Sabtu, 02 Mei 2015

Menakar Prospek Eks-Im di Tengah Perlambatan Ekonomi Global


Seringkali kita sering mendengar bahwa manusia tidak ada yang bisa hidup sendirian dan pasti memerlukan bantuan orang lain. Tidak terkecuali sebuah negara. Hampir semua negara memiliki sebuah ketergantungan terhadap negara lain, terutama untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Negara adi daya Amerika Serikat saja masih membutuhkan negara lain untuk memenuhi bahan baku industrinya maupun juga memasarkan produksi pabriknya kepada negara lain. Bahkan Korea Utara yang menutup diri dari hiruk-pikuk masyarakat global juga masih memiliki hubungan diplomatik maupun ekonomi kepada Tiongkok dan Russia (karena persamaan ideologi, komunis).

Nah, dalam essay ini penulis akan membahas tentang strategi ekspor-impor di tengah perlambatan ekonomi global. Sebelum kita masuk ke topik inti dari essay ini, saya akan membahas tentang pengertian ekspor dan impor itu sendiri.

Wikipedia menuliskan pengertian ekspor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain (Merriam-Webster's: Collegiate Dictionary. 11th ed. 2003. United States of America. Merriam-Webster,Inc. 2003. hal 441). Proses ini seringkali digunakan oleh perusahaan dengan skala bisini kecil sampai menengah sebagai sebagai strategi utama untuk bersaing di tingkat internasional (Deresky, Helen. International Management. 4th ed. 2006. United States of America. Addison - Wesley. Hal 237). Strategi ekspor digunakan karena risiko lebih rendah, modal lebih kecil dan lebih mudah bila dibandingkan dengan strategi lainnya (Deresky, Helen. International Management. 4th ed. 2006. United States of America. Addison - Wesley. Hal 237).

Nah di paragraf atas tadi sudah dijabarkan pengertian ekspor lalu apa pengertian impor?
Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia "Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan"). Proses impor umumnya adalah tindakan memasukan barang atau komoditas dari negara lain ke dalam negeri. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari perdagangan internasional, lawannya adalah ekspor (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia "Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan").
Okee, sudah dibahas pengertian dari ekspor dan impor, kalo dari pandangan saya ekspor itu barang yang ada di dalam negeri dikirim ke luar negeri. Sedangkan impor sebaliknya, barang yang ada di luar negeri masuk ke dalam negeri.


Indonesia memainkan peran dalam perdagangan dunia sebagai pemasok bahan baku bagi negara-negara industri. Banyak hasil alam yang ada di Indonesia diangkut keluar negeri, misalnya seperti bahan tambang (batu bara, tembaga, dll), perkebunan (kelapa sawit, karet, kayu, kertas, dll), rempah-rempah (kopi, teh, dll), ikan dan udang, maupun komoditi lain yang juga diekspor namun nilai ekspornya lebih kecil daripada komoditi yang saya sebut diawal.

Seperti yang saya sampaikan di awal, bahwa Indonesia bergantung kepada komoditi pada ekspornya. Lalu saya akan membagi menjadi dua bagian yang mengupas hal-hal yang berkaitan dengan komoditi. Judulnya Commodity Bull Market dan Commodity Bear Market.

Kedua istilah tadi intinya ada di kata “Bull” dan “Bear”. Istilah itu sering dikemukakan dalam dunia investasi. Filosofinya seperti ini: bull itu artinya banteng. Namanya banteng, ketika marah, pasti menyeruduk objeknya dari bawah keatas, artinya jika ada kata bull, berarti harga ataupun nilai investasi (dalam hal ini untuk komoditi, karena kita pada saat ini membahas komoditi) akan naik. Lalu, ada bear yang artinya beruang. Beruang ketika mengamuk, akan membanting objeknya dari atas ke bawa, jadi disimpulkan bahwa jika ada istilah bear maka nilai ataupun harga investasi (komoditi pada pembahasan kali ini) menurun.

Okee, sudah saya jabarkan di paragraf sebelumnya tentang commodity bull market dan commodity bear market. Langsung aja kita masuk ke pembahasannya. Here we go!


Commodity Bull Market

Tren ini berlangsung sejak tahun awal 2000an sampai 2011 (di tahun 2008 harga komoditi sempat anjlok). Ketika itu kebanyakan harga komoditi mengalami kenaikan harga, disebabkan permintaan yang juga meningkat pada masa itu. Banyak negara-negara berkembang yang mendapatkan cuan pada masa ini, termasuk Indonesia. Ketika barang jualan utamanya (komoditi) harganya sedang tinggi dan selaras dengan permintaan akan barang itu yang juga tinggi, maka negara-negara penghasil komoditi tadi untung besar.

Hal ini dicerminkan dari neraca perdagangan Indonesia yang selalu surplus pada masa commodity bull market. Memang sempat mengalami deficit ketika krisis subprime di tahun 2008, namun hal itu dikarenakan karena memang terjadi perlambatan ekonomi dari AS dan efeknya menyeret negara-negara lain, termasuk Indonesia. 

Chart 1

Harga barang hasil tambang mengalami fase bull, mulai dari batu bara, tembaga, timah, dll.
Yang pertama ada grafik harga tembaga periode 2004-2011 (saya ambil dari id.tradingeconomics.com):

Chart 2

Terjadi penurunan harga yang cukup dalam di tahun 2008 karena krisis subprime, namun hal ini tidak hanya dialami oleh tembaga saja, nanti di bawah juga akan ditampilkan harga komoditi lain juga mengalami hal yang sama paska krisis subprime di AS.

Lalu ada grafik harga batu bara periode 2006-2015 (sahamok.com), harga puncaknya terjadi di tahin 2008. Hal ini juga membawa berkah terhadap perusahaan yang bermain di sector ini. Contohnya BUMI. Masih di tahun yang sama, saham BUMI yang listing di Bursa Efek Indonesia juga mencapai titik tertingginya, yakni mencapai Rp 8.750 per lembarnya pada bulan Juni 2008.

Chart 2

Harga karet (id.tradingeconomics.com) juga memiliki pola yang sama dengan komoditi lainnya. Trennya secara umum mengalami kenaikan, namun diselingi dengan koreksi cukup dalam ketika krisis subprime pada 2008.

Chart 3

Setelah itu ada harga crude palm oil alias minyak kelapa sawit. Berikut grafiknya (sahamok.com):

Chart 4

Harga CPO mencapai titik puncak di tahun 2008, namun setelah itu terjun bebas ketika krisis subprime. Harga CPO kembali rebound setelah anjlok dan berlanjut hingga mencapai harga tertinggi pada tahun 2011 dan memecahkan harga tertinggi CPO sebelum krisis.


Ekonomi China yang Sedang On Fire

Tren commodity bull market ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya ada China yang pertumbuhan ekonominya berlari kencang sampai mencapai double digit.

Chart 5

Terlihat bahwa dari grafik pertumbuhan ekonomi di China yang mulai berlari dari tahun 2000 hingga puncaknya mencapai tahun 2008. Berarti menandakan bahwa perekonomian China sedang tumbuh. Nah, jika ekonomi suatu negara sedang tumbuh dengan bagus, maka efeknya akan berdampak bagus kepada bisnis industri (salah satunya, karena masih ada sektor jasa, konsumsi, investasi, dll). Bagaimana kita bisa melihat sektor bisnis sedang bergairah atau lesu? Ada indikator yang menampilkan kinerja bisnis industry, yakni PMI Manufaktur. PMI disini bukan PMI Palang Merah Indonesia yaa (hahaha) tapi merupakan singkatan dari Purchasing Managers Index. PMI Manufaktur ini merangkum survei bisnis di bidang manufaktur suatu negara. Selain itu Indeks PMI Manufaktur mengindikasikan kondisi iklim bisnis manufaktur di negara tersebut. Indeks PMI Manufaktur diukur dalam skala indeks poin 100 dengan nilai tengah 50. Jika indeks berada diatas 50 maka menandakan bisnis manufaktur sedang berekspansi, nah jika indeks PMI di bawah 50 mengisyaratkan bahwa bisnis manufaktur sedang mengalami kontraksi.  Di situs internationalinvest.about.com : What is the Purchasing Managers Index (PMI) disebutkan bahwa Indeks PMI Manufaktur dianggap pelaku pasar di sektor ini sebagai leading indicator bagi keadaan perekonomian secara keseluruhan sehingga bisa diperoleh gambaran mengenai hasil penjualan, upah tenaga kerja, persediaan barang dan tingkat harga

Nah, kali ini akan ditampilkan PMI Manufaktur negara China. Berikut grakfiknya (id.tradingeconomics.com):   
Chart 6

Terlihat dari grafik diatas indeks PMI manufaktur China yang diatas 50 indeks poin (sebelum krisis subprime) bahkan juga sempat mencapai titik tertingginya di angka 59 indeks poin. Hal ini berarti bisnis industri manufaktur sedang bergairah. Lalu indeks PMI manufaktur sempat jeblok akibat dari krisis subprime mortage di AS dan selanjutnya kembali menembus 55 indeks poin.

Lalu apa dampak yang ditimbulkan dari naik turunnya PMI manufaktur ini? Dampaknya jelas sekali. Jika indeks PMI manufaktur ini naik maka proses kegiatan industri di negara tersebut sedang “hot”, maksudnya adalah industri menghasilkan barang dan permintaan akan barang tersebut terus naik, maka industry tersebut akan menaikan kapasitas produksi dan bisa juga menaikan harga (yang masih terjangkau oleh konsumen pastinya). Nah, dari peningkatan kapasitas itu pasti harus ada tambahan tenaga kerja kan? Lalu akan terbukanya lapangan kerja baru. Jika lapangan kerja sudah ditambah, lalu bagaimana dengan bahan bakunya? Apakah tetap? Tentu harus ditambah bukan? Faktor terakhir inilah yang menjadi “cipratan” rezeki bagi negara pemasok bahan baku seperti Indonesia. Disaat permintaan akan bahan baku meningkat, hal ini juga diikuti dengan meningkatnya harga barang komoditi itu sendiri (commodity bull market). Jadinya double untung deh bagi negara pemasok bahan baku untuk industri di China.

Selain indeks PMI manufaktur, saya juga akan menampilkan grafik yang berisiskan tentang pertumbuhan produksi industri di China selama periode tahun 2000-2011.

Chart 7

Dilihat dari grafik diatas, terlihat sekali rentang fluktuasinya. Tapi dari fluktuasi pertumbuhan produksi industri (dihitung dengan satuan persentase) beberapa kali nyaris mencapai angka 20 persen. Bahkan pada awal tahun 2004 menembus 24 persen. Krisis subprime mortage berdampak kepada anjloknya pertumbuhan industri dan setelahnya masih bisa bangkit. Pertumbuhan yang cukup pesat di periode ini, karena jika dibandingkan dengan periode selanjutnya (tahun 2011-2015. Dan akan saya tampilkan di dalam sub judul commodity bear market) persentase pertumbuhan industri China yang sedang lesu.

Sebenarnya saya ingin membahas tentang bisnis properti yang juga sedang hot atau bisa juga disebut euphoria yang juga berada dalam periode yang sama dengan pembahasan diatas (2000an-2011), disebut euphoria karena dalam masa itu permintaan akan properti sangat lah tinggi. Motif orang-orang dalam membeli property di China adalah kebanyakan untuk berinvestasi. Tidak sedikit properti (apartemen) yang hanya dibeli dan tidak ditempati. Jadi  banyak apartemen kosong karena para pembeli properti berpikir bahwa harga properti akan selalu naik. Nah jika pembanunan akan properti terus naik, maka permintaan akan bahan baku properti juga akan meningkat dan searah dengan harga bahan bakunya. Tetapi karena ketiadaan data yang cukup untuk dianalisa, maka penulis tidak bisa membahasnya pada sub judul ini.

Selain di China, PMI manufaktur di negara-negara berbasis industry juga mengalami ekspansi dengan diselingi koreksi dalam ketika krisis subprime mortage. Berikut grafiknya:

Chart 8

Grafik diatas merupakan PMI Chicago (saya tidak bisa menemukan PMI negara AS dari tahun 2000an. Namun, Chicago juga bisa dijadikan indicator karena Chicago merupakan tiga besar kota dengan ekonomi terbesar di Amerika Serikat). Dari tahun 2000-2001 jelas nampak mengalami kontraksi, mungkin akibat meletusnya bubble saham teknologi Nasdaq. Selanjutnya indeks PMI Chicago mengalami ekspansi hingga mencapai titik peak sebelum krisis di kisaran angka 66 indeks poin. Krisis subprime menghempaskan indeks manufaktur sampai di bawah 35 indeks poin. Indeks PMI Chicago kembali terapresiasi hingga mencapai peak  di kisaran level 67 poin. Pergerakan indeks PMI yang beda-beda tipis antara China dan Amerika Serikat. Pada mulanya indeks terapresiasi hingga krisis subprime menghajar perkonomian global, namun kembali rebound paska krisis mortage.

Oke tadi saya sudah jabarkan bagaimana pergerakan harga komoditi di masa bull market. Hampir semua komoditi memiliki tren yang serupa, yakni naik dari awal tahun 2000an namun sempat drop ketika krisis subprime tahun 2008. Paska krisis harga komoditi kembali rebound hingga mencapai puncaknya di tahun 2011. Lalu apa yang terjadi setelah tahun 2011? Baik, kita lanjutkan ke sub judul berikutnya.


Commodity Bear Market

Hidup itu penuh dengan siklus, tidak terkecuali dalam ekonomi. Tidak selamanya harga-harga selalu meningkat. Tapi pasti juga diselingi dengan penurunan harga. Di sub judul ini akan berisi tentang pergerakan harga komoditi di pasar dunia yang trennya menurun (ingat, bahwa bear merupakan suatu ungkapan untuk penurunan). Periode ini dimulai dari tahun 2011 sekitaran kuartal 4 dan trennya masih berlangsung (entah sampai kapan). Dan harus diakui, ini merupakan keadaan yang tidak mudah untuk dihadapi terutama bagi negara kita, Indonesia, yang jualan utamanya merupakan barang-barang mentah maupun setengah jadi yang tentunya akan sangat tergantung oleh negara berbasis industri seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan lain-lain (3 negara tadi merupakan mitra dagang utama dengan Indonesia).

Okee baiklah kita langsung saja kita lihat bagaimana pergerakan harga komoditi pada tren bear market ini.
Yang pertama ada harga minyak mentah yang sering digunakan sebagai patokan utama untuk mencerminkan harga komoditi lainnya :

Chart 9

Ada beberapa faktor yang membuat harga minyak jeblok (tapi masih memiliki kaitannya). Mulai dari perlambatan ekonomi global (slow down) akibatnya permintaan akan minyak mentah (dan juga komoditi lainnya) berkurang. Dan faktor lainnya ada beberapa negara seperti Amerika Serikat, Irak, Arab Saudi, dan Russia mencapai rekor lifting minyak mentah., jadi akibatnya pasokan minyak mentah semakin melimpah (harga turun karena hokum penawaran berbunyi: semakin banyak barang tersedia maka semakin murah harga barang tersebut). Ketika pasokan minyak mentah melimpah dan ditambah dengan berkurangnya permintaan akan minyak mentah karena melambatnya aktifitas ekonomi, maka bukan harga minyak mentah yang turun, melainkan jebloknya harga minyak mentah di pasar dunia.
Grafik produksi minyak mentah di Amerika Serikat periode 2010-2015:

Chart 10

Produksi minyak mentah di Russia dari tahun 2010-2015:

Chart 11

Produksi minyak mentah di Irak dari tahun 2010-2015:

Chart 12

Namun sayang, negara kita ketinggalan kereta dengan negara yang saya sebutkan diatas. Ini grafik produksi minyak mentah Indonesia:

Chart 13

Memang, dengan harga minyak yang murah ini (dikisaran $55/barel) membuat Indonesia tidak harus mengeluarkan lebih banyak uang ketika mengimpor minyak untuk kebutuhan dalam negeri. Namun, bukankah lebih bijak jika kita bisa mencukupi kebutuhan kita (ketahanan energi) sendiri tanpa harus memerlukan negara lain? Jika saat ini baru akan dilakukan eksplorasi cadangan minyak baru. Maka itu bukanlah ide yang bagus. Karena untuk mencari sumber cadangan minyak baru memerlukan biaya yang tidak sedikit, selain itu tingkat keberhasilannya juga tidak terlalu tinggi. High risk.

Lalu pertanyaannya siapa investor yang mau melakukan eksplorasi sumber cadangan minyak dengan harga minyak yang murah? Apakah pemerintah sanggup untuk sendirian mencari sumber minyak itu? Apakah kita “dipaksa” untuk terus impor minyak yang juga melalui perantara (re: Petral) oleh orang-orang yang memiliki kepentingan di sana? (dan hal ini menjadi perhatian khusus oleh tim Reformasi Tata Migas yang diketuai oleh Faisal Basri). Entahlah, tapi Pertamina akhir-akhir ini juga melakukan gebrakan yang cukup apik (di mata saya) dengan membeli minyak langsung dari produsennya (waktu itu saya baca di detikfinance dari negara Angola) dan yang terakhir Pertamina di bawah pimpinan Dwi Soetjipto membubarkan Petral.

Baik, itu tadi sedikit ulasan tentang harga minyak dunia. Lalu saya akan tampilkan harga-harga komoditi lainnya:

Harga batu bara:

Chart 14

Masih ingat dengan harga saham BUMI yang mencapai puncaknya (di angka Rp 8.750) ketika harga batu bara juga sedang dalam puncak peaknya? Nah, ketika harga batu bara menurun (dan permintaan tidak sekencang dulu), maka saham BUMI pun juga ikut ambles. Harga terakhir (22/4/2015) berada di angka Rp 80/lembarnya. Memang untuk kasus jebloknya harga saham BUMI juga dipengaruhi oleh ketidakdisiplinan para manajernya untuk memanage utang-utang perusahaan. Namun, tetap saja faktor harga dan permintaan batu bara lah yang membuat pendapatan perusahaan (dan juga negara) di sektor batu bara menurun drastis.

Selanjutnya ada harga CPO alias crude palm oil (sahamok.com):

Chart 15

Harga CPO mencapai peak tertingginya di tahun 2011. Jika anda melihat harga batu bara di tahun 2011 harganya masih di kisaran $120/metric ton. Di tahun ini Indonesia mendapatkan rezeki nomplok jika di sebutkan dalam bahasa sehari-hari. Hal ini juga tercermin dari cadangan devisa Indonesia:

Chart 16

Selanjutnya ada harga baja:

Chart 17

Saat ini harga baja berada $300/ metrik ton, jauh diangka dari harga puncaknya yang sempat menyentuh $1300/mt. Jadi harga saat ini 4 kali lebih rendah dari harga puncaknya.
Harga karet:

Chart 18

Tren bear commodity market juga menghinggapi harga karet. Karet memiliki posisi yang cukup vital dalam perdagangan Indonesia.

Nah, tadi sudah dijabarkan mengenai commodity bear market. Masa ini juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian negara-negara industri yang melemah.  Tertutama dari negeri Tiongkok yang merupakan “mesin tunggal” perekonomian global paska krisis subprime maupun krisis Yunani tahun 2012 lalu. 


GDP China yang Terkontraksi

Chart 19

Perlambatan pertumbuhan ekonomi di China memiliki faktor yang cukup vital bagi pertumbuhan ekonomi di negara pemasok bagi industri di China. Jika sebelumnya ketika ekonomi China tumbuh pesat negara penghasil komoditi (Indonesia salah satunya) mendapat manisnya berjualan komoditi, namun ketika ekonomi China sedang slow down, negara yang tadinya mendapatkan cipratan rezeki sekarang terkena getahnya (memang masih ada negara seperti AS dan Jepang. Namun AS yang merupakan konsumen terbesar di dunia masih belum bisa pulih paska krisis subprime. Sedangkan Jepang mengalami masalah demografi yang menua, efek dari demografi yang menua adalah pola konsumtif yang berubah menjadi pola hemat karena bertujuan untuk tabungan hari tua).

Nah, dibawah ini saya perlihatkan data PMI manufaktur China

Chart 20

Dari grafik PMI manufaktur diatas nampak pada garis sebelah kiri naik ke atas, ini menunjukan bahwa bisnis industri sedang dalam masa ekspansi dan harga komoditi juga terbang karena permintaanya meningkat pesat. Namun untuk garis di sebelah kanan terlihat ada penurunan indeks PMI manufaktur, belum bisa disebut kontraksi karena belum menyentuh di bawah angka 50. Tapi dengan indeks PMI manufaktur China yang seperti ini saja (salah satu faktor) dapat membuat harga komoditi menjadi jeblok.

Lalu bagaimana efek commodity bear market dengan Indonesia? Jelas ada. Mari kita lihat neraca perdagangan Indonesia di bawah ini.

Chart 20
Setelah tren commodity bull market berakhir pada akhir tahun 2011, neraca perdagangan Indonesia sering mengalami defisit. Disaat dagangan utamanya (barang komoditi) harganya jeblok dan permintaan barangnya tidak sekencang ketika ekonomi China sedang berapi-api maka bukanlah hal yang mengejutkan jika memang neraca perdagangan Indonesia berdarah-darah dalam tren commodity bear market ini. Selain berdampak terhadap neraca perdagangan Indonesia, tren commodity bear market juga berdampak terhadap pertumbuhan GDP Indonesia.

Chart 21
GDP Indonesia yang trennya menurun memang memiliki keterkaitkan dengan commodity bear market ini. Bagaimana bisa pertumbuhan ekonomi di China saja menurun tapi pertumbuhan ekonomi Indonesia malah meningkat? China saja juga tidak bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi pada angka double digit dengan keadaan ekonomi global yang masih melambat saat ini. Karena bagaimana pun juga Indonesia sebagai pemasok bahan baku memiliki ketergantungan dengan negara-negara seperti China, Jepang dan AS.

Lalu saya beri grafik (berasal dari situs kemendag, lalu saya buat grafik linenya) salah satu komoditi andalan Indonesia, yakni batu bara.

Chart 22
Dilihat dari jumlah barang (batu bara) yang di ekspor ke China, terlihat bahwa masih ada kenaikan permintaan, lalu bagaimana dengan uang yang masuk dari hasil ekspor batu bara? Apakah meningkat juga jumlahnya?

Chart 23

Ternyata penerimaan us dollar dari China untuk mengimpor batu bara dari Indonesia tidak searah dengan kuantitas batu bara yang terus meningkat. Terlihat titik puncak dari grafik diatas berada di tahun 2011 yang merupakan akhir dari commodity bull market.


Transaksi Eks-Im Indonesia

Sudah banyak dibahas mengenai perkembangan harga komoditi yang merupakan andalan utama dari ekspor Indonesia. Jika tadi hanya dibahas tentang harga komoditi di pasar dunia, sekarang saya akan membahas tentang komoditi apa saja dan negara mana saja yang Indonesia ekspor dan juga impor dari negara lain.

Kita mulai dari batu bara (sumber data dibawah ini semua berasal dari situs kemendag, dan grafiknya dibuat oleh penulis.):

Chart 24
Permintaan China akan batu bara paling tinggi diantara negara-negara lain, karena batu bara digunakan sebagai bahan bakar mesin-mesin industri di China, akan menghawatirkan jika roda industri manufaktur di China mengalami kontraksi, karena akan menyebabkan anjloknya permintaan batu bara ke Indonesia. Yang menarik disini munculnya India sebagai importer batu bara dari Indonesia terbanyak kedua setelah China. Hal ini menandakan bahwa geliat industri disana sedang menggeliat ketika Narenda Modi menjabat sebagai Perdana Menteri India. Tetapi saya melihat bahwa negara di kawasan ASEAN yang memiliki jumlah impor yang besar.

Lalu ada tabel dari ekspor gas: 

Chart 25
Jepang menjadi konsumen tertinggi dari gas yang di impor dari Indonesia, namun sayang sekali hanya 4 negara yang namanya ditampilkan di tabel (karena jumlah impor gas dari Indonesia yang besar). Namun tetap ada hal yang menarik perhatian saya. Yakni angka ekspor ke negara ASEAN yang kecil sekali. Hanya Malaysia saja yang tercatat di tabel yang mengimpor gas dari Indonesia.

Berikutnya ada ekspor karet ke negara-negara tujuannya:

Chart 26
Tiga besar ekonomi dunia (AS, Jepang, dan China) menjadi importer karet terbesar Indonesia. Masih kita temukan bahwa jumlah ekspor komoditi yang sudah kita lihat untuk ke negara ASEAN masih rendah. Selain kuantitas karet, saya tampilkan juga pendapatan Indonesia dari komoditi ini. Berikut grafiknya:

Chart 27
Pola pergerakan penerimaan negara dari karet tidak berbeda jauh dengan batu bara. Sama-sama memiliki titik puncak pada tahun 2011 dan setelahnya mengalami penurunan.

Setelah itu ada total penerimaan Indonesia dari hasil CPO atau minyak kelapa sawit:

Chart 28
Tidak mengherankan bahwa cadangan Indonesia mencapai titik puncaknya pada tahun 2011. Pada masa itu harga komoditas sedang berada di titik puncaknya.

Tadi sudah dibahas mengenai ekspor Indonesia, lalu bagaimana dengan impor? Berikut saya salinkan data impor Indonesia (non migas) dari situs kemendag:
NO
HS
Uraian
2010
2011
2012
2013
2014
1
84
MESIN-MESIN/PESAWAT MEKANIK
20.019,0
24.728,8
28.428,1
27.290,5
25.834,8
2
85
MESIN/PERLATAN LISTRIK
15.633,2
18.245,2
18.904,7
18.201,1
17.226,5
3
72
BESI DAN BAJA
6.371,5
8.580,5
10.138,9
9.553,6
8.354,4

Dari 3 besar barang impor yang diimpor Indonesia memiliki persamaan. Yakni barang modal. Menurut buku yang ditulis oleh Amir M.S berjudul Pengetahuan Bisnis Ekspor Impor, barang impor dibagi menjadi 3 bagian. Mulai dari barang modal, bahan baku, barang konsumsi. Dengan tercantumnya barang modal pada 3 besar barang yang diimpor oleh Indonesia maka bisa disimpulkan bahwa proses industrialisasi di Indonesia sedang berkembang. Menjadi wajar jika 3 besar barang tadi menjadi barang impor terbesar, karena barang itu juga belum bisa diproduksi sendiri di Indonesia, jadi untuk memenuhi kebutuhan barang modal yaa mau tidak mau harus impor.


Dalam artikel ini saya membahas ada 3 sub judul, yaitu terdiri dari commodity bull market, commodity bear market, dan perkembangan terkini ekspor dan impor di Indonesia. Untuk 2 sub judul awal kenapa saya bahas? Ini penting, karena dari 2 sub judul itu dibahas mengenai pergerakan harga komoditi baik yang naik (commodity bull market) maupun yang turun (commodity bear market). 

Disebut penting juga karena kedua sub judul tadi memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi perekonomian Indonesia sendiri. Pada masa bull Indonesia mendapatkan berkah dari berjualan berbagai macam barang komoditi dan efeknya terasa pada neraca perdagangan Indonesia yang hampir selalu surplus (kecuali ketika krisis subprime). Nah, jika pada masa bear Indonesia dibuat pusing dengan neraca perdagangannya silih berganti antara surplus dan defisit (ha ini juga yang menjadi salah satu faktor utama kenapa rupiah sampai ke level 13.000an untuk 1 us dollar). Sub judul yang terakhir juga tidak kalah pentingnya, karena menerangkan tentang barang baik yang di ekspor maupun di impor.

Lalu untuk bagian terakhir dari artikel ini, penulis akan memberikan opini tentang strategi ekspor impor (yang menjadi tema essay ini). Apa saja strateginya?

1.      Meningkatkan Penggunaan Komoditi di Dalam Negeri

Harga terbentuk karena adanya pertemuan antara permintaan dan penawaran. Saat ini masih terjadi perlambatan ekonomi dunia, terlihat dari The Fed (bank sentral AS) yang masih belum mau menaikan suku bunga acuannya dan China yang pertumbuhan GDPnya malah mengalami penurunan.

Ada beberapa proyek pemerintah yang dapat meningkatkan permintaan batu bara untuk misalnya pembangkit listrik tenaga uap di Batang yang mencapai 30.000 MW. PLTU sebesar itu pasti membutuhkan batu bara dalam jumlah yang tidak sedikit dan Indonesia masih sangat kekurangan listrik, jadi peluang penggunaan batu bara untuk PLTU masih akan sangat besar (kecuali jika pemerintah memutuskan untuk membangun PLTN, akan lain ceritanya). Strategi selanjutnya, pemerintah saat ini membuka PMA (penanaman modal asing) untuk berinvestasi di sektor rill, misalnya dengan membangun pabrik baru. Karena pabrik juga butuh batu bara dan komoditi lainnya untuk berproduksi. Namun hal itu cukup sulit dilakukan karena banyak perusahaan yang ingin membangun pabrik di Indonesia karena masalah birokrasi yang berbelit (namun sudah ada pelayanan terpadu satu pintu, semoga efektif) sampai masalah ketersediaan pasokan listrik. Faktor terakhir tentu harus diatasi terlebih dahulu untuk memuluskan langkah para investor menanamkan modalnya di Indonesia.

Itu untuk batu bara, lalu ada juga taktik untuk CPO. Pemerintah melalui Pertamina juga telah mewajibkan bahwa biodiesel untuk dicampur dengan CPO sebesar 15%, tentu hal ini dapat meningkatkan permintaan CPO itu sendiri.

2.      Temukan Pasar Baru

Setelah kita melihat bahwa ada perlambatan ekonomi secara global dan pertumbuhan ekonomi mitra dagang Indonesia yaitu AS, China, dan Jepang mengalami penurunan, maka jalan yang patut dicoba adalah menemukan pasar baru untuk memasarkan produk Indonesia. Contoh, untuk perdagangan Indonesia dengan negara-negara Afrika masih sangat kecil nilainya, menurut detikcom angkanya hanya mencapai US$ 10,70 milliar atau lebih rendah jika dibandinkgan dengan Indonesia-China yang mencapai US$ 200 milliar. Masih sangat rendah. Namun, disitulah peluang bisa muncul. Pemerintah mendapatkan momen yang pas karena baru kemarin diadakan Konferensi Asia Afrika di Jakarta dan di Bandung. Menurut Armata Nasir, Jubir Kementrian Luar Negeri mengatakan bahwa isu ekonomi menjadi pusat perhatian banyak negara.

“Kita banyak menawarkan ke negara Afrika seperti otomotif dan kemudian industri stratrgis yang diproduksi oleh PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia,” ungkapnya pada jeda agenda Konferensi Asia Afrika di Jakarta Convention Center, Jakarta, Senin (20/04/2015) yang saya kutip dari detikcom.
Apabila pertemuan dengan negara-negara dari Asia dan juga Afrika dapat meningkatkan perdagangan, maka akan sangat baik bagi Indonesia. Karena nilai perdagangan Indonesia-Afrika masih cukup kecil itu lama-kelamaan bisa meningkat dan suatu saat bisa menjadi mitra dagang yang solid.

3.      Manfaatkan Canggihnya Teknologi Informasi

Saat ini dunia sedang mengalami globalisasi. Dunia ini bagai tidak memiliki batas karena kemajuan 
di bidang teknologi informasi. Ada banyak manfaat yang bisa digunakan untuk meningkatkan perdagangan Indonesia terhadap negara-negara lain. 

Cara yang tidak rumit adalah dengan melalui e-commerce alias perdagangan online. Karena dengan e-commerce para pengusaha dari dalam negeri bisa menawarkan produknya dan bisa diakses di seluruh dunia. Karena dengan cara itu produk (terutama UMKM) bisa dikenal di seluruh dunia dan harapannya juga meningkatkan volume perdagangan ke pasar yang belum terjamah oleh Indonesia.

Baik, itu merupakan analisa saya mengenai skema ekspor dan impor di tengah perlambatan ekonomi global. Jika memang ada kurangnya materi yang dibahas maupun kurang lengkapnya paparan yang saya sampaikan di artikel ini, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya. Karena, dilihat dari tingkat semeseter saya juga masih “hijau", jadi wajar apabila tulisan saya ini masih ada kekurangan di sana-sini. Karena dari kesalahan, kita bisa ambil sebuah pengalaman, dan mencoba lebih baik lagi ke depan.


Terima Kasih