Senin, 24 April 2017

Analisa Pengaruh Uang Elektronik Terhadap Kebijakan Moneter



PENDAHULUAN


1.1  Sejarah Singkat Tentang Uang

Terus mengalami perubahan. Setidaknya itulah yang dialami oleh uang, suatu benda yang biasa kita gunakan sebagai alat pembayaran dan pengukur nilai. Uang komoditas atau uang dalam bentuk barang digunakan sebagai alat pertukaran menggantikan pola barter. Penemuan ini sangat vital pada waktu itu untuk mengatasi berbagai masalah barter seperti coincidence of wants. Uang komoditas pada awalnya ialah tembakau di Virginia jaman kolonial, tembaga di Mesir kuno dan komoditas lainnya tergantung tempat dan preferensi masyarakatnya. Setelah beberapa waktu berlalu, dua komoditas yakni emas dan perak muncul dan menjadi uang di berbagai wilayah menggantikan komoditas-komoditas lainnya.

Karena cukup sulit untuk mengukur berat dan kandungan dari logam mulia, maka lambat laun para pengambil kebijakan di pemerintahan waktu itu membuat notes yang mewakili kepemilikan uang komoditas (emas dan perak) karena dianggap lebih praktis dan efektif guna menjadi alat pembayaran. Masa ini disebut gold standard. Dimana setiap notes yang dicetak mewakili jumlah emas yang disimpan. Sistem ini runtuh pada tahun 1971 dimana Presiden Amerika Serikat, Nixon membatalkan perjanjian Bretton Woods dan membuat hubungan antara emas dan notes dihapuskan. Sehingga, sejak saat itu notes disebut fiat money yang merupakan uang kertas tanpa di back up oleh apapun.

Seiring perkembangan teknologi yang semakin cepat, hal ini juga mendorong perubahan bentuk uang itu sendiri yang tadinya berupa uang kertas dan logam kini juga terdapat uang elektronik yang bisa menjadi alternatif bagi masyarakat untuk melakukan pembayaran transaksi secara non tunai.

1.2 Latar Belakang Uang Elektronik
Pada tanggal 14 Agustus 2014, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku bisnis untuk menggunakan pembayaran non tunai dalam transaksi keuangan karena lebih mudah, aman dan efisien.

Uang elektronik di masa kini terdiri dari dua jenis. Jenis yang pertama ialah transaksi keuangan yang menggunakan skema transfer melalui jaringan internal bank dan antar bank. Kemudian, jenis yang kedua ialah pembayaran melalui uang elektronik yang berupa kartu. Contohnya kartu ATM, debit dan kartu kredit yang tergolong sebagai Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK).

Inovasi di sektor keuangan terus berkembang seiring dengan misi Bank Indonesia untuk mencanangkan Less Cash Society di Indonesia menambah instrumen pembayaran non tunai yakni berupa mirip seperti yang sudah disebutkan sebelumnya karena wujudnya berupa kartu yang dikenal sebagai Electronic Money (E-Money). Namun terdapat beberapa perbedaan di antara kedua jenis kartu elektronik yang akan kami bahas di paragraf selanjutnya.  

Kartu ATM, debit dan kredit masih memiliki ikatan langsung dengan rekening nasabah bank yang bersangkutan. Tetapi, untuk E-Money ini ialah merupakan sebuah produk stored value dimana terdapat sejumlah nilai uang tertentu yang tersimpan di kartu E-Money tersebut.

2.4  Pembahasan dan Batasan Masalah

Pembayaran menggunakan transfer antar rekening bank semakin banyak menggantikan peran uang dalam perdagangan dengan nilai transaksi besar, di sisi lain pembayaran menggunakan kartu seperti kartu ATM, kartu debet, kartu kredit maupun E-Money mulai menggantikan peran uang kartal dalam transaksi ritel (Lahdenpera, 2001).

Terkait pengaruh penggunaan alat pembayaran non tunai yang makin masif, terdapat perbedaan mengenai efektifitas kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral. Sebagian berpendapat bahwa penggunaan uang elektronik tidak akan berpengaruh apa-apa. Para peneliti yang memiliki pendapat seperti ini ialah Goodhart (2000), Friedman (2000) dan Woodford (2000).

Di sisi lain, penggunaan alat pembayaran non tunai memiliki implikasi terhadap permintaan uang yang diterbitkan bank sentral. Sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi efektifitas bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter (Costa dan Grauwe, 2001). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Friedman (1999) yang menyatakan bank sentral hanya menjadi petunjuk kondisi moneter tanpa mampu menciptakan kestabilan moneter.

Atas latar belakang perbedaan pandangan dari para peneliti dan ini menjadi salah satu topik penting dan vital dalam makroekonomi di era uang elektronik, kami akan mencoba untuk memberikan tambahan literasi tentang penggunaan alat pembayaran non tunai terhadap efektifitas kebijakan moneter dengan studi kasus di Indonesia.



ISI

2.1 Sekilas Sistem Pembayaran di Indonesia

Pada bagian ini, kami akan menampilkan bagaimana perkembangan sistem pembayaran di Indonesia. Mengapa kami memasukan unsur tersebut di dalam kajian ini? Karena sistem pembayaran merupakan sebuah sistem yang mengatur pemindahan dana dari satu pihak ke pihak lain yang melibatkan berbagai lembaga yakni bank, lembaga kliring dan sistem hukum.  Sistem pembayaran di Indonesia terdiri dari sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam sistem tunai, Bank Indonesia yang mengatur peredaran uang Rupiah dalam betuk uang kertas dan koin. Di bidang sistem pembayaran non tunai, Bank Indonesia mengatur sistem kliring antar bank. Sistem ini terbagi lagi menjadi tiga. Yakni Systemically Important Payment System (SIPS) yang mengelola transaksi dalam nilai yang besar. Salah satu contohnya adalah Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, lalu ada System Wide Important Payment System (SWIPS) yang merupakan sistem pembayaran yang digunakan oleh masyarakat luas dan contohnya ialah Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan alat pembayaran menggunakan kartu.

2.2 Perkembangan Sistem Pembayaran Non Tunai

Pada sistem pembayaran BI-RTGS, terlihat dari data yang kami peroleh dari Bank Indonesia sub divisi Sistem Pembayaran (dan juga keseluruhan data yang ada di esai ini), bahwa ada tren kenaikan dalam penggunaan sistem BI-RTGS. Dengan menggunakan sistem ini, penyelesaian transaksi terutama dalam nilai yang besar dapat diselesaikan secara aman, cepat dan efisien. Hal ini semakin menunjukan bahwa minat masyarakat terhadap penggunaan jasa pembayaran non tunai terutama BI-RTGS semakin tinggi.
Grafik 1. Perkembangan Nilai Transaksi BI-RTGS

Setelah mengetahui tren kenaikan dalam penggunaan sistem pembayaran non tunai (BI-RTGS), kami juga melihat bahwa hal tersebut juga terjadi di pembayaran non tunai yang lainnya seperti APMK (Alat Pembayaran Menggunakan Kartu) baik itu APMK yang berkaitan dengan rekening tabungan nasabah (kartu ATM, Debit dan Kredit) dan juga e-money.

Grafik 2. Perkembangan Transaksi Kartu Debet

Grafik 3. Perkembangan Transaksi Kartu Kredit

Seiring dengan berkembangnya teknologi, ditambah dengan maraknya e-commerce yang mekanisme pembayaran barangnya mayoritas melalui transfer bank. Maka tidak heran jika volume dan nilai transaksi dengan menggunakan kartu melonjak tajam setidaknya dalam 6 tahun terakhir. Kenaikan nilai transaksi menggunakan kartu debet naik sebesar 180,9% dan kenaikan volume transaksinya mencapai 186%. Hal yang sama juga terjadi dengan transaksi kartu kredit, dimana peningkatan nilai transaksi dari tahun 2009 sampai 2016 mencapai 105% dan pertumbuhan volume transaksi menyentuh 67%.
Grafik 4. Jumlah Transaksi Uang Elektronik

Fenomena yang sama juga dialami oleh e-money baik dari volume dan nominalnya juga mengalami trend kenaikan. Khusus dari tahun 2014, kenaikannya semakin fantastis dimana kenaikan volume penggunaan e-money meningkat drastis sebesar 2473% dari tahun 2010 hingga tahun 2016. Hal tersebut diiringi dengan kenaikan volume transaksi yang mencapai 920% dengan rentang waktu yang sama.

Dari data yang kami paparkan mengenai penggunaan dan nilai transaksi menggunakan sistem pembayaran non tunai, kami melihat bahwa dalam beberapa tahun terakhir penggunaan alat pembayaran non tunai semakin dipilih masyarakat untuk melakukan pembayaran transaksi barang dan jasa.

2.3 Dampak Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Terhadap Masyarakat

Di pembahasan bagian akhir ini kami akan menggunakan pendekatan deskriptif untuk melihat dampak pembayaran non tunai terhadap kebijakan moneter.

Seseorang yang rasional akan cenderung menggunakan cara termudah dan termurah dalam mencapai tujuannya. Begitu pula untuk memilih cara pembayaran suatu transaksi. Bayangkan, jika ada seseorang yang ingin membayar suatu barang yang memiliki nilai transaksi cukup besar, akan sangat tidak praktis jika seseorang membawa uang cash dalam penyelesaian transaksi tersebut. Akan lebih mudah dan aman jika menggunakan sistem pembayaran non tunai yang telah disediakan oleh Bank Indonesia. Ia hanya perlu ke mesin ATM lalu mentrasferkan dananya kepada si penjual barang tersebut. Bahkan, jika ternyata ia memiliki fasilitas internet atau mobile banking, maka transaksi bisa diselesaikan lewat gadget tanpa harus mengeluarkan banyak energi untuk pergi ke mesin ATM atau ke bank. Fenomena tersebut akan kami gambarkan dengan kurva biaya di samping ini.

Kurva CW menggambarkan biaya menunggu, dimana semakin lama seseorang menunggu untuk melakukan transaksi pembayaran maka akan biaya yang dikeluarkan semakin besar, karena akan muncul biaya peluang (opportunity cost) yang harus ditanggung nasabah. Kemudian CT adalah biaya transaksi dimana biaya disini diasumsikan fixed (tetap) sehingga semakin besar nilai transaksi maka akan semakin kecil biaya transaksinya. Sedangkan C adalah gabungan antara CW dan CT. Dengan adanya inovasi teknologi seperti kartu ATM, mobile dan internet banking, nasabah tidak perlu repot-repot untuk pergi ke bank dan mengantri, sehingga kurva CW akan bergeser menjadi CW’. Secara keseluruhan, biaya akan turun dari titik A ke titik B.

Dari cerita di atas, terlihat bahwa sistem pembayaran non tunai memiliki manfaat bagi para pelaku transaksi. Misalnya, ketika ia tidak perlu pergi ke ATM jika memiliki intenet dan mobile banking, lalu transaksi dapat dilakukan lebih aman, nyaman dan cepat. Sehingga wajar sekali dari berbagai data pembayaran menggunakan uang non tunai memiliki kecenderungan yang meningkat. Oleh karena itu, dengan adanya alat pembayaran non tunai tersebut berpotensi untuk meningkatkan konsumsi masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan velocity of money.

2.4 Dampak Penggunaan Alat Non Tunai Terhadap Kebijakan Moneter

Sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya dimana penggunaan alat pembayaran non tunai semakin besar.. Hal ini menjadi polemik bagi bank sentral dalam menetapkan kuantitas uang yang beredar di masayarakat lewat kebijakan moneter. Pada bagian ini definisi uang elektronik ialah merupakan kartu ATM, debit dan kartu kredit. E-money akan di bahas pada sub bagian tersendiri. Lebih lanjut, perlu dilakukan kajian mengenai jenis golongan yang mana alat pembayaran non tunai itu sendiri. Apakah masuk kedalam jenis uang beredar dalam arti sempit (M1) atau dalam arti luas (M2). Komponen uang M1 dan M2 jika menggunakan simbol menjadi seperti ini:

-          M1: Uang kartal + Uang giral
-          M2: M1 + Uang kuasi

o   Dimana uang kuasi terdiri dari tabungan dan deposito

Untuk menjamin tingkat efektifitas kebijakan moneter, klasifikasi jenis uang akan sangat penting. Dalam komponen jenis uang M2, terdapat variabel tabungan yang menggunakan kartu ATM. Padahal, dengan adanya mesin ATM masyarakat bisa sewaktu-waktu menarik uang tunai sehingga termasuk dalam uang kartal. Melihat fakta yang seperti itu, mungkin perlu dipertimbangkan klasifikasi tabungan menjadi M1.

Lalu, bagaimana dengan e-money yang memiliki perbedaan karakterisrtik dengan alat pembayaran non tunai yang sudah disebutkan di awal?

Pada dasarnya, e-money merupakan nilai uang yang tersimpan (stored value) di dalam kartu namun tidak mengandung bunga dan biaya admin rutin. Jika masyarakat tidak menggunakan e-money namun masih terdapat saldo, maka saldo tersebut disebut float atau merupakan kewajiban issuer (bank atau lembaga lainnya) atas e-money yang telah dikeluarkannya.

Float disini sifatnya sangat likuid, mirip dengan uang kartal ataupun giro. Selain itu, pada Monetary and Financial Statistic Manual 2000 disebutkan bahwa e-money dikategorikan sebagai transferable deposits (terdiri dari semua deposit yang dapat ditukarkan di harga par dan tanpa pinalti atau pembatasan, serta dapat digunakan sebagai alat pembayaran secara langsung). Sehingga, mungkin float disini bisa dimasukkan kedalam perhitungan uang M1. Sehingga, komponen M1 menjadi:

M1: Uang Kartal + Uang Giral + Float

Pengisian saldo e-money bisa di isi ulang (top up) dengan setoran tunai maupun dari rekening tabungan. Jika penggunaan cara pertama (setoran tunai) yang dilakukan, maka tidak akan merubah jumlah M1 namun perubahan terjadi pada posisi uang kartal (yang berkurang) menjadi float yang bertambah. Skenario kedua, jika nasabah melakukan top up melalui tabungannya. Maka jumlah M1 akan bertambah karena perpindahan dari uang tabungan (yang termasuk dalam M2) menjadi float yang merupakan uang M1. Alhasil uang M1 dan uang M2 tidak mengalami perubahan.  

Kemudian, analisa pengaruh alat pembayaran non tunai terhadap kondisi moneter bisa menggunakan analisa real money balance approach. Karena dengan menggunakan pendekatan tersebut, dapat diketahui daya beli uang dalam perekonomian dan juga untuk mengetahui pengaruh alat pembayaran non tunai terhadap velocity of money.

(M/P)d = k.Y (i), dimana k adalah kontanta yang menyatakan berapa banyak uang tunai yang ditahan dalam setiap pendapatan.

Dengan mengasumiskan permintaan uang (M/P)d sama dengan penawaran uang (M/P), maka persamaannya adalah:

(M/P) = k.Y (ii)

Dan selanjutnya persamaan tersebut diubah menjadi:

M(1/k) = P.Y (iii) atau M.V = P.Y (iv)

Jika kita lihat dalam persamaan (iii) dan (iv) dimana V=1/k menjelaskan kaitan antara permintaan uang dan perputaran uang dimana jika orang cenderung ingin menahan uang tunai lebih banyak, maka nilai k akan besar. Begitu pua sebaliknya.

Adanya pembayaran non tunai diasumsikan sebagai salah satu faktor yang merubah fungsi permintaan uang, dimana masyarakat akan cenderung untuk mengurangi uang tunai yang ingin dipegang (karena bisa menggunakan alat pembayaran menggunakan kartu, internet & mobil banking sebagai subtitusi dari uang kartal) dan kemudian akan menurunkan kontanta (k) yang berarti akan meningkatkan velocity of money atau semakin tingginya sirkulasi uang dalam perekonomian, ceteris paribus.
  
Penutup
A.    Kesimpulan
Berdasarkan kajian mengenai pengaruh alat pembayaran non tunai terhadap efektifias kebijakan moneter bank sentral dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Penggunaan alat pembayaran non tunai di Indonesia mengalami peningkatan.
2.      Dampak dari penggunaan alat pembayaran non tunai bagi masyarakat ialah meningkatnya efisiensi penggunaan waktu dan biaya.
3.      Jumlah M1 akan meningkat jika e-money diisi melalui rekening tabungan namun juga bisa tetap jika pengisian e-money menggunakan setoran tunai atau giro.
4.      Dampak penggunaan alat pembayaran non tunai tidak akan mempengaruhi efektifitas kebijakan moneter jika variabel float dimasukkan kedalam perhitungan M1.
5.      Dengan menggunakan pendekatan real money balances approach, peningkatan penggunaan alat pembayaran non tunai akan meningkatkan velocity of money.

B.     Saran
Terkait dengan semakin berkembangnya e-money baik dari segi nilai transaksi maupun volume, sekiranya ada beberapa rekomendasi dari kami kepada otoritas moneter. Yakni:
1.      Melakukan pembaharuan perhitungan agregat moneter dengan memasukan nilai uang e-money (float) di dalam jenis uang M1, sehingga perhitungan M1 menjadi:

                                           M1 = Uang Kartal + Uang Giral + float

Sedangkan M2 menjadi:
M2 = M1 + Uang Kuasi

2.      Tujuan dari rekomendasi tersebut ialah agar bank sentral tidak mengalami kendala kala menentukan target kuantitas uang beredar, karena jumlah uang yang terdapat di e-money sudah diperhitungkan

3.      Untuk mendapatkan hasil analisa yang lebih baik, penggunaan uji empiris perlu dilakukan. Sehingga hasil empiris bisa menggambarkan dampak penggunaan alat pembayaran non tunai terhadap efektifitas kebijakan moneter dan perekonomian pada umumnya.


Daftar Pustaka

Mankiw, Gregory. 2007. Macroeconomics. 6th ed. New York and Basingstoke: Worth Publishers, pp: 75-107

Rothbard, Murray. 1990. What Has Government Done to Our Money?. Auburn: Praxeology Press of the Ludwig von Mises Institute, pp: 4-44

Ascarya. 2005. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, pp: 13-22

Solikin, Suseno. 2005, UANG: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, pp: 10-51

Pramono, Bambang; Tri Yanuarti; Pipih. D. Purusitawati dan Yosefin Tyas Emmy. 2006: Dampak Pembayaran Non Tunai Terhadap Perekonomian dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia Working Paper 09/2006

Poporska, Neda dan Kammar. 2002: The Use of Electronic Money and It’s Impact on Monetary Policy. JCEBI, Vol.1 (2014) No.2, pp. 79-92

Sardoni, Claudia dan Alessandro Verde. 2002: The ‘IT Revolution’ and Monetary System: Electronic Money and It’s Effects. Dipartimentro Di Scienze Economiche, 12/14, 20-32


Tidak ada komentar:

Posting Komentar