati Hari Batik Nasional di tanggal 2 Oktober kemarin. Sebuah tanggal yang bertepatan dengan... mari kita ulas dan temukan jawabannya di bawah ini.  

Mengenal Asal-Usul Batik dan Berbagai Macam Jenisnya

Batik sudah dikenal sebagai bagian dari budaya Indonesia khususnya suku Jawa sejak diakhir abad 18. Catatan mengenai lahirnya budaya membatik di Indonesia erat kaitannya dengan masa kerajaan Majapahit, kemudian semakin berkembang pada era kerajaan Solo dan Yogyakarta. Batik merupakan sebuah seni menggambar atau melukis di atas kain pakaian yang biasanya digunakan untuk para keluarga raja dan para bawahannya (di masa kerajaan lalu). Pada awalnya, corak batik hanyalah bentuk tanaman dan binatang. Namun, seiring dengan berkembangnya kebudayaan dan juga inovasi, kemudian corak batik semakin bervariasi. Misalnya corak dengan motif relief candi, wayang, awan dan sebagainya. 

Terdapat dua kelompok besar yang mereprenstasikan karakteristik batik di Indonesia, yakni “bati pesisiran” dan “batik keraton”. Dalam buku Santoso Doelah (Batik; Pengaruh Zaman dan Lingkungan), mendefinisikan batik pesisiran sebagai batik yang berkembang di wilayah pantai utara Jawa. Sedangkan batik keraton adalah batik yang tumbuh di dalam dan juga lingkungan keraton. 

Contoh batik pesisiran yang kita kenali saat ini adalah batik Cirebon dan batik Pekalongan. Lalu, batik Solo dan batik Yogyakarta mewakili karakteristik batik keraton. Secara ringkas perbedaan antara batik pesisir dan batik keraton terlihat dari coraknya, batik pesisir memiliki warna yang lebih cerah dan juga motif yang lebih ekspresif, di sisi lain batik keraton terkenal dengan warna yang lebih gelap dengan motif yang lebih konservatis atau kalem. 

Batik Tulis (kiri) dan Batik Cap (kanan) –threadsoflife

Batik menjadi Aset Budaya yang Penting bagi Bangsa Indonesia

Di Uni Emirat Arab, tepatnya di kota Dubai. Pada tanggal 2 Oktober 2014. UNESCO menetapkan Batik Indonesia ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity), maka kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhyono menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Batik Nasional. Jadi, penetapan Hari Batik Nasional yang baru saja lewat beberapa hari yang lalu bukanlah sembarang ambil tanggal, melainkan karena bertepatan dengan momen pengukuhan Batik Indonesia sebagai warisan budaya.

Penghargaan ini tentu merupakan sebuah pengakuan di kalangan dunia mengenai batik sebagai salah satu identitas Bangsa Indonesia. Karena, negara kita bukanlah satu-satunya negara yang mempunyai budaya atau kesenian batik. Contohnya negara tetangga kita Malaysia dan Thailand. Belum lagi Jepang, China hingga Mesir juga memiliki dan memproduksi batik dengan ciri khas masing-masing.

Selain dari segi prestise, dengan ditetapkannya Batik Indonesia sebagai warisan budaya juga membawa dampak positif dari sisi ekonomi. Terutama bagi industri batik. 

“Di perusahaan kami ada kenaikan permintaan sampai 60 persen. Taflak meja batik misalnya, setiap hari biasanya hanya laku 2.000 lembar kini naik menjadi 5.000 lembar. Begitu juga untuk jenis lainnya seperti pakaian dan sprei,” kata Bambang Slameto, pemilik PT Batik Merak Manis Solo. 

Menjadi sebuah kebanggaan bagi kita semua jika ada satu warisan leluhur kita yang diakui di kancah internasional. Karena kita juga harus bersaing dengan negara lain yang memiliki budaya batik. Dan juga, ada banyak sekali hal-hal positif yang negara ini dapatkan darinya. Tetapi, kabar baiknya tidak berhenti sampai sini saja. Karena selang hampir 3 minggu kemudian, Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan sebagai Kota Batik Dunia! Pencapaian yang luar biasa dari salah satu warisan budaya kita, batik.

Salah satu jenis batik di Indonesia, yakni Batik Yogyakarta yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terpilih menjadi Kota Batik Dunia oleh World Craft Council (WCC) pada tahun 2014. Sebuah prestasi yang membanggakan bagi Indonesia, karena DIY harus melewati berbagai macam kriteria untuk meraih predikat tersebut. Seperti nilai sejarah tentang batik yang terpustaka dengan baik dan lengkap, orisinalitas dari nilai seni batik keraton yang masih tetap terjaga dari masa kerajaan dulu hingga masa modern saat ini, nilai ekonomi yang cukup signifikan bagi perkembangan industri batik kecil menengah, reputasi internasional, persebarannya hingga regenerasi dari orang-orang yang berkecimpung di dunia batik. 

Situasi dan Tantangan Masa Kini Industri Batik Nasional

Perkembangan industri batik nasional mirip seperti sektor industri lainnya, sama-sama mengalami siklus pasang surut kehidupan. Beberapa pengamat seperti Denys Lombard yang menyatakan bahwa industri batik bisa seperti saat ini merupakan hasil perjalanan di masa lalu yang cukup lama. Di masa penjajahan Jepang, menurut Afif Syakur yang merupakan pembatik di Yogyakarta merupakan masa-masa yang cukup kelam karena ada kelangkaan bahan baku batik. Namun, ketika Indonesia sudah merdeka, Bung Karno kembali mengobarkan kesadaran dan semangat para rakyat Indonesia untuk mencintai dan menggunakan batik. Berlanjut di masa orde baru, jalan lapang bagi industri batik mulai kembali melebar ketika Ibu Tien Soeharto sangat tertarik kepada batik dan juga disokong oleh kebijakan Presiden Soeharto saat menyambut tamu di Istana Negara menggunakan batik berlengan panjang. 

Hal tersebut sedikit banyak membuat para pelaku industri sadar jika batik memiliki nilai jual yang tinggi dan membuat mereka semakin terpacu untuk terus berinovasi dengan desain baru hingga media atau bahan batik itu sendiri. Hingga akhirnya menyadarkan pula bahwa batik memiliki potensi untuk menjadi komoditas ekspor. 

Namun, untuk menjadi pemain utama perbatikan internasional, terdapat masalah yang cukup serius mengenai pesaing dari negara lain yang ternyata memiliki inovasi yang lebih kaya dibandingkan dengan industri batik nasional . Faktor tersebut juga bisa terjadi karena ada pembatasan tentang motif di batik keraton. 

“Knowledge is a Power”

Dampaknya, bisa terlihat saat ini jika industri batik nasional relatif tertinggal dengan sektor industri lain di tengah bertumbuhnya perekonomian Indonesia kurun waktu tersebut. Mayoritas industri batik merupakan skala menengah dan kecil. 

Saat ini, berbeda dengan masa lalu. Di era penjajahan Jepang misalnya, industri batik sampai kesulitan untuk mendapatkan bahan baku (walau tak lepas dari segi politik) tetapi itu merupakan pertanda jika industri batik sedang menggeliat (karena permintaan bahan baku tidak bisa diimbangi dengan suplai bahan baku. Alias mengalami kelangkaan). Sekarang, pertumbuhan sebuah industri (dan juga perekonomian makro) sangat berlandaskan oleh pengetahuan (knowledge based economy), sehingga di era modern ini masing-masing produsen batik adu pengetahuan, adu inovasi dari batik itu sendiri. Sehingga peran manusia menjadi sangat sentral di masa ekonomi berbasis pengetahuan, karena manusia lah yang memiliki akal sehingga bisa berinovasi, bukan mesin dan bukan pula kain. Dengan inovasi yang semakin meningkat, akan membuat persaingan semakin kompetitif. Malah jika ditelisik lebih dalam, sangat sulit untuk tetap eksis di dalam pasar global (atau bahkan pasar domestik, karena harus bersaing dengan produk impor) jika industri batik nasional tidak bisa menyaingi inovasi dari negara-negara luar. 

Seperti yang sudah kita singgung sedikit jika dalam diri manusia terdapat segala bentuk inovasi, keahlian dan pengalaman (dapat disebut sebagai pengetahuan tasit) sehingga menjadi faktor kunci dari industri batik yang hidup di masa ekonomi berbasis pengetahuan ini, maka industri batik nasional dan pemerintah harus melihat dan memfasilitasi sumber daya manusia yang dimiliki industri batik nasional.

Sumbangsih Batik Terhadap Perekonomian

Ada banyak pendekatan atau data yang bisa kita gunakan sebagai tolak ukur industri batik nasional terhadap perekonomian Indonesia. Metode umum yang biasa kita gunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi adalah dengan menghitung Produk Domestik Bruto (PDB).

PDB= C+I+G+(X-M)

C: Konsumsi rumah tangga
G: Belanja pemerintah
I: Investasi
X-M : Ekspor - Impor

Jika kita ingin melihat seberapa besar pendapatan devisa negara, maka kita bisa gunakan data ekspor batik. Selain itu, jika nilai ekspor masih lebih besar dibandingkan dengan impor, maka hal itu juga akan cenderung meningkatkan PDB (jika faktor-faktor lain seperti konsumsi, investasi dan belanja pemerintah dianggap tetap).

Ekspor Batik. Sumber: Kemenperin.go.id, data diolah penulis

Ternyata, penghargaan yang Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta raih dari lembaga internasional sedikit banyak berdampak positif mengenai permintaan batik di luar negeri. Dalam kurun waktu 5 tahun kebelakang, terlihat bagaimana tren ekspor batik selalu meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun nilai ekspor batik (pada tahun 2015) tidak terlalu signifikan dalam total ekspor tahun lalu yang nilainya mencapai 1.950 triliun rupiah  atau hanya menyumbang 2,5% dari total ekspor 2015. Tetapi, di saat ekspor barang-barang komoditas dan migas mengalami masa surut, kita tidak boleh abai dengan nilai ekspor batik yang konsisten tumbuh dari tahun ke tahun.

Selain dari ekspor, terdapat satu data yang juga memiliki pengaruh terhadap PDB Indonesia. Yakni jumlah tenaga kerja di industri batik. Yap, mengapa saya memasukan data jumlah pengrajin batik di Indonesia? Karena dari data yang dirilis oleh Kemeperin.go.id jika jumlah ekspor batik tiap tahunnya selalu meningkat, maka hal ini seharusnya juga berlaku sama dengan jumlah pengrajin batik Indonesia. 

Data: Kemenperin.go.id. Grafis: Penulis

Jumlah pengrajin batik dalam 5 tahun ke belakang mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yakni sebesar 14,7%. Nilai yang sama dengan peningkatan ekspor batik di periode yang sama. Namun, kekurangan di data ini adalah tidak spesifik peningkatannya dari golongan tua atau muda. Tetapi, di sisi lain. peningkatan ini juga berarti positif. Mengapa? Karena dengan bertambahnya tenaga kerja di industri batik maka mengindikasikan jika produksi batik semakin meningkat dan juga bisa menjadi salah satu alternatif lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi.

Secara keseluruhan dari segi ekonomi, industri batik memiliki pengaruh yang positif bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Walaupun porsinya masih terlalu kecil jika kita bandingkan dengan industri di bidang tambang atau migas. Namun, tidak bisa kita pungkiri bahwa industri batik saat ini sedang berada di jalur yang tepat. Tinggal bagaimana seluruh stakeholder bisa mengembangkan dan memberdayakan industri ini lebih baik ke depannya. Sehingga sumbangsihnya terhadap perekonomian makro Indonesia bisa lebih besar lagi.

Sebuah Permasalahan

Di balik berita membanggakan yang kita dengar dari salah satu warisan budaya ini, ternyata di sisi lain juga menyimpan cerita pilu. Yap, dalam berita online Tempo, tertulis jika status Kota Batik Dunia yang disematkan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak tahun 2014 terancam dicabut.  Alasannya, karena nyaris mandeknya regenerasi para pengrajin batik di Yogyakarta yang sedikit banyak disebabkan oleh rendahnya minat masyarakat untuk menjadi penerus pengrajin batik. Permasalahan regenerasi pengrajin batik ini tidak hanya dialami oleh industri batik di DIY saja, namun fenomena ini juga terjadi di berbagai sentra produksi batik nasional. Seperti di Surakarta, Tasikmalaya, Purwokerto dan berbagai daerah lainnya. 

Dalam pernyataan Sekjen Dewan Kerajinan Nasional Daerah DIY Zainal Arifin Hasoead di harian Tempo menyatakan jika gelar DIY sebagai Kota Batik Dunia hanya 4 tahun, tetapi jika tidak bisa mempertahankan kriteria yang dibuat oleh WCC (World Craft Council) maka gelar DIY akan dicabut. 

Cukup dikhawatirkan mengenai isu pencabutan gelar Kota Batik Dunia dari DIY. Bahwa Indonesia nanti (misalkan, jika pencabutan terjadi) sedikit banyak akan mengurangi pengakuan dunia internasional sebagai negara yang melahirkan batik. Namun menurut saya, lebih menghwatirkan lagi adalah mengenai faktor penyebab (terancam) dicabutnya gelar tersebut. Yakni regenerasi di pengrajin batik yang tidak berjalan lancar. Karena keberlangsungan Batik Indonesia di masa depan sangat bergantung dengan generasi muda saat kini. Jika sedikit sekali para generasi penerus pengrajin batik nasional, maka keberadaan batik (terutama tulis) tidak dapat dipungkiri bisa punah.


Dalam infografis di atas terdapat 3 faktor utama lambannya proses regenerasi pengrajin batik di Indonesia. Pertama adalah mengenai upah sebagai pengrajin batik yang relatif tidak besar untuk dijadikan mata pencaharian utama. Selanjutnya karena adanya arus modernitas yang telah merambah di kalangan pemuda, sehingga mengurangi intensitas golongan mereka untuk mengenal dan ikut terjun langsung di dunia batik (terutama tulis) dan modernisasi yang gencar saat ini membuat batik cenderung dianggap sebagai budaya kuno, tidak kekinian jika disebut dengan bahasa yang sedang ngetren saat ini. Faktor terakhir mengenai pendidikan tentang batik baik dalam teori, sejarah dan praktik di sekolah-sekolah formal yang masih belum merata dan masih dianggap sebagai pelengkap dari mata pelajaran seni dan budaya. Walaupun ada beberapa sekolah di Yogyakarta yang telah menjadikan batik sebagai salah satu mata pelajaran yang utama serta sekolah kejuruan tekstil yang mendalami ilmu tentang batik. Namun, untuk melestarikan warisan budaya yang sudah diakui oleh dunia akan sangat naif jika hanya mengandalkan kepada sekolah yang memiliki pelajaran seni batik (dengan jumlahnya sangat minoritas). 
\ 
     Ditangan Mereka Tongkat Estafet Budaya Batik Indonesia akan Diteruskan. Doc: Diambil dari berbagai sumber.


Sekilas, memang regenerasi yang lambat bisa diatasi dengan penggunaan mesin cetak. Karena fungsinya sama dengan pengrajin batik, yakni sama-sama menghasilkan batik. Namun, jika hanya mengandalkan mesin cetak, kita akan kehilangan salah satu ciri khas yang menjadikan Indonesia dan Yogyakarta meraih penghargaan di tingkat dunia, yakni keindahan batik tulisnya. Jika hal tersebut sampai terjadi (semoga tidak) maka anak cucu kita nanti hanya bisa melihat keindahan dan kepopuleran batik tulis dari buku-buku sejarah. 

“Ini merupakan batik tulis yang pernah menjadikan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia dan Indonesia mendapatkan pengukuhan tentang warisan budaya” Sebuah kalimat pengandaian di buku sejarah masa depan jika kita tidak mengantisipasinya saat ini.

Beberapa Solusi Alternatif

Saya berusaha fokus di penanganan masalah regenerasi di kalangan pengrajin batik yang lambat. Dilihat dari faktor penyebabnya, maka ringkasnya ada beberapa hal yang perumus kebijakan dan pelaku industri batik lakukan:

1. Meningkatkan nilai ekonomi dari bisnis batik
2. Makin memasifkan dan mendalami ajaran-ajaran tentang batik di setiap sekolah

Untuk poin nomor 1, mungkin bisa semakin diintegrasikan lagi antara batik dan pariwisata di wilayah yang bersangkutan. Sehingga, ketika para turis yang kembali pulang bisa mengenalkan buah tangannya (batik) kepada kerabatnya di sana. Kemudian efek dominonya bisa terasa dalam dunia bisnis perbatikan nasional.

Kemudian dalam poin selanjutnya, ini berkaitan dengan kementrian yang bersangkutan, Kementrian Pendidikan untuk bisa menginternalisasi nilai-nilai batik kepada para murid di tingkat sekolah.
Walaupun inovasi dari batik nasional juga diperlukan untuk bersaing di tingkat global dan mengikuti permintaan pasar, namun hal yang sedang mendesak adalah bagaimana membuat regenerasi pengrajin batik berjalan mulus. Sehingga, warisan berharga ini masih akan tetap eksis di masa depan.

Blog ini diikutkan pada lomba blog Jogja Batik Bienalle

Daftar Pustaka

Dennys Lombard,  Nusa Jawa Silang Budaya, Jakarta: PT. Gramedia, 2002.
H. Santosa Doelah, Batik; Pengaruh Zaman dan Lingkungan, Surakarta: Penerbit Danar Hadi, 2002
http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/industri/Pages/batik.aspx
http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/jambi/Documents/
pecinta-batik.on.paseban.com
http://news.detik.com/berita/1213370/batik-ditetapkan-unesco-sebagai-warisan-budaya-indonesia-pakai-yuk
http://jaringnews.com/ekonomi/ukm/19370/perkembangan-batik-tak-diimbangi-regenerasi-pembatik
http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/jambi/Documents/8a8166fa193f46bca82d561c8004f27aBOKS3MENDORONGPENGEMBANGANINDUSTRIBATIKJAMBIDENGAN.pdf
http://www.kemenperin.go.id/artikel/15310/Batik-Indonesia-Makin-Mendunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar