Rabu, 26 Oktober 2016

Sektor Pariwisata Sebagai Salah Satu Sektor Alternatif Pembangunan Ekonomi Bangsa

1. Pendahuluan

Indonesia memang tidak mengalami dampak yang signifikan ketika terjadi krisis ekonomi global tahun 2008 lalu, setidaknya negara kita masuk jajaran top three dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di bawah China dan India pada tahun 2009 dimana negara-negara maju seperti Amerika Serikat, kawasan Eropa, Jepang pertumbuhan ekonominya langsung merosot tajam.

Tapi, ternyata efek krisis global yang dirasa Indonesia kecil malah berangsur-angsur membesar. Krisis di Amerika Serikat membuat penduduknya mengerem konsumsi barang dan jasa, serta melunasi utang-utang yang menumpuk kala ekonomi sedang bergairah sebelum krisis menghantam. Sehingga, China sebagai pemasok utama barang-barang konsumsi di AS, banyak pabriknya yang mengalami kelebihan kapasitas produksi. Tentu mereka tidak akan bisa mempertahankan tingkat produksi seperti saat ekonomi mengalami masa boom, tingkat produksi pun diturunkan cukup signifikan dan tentunya akan mengurangi permintaan bahan baku produksi yang mayoritasnya kebanyakan disuplai oleh negara-negara berkembang, Indonesia salah satunya. Akhirnya, Indonesia (dan beberapa negara penghasil komoditas) merasakan imbas dari krisis ekonomi global (efeknya pun masih dirasa sampai saat ini). Pendek kata, saat ini perekonomian global memasuki siklus commodity bear market (suatu kondisi dimana harga dan permintaan suatu barang dan jasa rendah), setelah sejak sekitar tahun 2000 hingga 2011 (ya, 2011. Karena pada paska krisis hingga tahun tersebut banyak sekali komoditas yang di spekulasikan oleh pelaku pasar) kita menikmati commodity bull market (situasi dimana harga dan permintaan barang dan jasa sedang tinggi-tingginya).

Indonesia jelas berada di posisi yang tidak menguntungkan dengan situasi seperti ini. Peran Indonesia juga amat sangat tergantung kepada negara-negara industri (seperti China, Jepang, AS dan negara industri lainnya) untuk menjual bahan baku produksi guna mendapatkan devisa.

Strategi yang sama dengan kondisi perekonomian dunia yang telah berubah, bukanlah kebijakan yang rasional dan efektif. Jika dulu, Indonesia bisa mengandalkan ekspor barang komoditas sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi nasional yang diformulasikan sebagai berikut.

PDB = C + I + G + (X-M)

Dimana C merupakan konsumsi rumah tangga, I adalah investasi swasta, kemudian ada belanja pemerintah (lewat APBN yang dirancang tiap tahun) dan yang terakhir adalah nilai net ekspor.
Kenapa saya sebut strategi mengandalkan komoditi tidaklah bijak? Karena harga-harga barang ekspor andalan Indonesia sedang berada di titik yang rendah dan juga permintaan akan komoditas tersebut juga menurun.  

Harga Batu Bara

Harga Kelapa Sawit (sahamok.com)


Harga Karet 

Terlihat dari ketiga chart dari pergerakan harga komoditas andalan Indonesia mengalami penurunan. Namun, tidak hanya harga dari hasil alam saja yang trennya menurun, tetapi juga dari nilai ekspor ke negara China yang notabene merupakan salah satu negara yang menjadi partner serasi bagi Indonesia.

Pendapatan Hasil Ekspor Batu Bara ke China (data BPS, diolah)

Penerimaan Hasil Ekspor Karet


Nilai Ekspor Kelapa Sawit 

Penurunan harga komoditas cukup berpengaruh terhadap total pendapatan yang Indonesia terima dari perdagangan luar negeri. Sehingga berujung kepada pertumbuhan ekonomi yang juga melambat.

Pertumbuhan GDP Indonesia Tahun 2008-2014

Fenomena ini tentu menjadi perhatian bagi kalangan pengambil kebijakan, pelaku pasar, hingga media massa. Faktanya, Indonesia memang masih berstatus sebagai negara berkembang yang mengandalkan sumber daya alam yang melimpah. Namun, “barang dagangan” kita tidak terlalu laku di pasaran, karena pembelinya juga mengikatkan pinggang untuk membuat barang produksi. Di sisi lain, untuk merevolusi bangsa ini menjadi negara industri juga tidak bisa dalam sekejap. Butuh pembangunan yang masif dari segi kesiapan infrastruktur, teknologi hingga sumber daya manusianya. Menyiapkan hal-hal tersebut juga tidaklah murah, dalam arti butuh dana yang tidak sedikit untuk berinvestasi, menyediakan faktor-faktor penunjang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri. Sehingga, alternatif yang relatif lebih rasional dan memungkinkan adalah dengan memanfaatkan pendapatan dari sektor pariwisata. Mengapa demikian? Dan apakah pariwisata bisa menjadi sektor alternatif bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini? Hal tersebut coba saya kupas dalam bagian berikut ini.

Pengaruh Sektor Pariwisata dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Indonesia merupakan negeri yang cukup diberkahi. Setidaknya, ketika ekspor barang-barang mentah bukanlah menjadi primadona lagi, Indonesia masih memiliki berbagai tempat-tempat yang menarik dan sangat potensial untuk dijadikan destinasi wisata baik bagi turis lokal maupun turis asing. 

Wisatawan luar negeri yang berkunjung ke Indonesia di dalam tinjauan ekonomi makro merupakan sebagai variabel ekspor (invisible export), sedangkan sebaliknya (WNI yang pergi keluar negeri merupakan impor). Sehingga dalam hal ini, saya agak terfokus dengan jumlah turis asing. Karena posisinya sebagai pengganti (alternatif) dari ekspor barang-barang komoditas yang sedang menurun baik harga maupun pendapatannya.

Presiden Joko Widodo menaruh perhatian cukup intens terhadap sektor pariwisata. Dengan slogan “10 Bali baru” merupakan sebuah harapan akan masa depan sektor ini. Karena dengan dibangunnya 10 destinasi wisata layaknya seperti Bali, maka akan ada kecenderungan untuk memperbaiki infrastruktur, akomodasi serta promosi sehingga 10 destinasi baru tadi bisa menyamai level Bali sebagai destinasi paling populer di mancanegara. Atau jika memang tidak bisa menyamai Bali, Indonesia akan memilki tambahan tempat wisata yang menarik untuk dikunjungi bagi wisatawan asing. Selain memunculkan istilah “10 Bali baru”, bukti konkrit pemerintah lainnya adalah dengan memberlakukan Kebijakan Bebas Visa Kunjungan menjadi 169 negara, dimana sebelumnya hanya 90 negara. Tentu kebijakan ini menarik para wisatawan asing dan memperluas cakupan negara-negara luar untuk berkunjung ke Indonesia. 

Sumber: BPS, data diolah

Dalam dua tahun terakhir dari data yang tersedia, terjadi lonjakan yang cukup signifikan jumlahnya. Jumlah wisatawan asing meningkat 62,3 persen di tahun 2013 dan kemudian masih meneruskan tren positifnya sebesar 7,2 persen. Sudah barang tentu jika semakin banyak wisatawan (asing terutama, karena untuk mendapatkan devisa) 

Itu dari segi kebijakan pemerintah, lalu bagaimana dengan posisi sektor pariwisata yang menjadi alternatif penggerak perekonomian nasional?

Sumber: BPS, diolah

Dari tahun 2007 hingga data terakhir di tahun 2013 menunjukan bahwa ada kenaikan tren dari produksi barang dan jasa di sektor pariwisata. Hal ini juga mencerminkan, bahwa perekonomian di daerah yang memiliki tempat unggulan semakin menggeliat. Keberadaan wisatawan (baik lokal maupun asing) ternyata mampu membuat produsen yang bersinggungan langsung dengan pariwisata (seperti akomodasi dan souvenir) menjadi lebih bergairah. Karena jumlah pendapatan secara total semakin meningkat (walaupun distribusi pertambahannya tidak sama antara industri besar dan kecil).

Sumber: BPS, data diolah

Jika dalam data produksi barang dan jasa menunjukan hasil yang menggembirakan, maka hal tersebut juga akan dialami oleh jumlah PDB di sektor pariwisata. Sempat ada penurunan sedikit di tahun 2009 (karena dampak dari krisis ekonomi global), PDB di sektor ini dari tahun ke tahun semakin meningkat nilanya. Namun, porsi PDB dari sektor pariwisata masih bisa dibilang kecil bagi PDB keseluruhan yang nilainya berada di kisaran 3,9%-4,7% (BPS). Walaupun demikian, dengan jumlah wisatawan dan makin geliatnya industri yang berhubungan di sektor ini, seharusnya memotivasi pemerintah sebagai pemangku kebijakan guna memeberdayakan sektor ini.

Sumber: BPS

Selain dari nilai output barang dan jasa yang semakin meningkat, ternyata hal ini juga menjadi salah satu alternatif pekerjaan dimana memang dengan semakin menggairahnya sektor ini, maka juga dibutuhkan orang-orang yang terlatih untuk bisa menyediakan jasa kepada para wisatawan dan juga berpotensi bisa memacu konsumsi rumah tangga (di daerah wisata) yang menjadi salah satu variabel perhitungan PDB. 

Sumber: BPS, data diolah

Kemudian faktor yang terakhir menjadi salah satu yang penting bagi perekonomian negara. Yakni penerimaan pajak dari sektor ini yang semakin meningkat. Kita semua tahu bahwa pajak adalah pendapatan pemerintah yang utama dan digunakan sedemikian rupa untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi bangsa. 

Kesimpulan

Sektor pariwisata masih terlalu kecil untuk menjadi pengganti sepenuhnya dari sektor komoditas. Tetapi, perkembangan di sektor ini cukup memberikan gambaran, bahwa masa depannya cukup cerah. Sedikit berbeda dengan sektor lain (seperti membangun sektor industri yang membutuhkan modal yang banyak, teknologi canggih dan SDM yang handal), membangun sektor pariwisata relatif tidak membutuhkan biaya yang sama besarnya dengan membangun sektor industri. Selain itu, Indonesia juga memiliki banyak destinasi wisata yang belum terkenal di mancanegara. Promosi mesti makin digencarkan sambil menyediakan infrastruktur yang baik yang pada akhirnya membuat wisatawan (terutama dari luar negeri) merasa nyaman dan terikat sehingga ada kecenderungan baginya untuk datang kembali ke Indonesia serta bisa menjadi agen pemasaran kepada rekan-rekannya di negara asalnya, jika memang berwisata di Indonesia merupakan pengalaman yang menyenangkan.

Senin, 24 Oktober 2016

Menyingkap Peluang Indonesia Sebagai Pemain Utama Mutiara Laut Selatan di Kancah Dunia Internasional



Negara yang dilintasi oleh garis ekuator, diapit oleh dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) dan dua benua (benua Asia dan benua Australia), belum lagi panjang dari barat ke timur yang sekitar 4.500 km dan 2.000 km untuk jarak dari utara ke selatan dan juga garis pantai terpanjang di dunia (95.181 km) tak heran membuat Indonesia menjadi negara yang sangat kaya akan biodiversitas lautnya, seperti ikan, terumbu karang, hingga tiram.

Tiram merupakan penghasil mutiara, salah satu perhiasan yang nilainya sangat tinggi bahkan sejak zaman mulainya peradaban manusia yang direpresentasikan pada masa Mesopotamia, Babylonia, Kerajaan Mesir, hingga China 3000 tahun sebelum masehi. Kemudian mutiara menjadi simbol ‘kelas elit’ di masa kerajaan Romawi, karena hanya orang-orang yang memiliki kualifikasi tertentu saja (orang kaya dan penguasa) yang boleh memakai perhiasan mutiara.

Jadi, tentu selayaknya kita bangga karena Indonesia menjadi negara yang menjadi pembuat mutiara laut selatan terbesar di dunia. Karena barang ini merupakan sesuatu yang sangat berharga. Tetapi, apakah kita semua sudah tahu dan paham seberapa berharganya mutiara ini? Dan seberapa vital dampak dari Indonesia sebagai pemain utama di pasar mutiara internasional? Dalam tulisan ini saya akan berusaha untuk mengulik jawaban dari kedua pertanyaan tersebut.

Apa itu Mutiara?

Mutiara adalah sebuah bahan yang membentuk lapisan-lapisan dalam cangkang tiram. Kemudian, bahan itu akan membentuk mutiara induk. Jika ada bahan dari mutiara induk yang terlepas, maka bahan itu disebut mutiara. Cakupan warna mutira cukup luas, mulai dari hitam, putih hingga emas. Jika dilihat dari bentuknya, maka yang paling sering dijumpai adalah yang berebentuk bulat, simetris (bentuk buah pir) dan baraque (bentuk bangunan mutiara abstrak, terdapat tonjolan di sana0sini dan tidak simetris. Biasanya ditemukan di mutiara alami). Umumnya berat mutiara diukur dengan carat, grain dan momme. Selain itu, untuk mengukur dengan berat biasanya dilakukan untuk pembelian dengan jumlah yang banyak, sehingga mayoritas mutiara budidaya diukur dengan ukuran milimeter selain karena faktor kualitas lainnya.

1 carat = 4 grain = 200 miligram = 1/5 gram
1 grain = ¼ carat = 50miligram = 1/20 gram
1 momme = 18.75 carat = 3.750 miligram = 3.75 gram

Mutiara. Sumber: news.kkp.go.id

Nah, secara umum mutiara terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah “aragonite” yang merupakan beberapa lapisan mineral yang mengandung kalsium karbonat dan bagian lain adalah zat perekat “chonchiolin” yang menahan aragonite di dalam mutiara. Karena aragonite merupakan zat yang setengah tembus cahaya, maka zat inilah yang menyebabkan mutiara tampak bersinar.

Kedua zat yang terkandung di dalam mutiara

Kita sudah tahu bagian-bagian di dalam mutiara secara sederhana, lalu bagaimana dengan proses pembuatan mutiara itu sendiri?


Proses Pembentukan Mutiara

Pada tahap awal, terjadi proses biomineralisasi yang berarti masuknya zat asing seperti sebutir pasir, benda asing ini akan merangsang sekresi getah nakreas. Kemudian getah ini akan membentuk lapisan nakreas yang akan membungkus butiran pasir sehingga butiran pasir ini akan tergulung oleh jaringan mantel dan berbentuk bulat. Hingga beberapa waktu, terbentuk butiran pasir yang terbentuk oleh lapisan nakreas yang kemudian disebut mutiara.

Nahh, itu sekilas mengenai apa itu mutiara. Tadi sudah sempat disinggung di awal jika Indonesia mejadi produsen mutiara terbesar di dunia. Lalu seperti apa sih model tiram yang menjadikan Indonesia di posisi yang cukup terpandang di dunia internasional?

Ternyata, tiram tersebut adalah tiram jenis Pinctada Maxima yang merupakan satu-satunya jenis tiram yang meghasilkan mutiara laut selatan yang juga dikenal sebagai mutiara yang memiliki kelas tinggi. Selain Pinctada Maxima, Indonesia juga memiliki jenis-jenis tiram mutiara lainnya, seperti Pinctada Margaritifera, Pinctada Fucata, Pinctada Chemnitzi dan Pteria Penguin. Namun dari banyaknya jenis tiram yang dimiliki Indonesia, tiram Pinctada Maxima merupakan jenis tiram yang paling terkenal dan berharga dibandingkan dengan jenis yang lainnya. Perairan Indonesia merupakan tempat yang sangat cocok untuk membudidayakan tiram jenis itu, mengapa? Ini dia faktor-faktornya:

1.      Sirkulasi air di lautan Indonesia sangat baik, sehingga pertumbuhan plankton dan zooplankton sebagai makanan kerang tersedia cukup melimpah.
2.      Arus air dan angin yang tenang dan terhindar dari gelombang dan angin musim.
3.      Bebas dari pencemaran atau polusi.
4.      Dasar perairan yang terletak di pulau-pulau kecil serta memiliki karang dan berpasir cocok untuk dijadikan tempat budidaya tiram.
5.      Suhu yang baik untuk tiram berkisar antara 25-30 derajat celcius dan suhu air 27-31 derajat celcius alias sangat cocok jika dengan keadaan suhu di Indonesia. Apabila terjadi perubahan suhu yang signifikan, maka akan mengakibatkan kematian tiram karena suhu air dan udara akan memengaruhi pola metabolisme.

Ternyata untuk membudidayakan mutiara jenis Pinctada Maxima juga butuh kondisi-kondisi tertentu yaa.. Sehingga hanya negara-negara tertentu saja yang mampu memproduksi mutiara laut selatan. Selain Indonesia, ada negara-negara lain yang juga berperan sebagai produsen mutiara laut selatan, yaitu:

1.      Australia’
2.      Filipina
3.      Thailand
4.      Myanmar
dan
5.      Vietnam

Dari list negara di atas juga menunjukan jika Pinctada Maxima merupakan aset yang berharga bagi negara-negara ekuator di kawasan Asia Tenggara dan Australia, karena jenis tiram yang menghasilkan mutiara kelas asat hanya cocok dengan iklim negara-negara tersebut.

Mungkin ada yang masih belum mengerti kenapa mutiara laut selatan ditempatkan sangat istimewa di dunia permutiaraan internasional? Untuk lebih jelasnya, mungkin infografis di bawah ini dapat menjelaskan fenomena tersebut.

Indonesian South Sea Pearls

Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, jika mutiara laut selatan dihasilkan dari tiram Pinctada Maxima yang mayoritasnya diproduksi oleh Indonesia. Tiram ini biasanya hanya menghasilkan 1 butir mutiara dalam waktu yang cukup lama (sekitar 4-6 tahun) sehingga hal ini membuat harganya di pasaran menjadi tinggi, yakni sekitar USD 25- USD 100. Selain itu, kualitas yang terkandung di dalamnya juga sudah diakui dunia internasional sebagai mutiara dengan kualitas yang tinggi dan hal ini menyebabkan mutiara laut selatan menjadi populer di dunia internasional.

Jika kita bandingkan dengan mutiara dari negara luar, seperti Chinese Fresh Water Pearls, kualitasnya masih belum bisa menandingi Indonesian South Sea Pearls. Mengapa demikian? Melalui infografis di bawah ini coba saya uraikan hal tersebut sekaligus mengenalkan sekilas apa itu mutiara air tawar China.
Chinese Fresh Water Pearls

Tidak seperti Indonesian South Sea Pearls yang tiramnya hanya mampu memproduksi 1 butir mutiara, mutiara air tawar China dalam sekali budidaya bisa menghasilkan 40 butir mutiara! Sehingga tidak heran jika hukum penawaran berlaku, dimana semakin banyak barang maka akan semakin murah harganya. Mutiara laut selatan Indonesia bisa menjadi mahal karena untuk sekali berproduksi hanya menghasilkan sedikit mutiara.

Selain dari jumlah dan waktu produksi mutiaranya, kualitas yang lebih rendah dari Indonesian South Sea Pearls membuat harga mutiara air tawar China berada di bawah harga dari mutiara yang dihasilkan oleh Pinctada Maxima.

Menelisik Lebih dalam Indonesian South Sea Pearls

Mutiara laut selatan memang merupakan jenis mutiara yang memiliki kualitas terbaik, hal ini bukan asal memberi label kepadanya, melainkan juga melalui serangkaian tahap dan uji kriteria hingga akhirnya bisa menjadi mutiara yang paling berharga di muka bumi ini.

Mutu dari South Sea Pearls

Mutiara yang juga dijuluki sebagai The Queen of Pearls ini umumnya memiliki kilauan yang relatif lebih kuat pancarannya jika dibandingkan dengan mutiara jenis lain, karena memiliki lapisan nacre yang tebal. Permukaan mutiara laut selatan juga relatif bersih dari noda, lubang atau benjolan. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari bulat, tidak simetrin, circle. Dan biasanya bentuk bulat menjadi harga yang paling mahal diantara bentuk-bentuk mutiara lainnya.  Jika dilihat dari warna, Australian South Sea Pearls memiliki corak umum bewarna putih. Sedangkan mutiara laut selatan dari Indonesia dan kawasan ASEAN lainnya cenderung bewarna keemasan, walaupun juga ada yang bewarna putih. Yang terakhir, ukuran mutiara laut selatan memiliki ukuran yang relatif lebih besar, berkisar antara 8-22 mm dengan ukuran rata-rata 15 mm. Walaupun tidak jarang ditemukan pula jika terdapat mutiara yang berukuran lebih kecil dari 8 mm.

Perkembangan Bisnis Mutiara di Indonesia

Komoditas mutiara memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan komoditas kelautan lainnya. Karena mutiara merupakan komoditas yang unik dan eksklusif, yang berarti antara satu mutiara dengan mutiara yang lain memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing dan juga suatu jenis mutiara tidak dapat berkembang secara optimal jika tidak pada habitat aslinya.

Mutiara pada dasarnya bisa didapatkan secara alamiah. Namun, berkat kemajuan teknologi saat ini, budidaya mutiara sudah bisa dilakukan. Sehingga meningkatkan nilai produksi serta nilai komersial, selain itu budidaya mutiara itu sendiri dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan devisa negara akibat hasil dari ekspor mutiara. Bagi lingkungan, budidaya ini juga positif karena ekosistem laut yang semakin dijaga demi kelancaran budidaya mutiara itu sendiri.

Jenis tiram Pinctada Maxima Silver dan Pinctada Maxima Gold merupakan produk andalan Indonesia. Jenis tiram ini banyak dibudidayakan di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Maluku.

Indonesia, seperti sudah disebut di awal, jika memiliki berbagai keuntungan untuk membudidayakan mutiara laut selatan. Sehingga produksi mutiara sepanjang tahun masih bisa berjalan sesuai dengan permintaan mutiara itu sendiri, tidak perlu mengkhwatirkan resiko dari bencana alam.

Secara umum, dalam budidaya mutiara laut selatan Indonesia cukup terkonsentrasi di wilayah timur Indonesia. Berikut daftar wilayah penghasil Indonesian South Sea Pearls:

1.      Papua Barat
2.      Nusa Tenggara Barat
3.      Bali
4.      Nusa Tenggara Timur
5.      Maluku Selatan dan Maluku Utara
6.      Sulawesi (Manado / Bitung / Sulawesi Tengah / Kendari)

Dalam data ekspor mutiara, Jepang menduduki peringkat pertama sebagai destinasi ekspor mutiara laut selatan Indonesia. Hal ini wajar, mengingat saat ini pusat perdagangan mutiara skala internasional masih berada di Jepang dan hampir 80 persen jenis mutiara laut (South Sea Pearls, Black Pearls dan Akoya Pearls) akan singgah di Jepang sebelum di distribusikan ke negara-negara lain. Tetapi, untuk nilai ekspor mutiara ke Jepang sangat fluktuatif. Pada tahun 2005, nilai eskpor mencapai 88 ribu USD. Kemudian setahun berikutnya malah tidak ada satu sen pun dollar yang didapat hasil dari ekspor (BPS, 2007).

Permasalahan Aktual

Ada beberapa masalah yang menyangkut sumber daya yang sangat berharga bagi Indonesia ini. Masalah yang dimaksud dijabarkan pada infografis di bawah ini.

Permasalahan aktual ISSP

Pendapatan warga lokal yang kebanyakan masih berada di kelas menengah ke bawah membuat mereka tidak tertarik kepada mutiara laut selatan Indonesia yang dikenal memiliki harga yang cukup mahal. Maka untuk tetap memenuhi keingiannya memiliki mutiara, mereka lebih memilih mutiara dengan harga yang lebih murah dimana mutiara itu adalah mutiara air tawar China.

Indonesia bukanlah satu-satunya produsen mutiara laut selatan, sehingga harus bersaing untuk memperebutkan market share dari mutiara laut selatan di kancah dunia. Persaingan bisa termasuk dari segi harga, kualitas, hingga pelayanan bagi para konsumen yang membeli langusng di sentra-sentra budidaya mutiara laut selatan.

Sebagai komoditas ekspor (Indonesian South Sea Pearls) yang memegang nilai prestise tinggi, maka membuat negara-negara lain tergiur untuk melabeli mutiara dari Indonesia dengan nama atau produksi lokal negara tersebut. Hal ini diakui oleh Joseph Taylor yang merupakan pelaku di industri mutiara laut selatan saat di wawancara oleh CNN Indonesia. Tentu ini merupakan sebuah kerugian bagi Indonesia karena produk kita diakui secara sepihak oleh negara luar. Sehingga hal ini akan berdampak kepada hilangnya pendapatan potensial yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan budidaya mutiara Indonesia dan jika keadaan lebih buruk lagi, maka pendapatan mereka akan semakin berkurang karena adanya pengurangan ekspor mutiara ke luar negeri akibat adanya pengakuan kepemilikan secara sepihak oleh negara lain.

Selain masalah lisensi, ternyata masalah ekspor yang ilegal menjadi hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam kutipan pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti di laman Suara Merdeka di awal tahun, ekspor mutiara yang tercatat hanya 28 juta dolar AS, padahal potensi yang seharusnya di dapat oleh Indonesia bisa mencapai 200 juta - 300 juta dolar AS, karena Indonesia memproduksi 60%-80% South Sea Pearls di dunia. Jika dibandingkan dengan Australia yang hanya meproduksi 13% mutiara laut selatan, maka nilai ekspor Indonesia benar-benar jauh tertinggal, Australia mampu mendapatkan sekitar 122 juta USD. 

Upaya untuk Mengatasi Masalah

Dalam usaha untuk mengatasi masalah yang pertama, yakni masalah kecenderungan warga lokal yang memilih mutiara dari China. Pemerintah tidak mungkin untuk memaksa rakyatnya guna membeli mutiara laut selatan Indonesia, karena tidak terjangkau. Solusi jangka pendeknya adalah pemerintah bekerja sama dengan para pelaku di pasar mutiara untuk memanfaatkan potensi pasar yang terdapat di luar negeri. Sembari menunggu pendapatan warga lokal semakin baik hingga pada akhirnya mampu untuk membeli mutiara Indonesia.

Kemudian untuk masalah yang kedua, pemerintah sebaiknya memberikan semacam lisensi atau sertifikasi sebagai bukti bahwa mutiara yang di ekspor adalah mutiara asli Indonesia. Karena Joseph Taylor menyatakan pada kesempatan yang sama, bahwa eksportir tidak memiliki sertifikasi mengenai mutiara yang di ekspor ini. Sehingga sangat rawan dengan pengakuan sepihak oleh negara lain. Dan pemecahan masalah nomor tiga, pemerintah bisa memberikan berbagai macam insentif seperti bea keluar yang digratiskan atau dengan memberdayakan industri mutiara laut selatan Indonesia dengan berbagai macam pelatihan ataupun juga peningkatan kapasitas produksi sehingga industri mutiara dapat menghasilkan mutiara lebih banyak dan juga berkualitas. Sehingga efek multipliernya adalah pendapatan perusahaan bisa meningkat seiring dengan pemberdayaan yang pemerintah lakukan kepada industri mutiara nusantara.


Upaya Guna Mengatasi Masalah. Grafis: Penulis

Untuk menghadapi masalah pendapatan ekspor yang belum mencapai potensi maksimalnya, pemerintah dalam hal ini Kementrian KKP tidak bisa sendirian, perlu koordinasi dengan lembaga lain seperti PemDa di daerah tempat budidaya South Sea Pearls. Karena, dengan adanya kerjasama yang intensif antara Kementrian KKP dan PemDa maka diharapkan tidak ada lagi kasus kecolongan jumlah produksi mutiara yang kemudian di ekspor. Lalu kerjasama bisa dilakukan dengan Bea Cukai dan Pelabuhan yang menjadi pintu keluar mutiara yang akan di eskpor. Kemudian, untuk memberikan efek jera terhadap eksportir yang nakal, Kementrian KKP menggandeng kepolisian guna menyelidiki dan memberikan hukuman kepada mereka.

Penutup

Mutiara laut selatan adalah salah satu aset yang bernilai sangat tinggi yang dimiliki oleh Indonesia. Sudah sepatutnya jika pemerintah meningkatkan perhatian kepada industri di bidang ini. Salah satu bukti nyatanya adalah Pemerintah (dalam hal ini direpresntasikan oleh Menteri KKP) mengadakan Indonesian Pearl Festival yang ke 6 kalinya. Tujuannya agar Indonesian South Sea Pearls makin dikenal di dunia internasional hingga menjadikan Indonesia sebagai negara yang dikenal sebagai pemain utama pada bisnis mutiara laut selatan dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan devisa negara dari ekspor mutiara laut selatan. Singkatnya, peluang Indonesia untuk menjadi raja mutiara laut selatan bisa semakin diperkukuh!

DAFTAR REFERENSI

- http://www.lesterandbrown.com/cms/project/10-interesting-facts-about-pearls/
- Data dinas perindustrian dan perdagangan NTB
- Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan NTB
- Buku Profil Dinas Kelautan dan Perikanan
- Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kab. Lombok Barat
- Indonesian South Sea Pearls by Ministry of Trade of RI

Sabtu, 22 Oktober 2016

Lawatan Singkat nan Padat ke Kota Istimewa


Libur semester 3 bulan lamanya seakan-akan terlalu singkat bagi saya dan mungkin juga kawan-kawan saya, setidaknya untuk berkelana menyusuri keindahan sebuah kota yang istimewa, yakni Jogjakarta. Menjadi sangat singkat pula karena ini bukanlah sebuah perjalanan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, ketika kami sering berpapasan di kampus. Melainkan, sebuah wacana yang digulirkan kala liburan menjelang 3 minggu lagi. Sepintas, nampaknya libur masih panjang, namun banyak dari kami yang harus mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan mahasiswa baru (ospek) sehingga akhirnya kami menemukan kata mufakat untuk waktu liburan ini, yakni selama 2 hari 1 malam. Bukan waktu yang lama memang, namun setidaknya lebih baik hanya sesaat daripada tidak sama sekali bukan?

Awal mula perjalanan kami bukanlah tanpa hambatan, jadwal pengisian Isian Rencana Studi (IRS) yang ditunda hingga hari H keberangkatan kami (bahkan dengan jam yang masih belum pasti) membuat kami semua sejak berkumpul dari siang hari hingga perjalanan menuju ST. Pasar Senen masih dipusingkan dengan kelas (re: dosen) yang akan kami pilih dan di saat yang bersamaan sambil harus meluangkan waktu untuk selalu merefresh laman sistem akademik (fenomena ini biasa disebut oleh Mahasiswa UI sebagai SIAK WAR). Hal itu membuat kami nyaris tidak peduli akan kegiatan yang akan dilakukan selama di Jogja. Padahal, waktu kami di sana jugalah tidak lama. Akhirnya, tiba dan turunlah kami di Stasiun Manggarai, stasiun yang menjadi tempat transit sebelum menuju ke Stasiun Pasar Senen (karena tidak bisa diakses langsung dari Stasiun Universitas Indonesia).

Dan... akhirnya selang belasan menit kami menginjakan kaki di Stasiun Manggarai, biro akademik FEB UI pun membuka sesi pengisisan IRS.

“Udah bisa ngisi woyy seriusan!!” Teriakku pada yang lain.

Spontan, kami pun langsung terpaku kepada layar handphone kami masing-masing disertai dengan catatan daftar kelas yang akan kami pilih.

Situasi bertambah tegang ketika beberapa dari kami ada yang bermasalah saat login, sinyal yang kurang kuat hingga kecepatan internet yang tidak terlalu mendukung, sehingga membuat beberapa kawan saya dan juga saya sudah tidak urus dengan catatan daftar kelas yang telah kami buat sebelumnya. Pada akhirnya, secara bergantian kami mengomandoi pengisian IRS secara bersama-sama, dengan menyebut mata kuliah disusul dengan nama kelas.

“Woii.. Mikroekonomi kelasnya yang mana?” tanyaku dengan nada yang agak tinggi.
“Kelas E lik,” sahut Tecan.
Saat regol

Alhamdulillah... rasa lega akhirnya membuncah saat saya dan kawan-kawan sudah menyimpan IRS yang telah kami isi sebelumnya. Tapi, jam sudah hampir menunjukan pukul setengah 11. Berarti hanya selang 30 menit jelang keberangkatan kereta Gaya Baru Malam dari ST. Pasar Senen menuju ST. Lempuyangan. Kemudian bergegaslah kami untuk menaiki kereta ke ST. Pasar Senen.

Perjalanan Dimulai – Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat

Selama sekitar 8 jam perjalanan di kereta, tidak begitu banyak aktifitas yang kami lakukan. Paling-paling hanya membahas kegiatan besok hari, itupun hanya membutuhkan waktu yang singkat, hanya 30 menitan. Kemudian disusul oleh main kartu remi yang ternyata cukup efektif untuk membunuh lamanya perjalanan kami.

Namun ketika mencapai kota Cirebon, datanglah petugas pemeriksa tiket kereta yang kemudian melarang kami untuk bermain kartu, identik dengan perjudian alasannya. Padahal kami tidak melakukannya, malah permainan ini menuntut kami untuk berpikir bagaimana caranya bisa mendapatkan angka 24 dengan kartu yang ada. Demi menjaga ketertiban, langsung saja kami rapikan kartu-kartu yang tadinya berserakan di tengah kursi kami. Kami pun terlelap dalam sisa malam tersebut.

Saat Bermain “24” dengan Kartu Remi di Perjalanan

Hari Pertama di Jogjakarta

Akhirnya setelah menempuh perjalanan semalam penuh, kereta kami tiba di ST. Lempuyangan. Langsung saja kami menuju rumah salah satu kawan kami, Akbar, yang letaknya di Sleman. Hanya butuh 40 menit dari stasiun untuk tiba di rumahnya. Kami pun langsung beristirahat sejenak karena trip pertama kami pun akan dimulai.

Sejak awal, kami memang berniat untuk menyusuri objek wisata alam yang terdapat di daerah ini. Karena keterbatasan waktu pula yang membuat kami tidak bisa mengunjungi objek-objek bersejarah ataupun yang lainnya. Mungkin di waktu yang lain dan juga di lain kesempatan.

Objek wisata Kaliurang menjadi tempat pertama yang kami kunjungi. Karena letaknya yang cukup dekat dari tempat kami menginap.

Tetapi, dalam perjalanannya menuju sana tidaklah begitu mulus. Beberapa kali kami salah mengambil jalan sehingga beberapa kali pula kami tersesat. Hingga setelah selesai ibadah Jumat’an di salah satu mesjid, kami menanyakan kepada seorang bapak-bapak tentang arah menuju tempat wisata Kaliurang. Akhirnya setelah menempuh jarak yang cukup jauh, terlihatlah papan petunjuk arah menuju tempat yang kami tuju.

Ketika kami hendak memarkirkan mobil, keadaan tempat wisata cukup sepi dan juga agak panas. Malah, lebih banyak jumlah monyet yang berada di kawasan tersebut di bandingkan dengan jumlah manusianya. Beberapa dari monyet tersebut menghampiri kami dan sangat tertarik dengan apa yang kami pegang di tangan kami. Hal itu kemudian membuat kami meletakan barang bawaan di tas, bahkan termasuk juga kamera yang biasa rekan kami bawa untuk mendokumentasikan sebuah momen.

Tiket sudah di tangan, tanpa membuang waktu lagi kami langsung berjalan menyusuri Bukit Plawangan. Dengan kondisi badan yang tak begitu bugar membuat medan yang sebenarnya tidak begitu parah (karena kontur tanah yang tidak begitu lembab) menjadi cukup berat untuk saya dan beberapa kawan saya lalui. Namun, karena kami berjalan bersama-sama, berarti kami juga menghadapi rintangan yang sama. Melihat kawan saya yang tidak kelelahan, membuatku demikian juga. Rasa semangat dan keingin tahuan kami meredam rasa lelah selama perjalanan ini. Secara keseluruhan butuh 45 menit untuk tiba di puncak Bukit Plawangan. Rasa lelah kami selama perjalanan terbayar lunas dengan hasil yang kami dapatkan yakni indahnya pemandangan Gunung Merapi.

Hasil Perjalanan yang Terbayar Lunas

Di sana juga terdapat pos 3 tingkat yang merupakan tempat strategis untuk melihat pemandangan Gunung Merapi. Keadaan pos yang sepi membuat kami bisa leluasa untuk mengabadikan momen ini.
Kami tidak berlama-lama berada di puncak bukit. Karena setelah Kaliurang, kami akan menuju ke arah selatan Jogjakarta, yakni Pantai Depok.

Berbeda dengan perjalanan berangkat menuju bukit tadi, perjalanan pulang kali ini tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan perjalanan pulang. Mungkin karena memang rasa lelah kami terbayarkan dengan apa yang kami dapat saat mencapai puncak atau mungkin juga karena kami memiliki satu tujuan lagi di hari perdana ini. Sehingga rasa semangat masih terus terjaga.

Awalnya ketika mobil yang kami tumpangi masih berada di daerah desa Kaliurang, kami merasa bahwa jadwal tempat wisata di hari pertama ini cukup riskan. Mengingat letak antara Kaliurang dan Pantai Depok sangat jauh, dari ujung utara Jogja menuju ujung selatannya. Namun, karena objek wisata alam lain yang lebih dekat dari Kaliurang dan masuk dalam list kami seperti Kalibiru dan Goa Pindul yang tutup di sore hari membuat Pantai Depok menjadi pilihan terbaik walaupun harus menempuh perjalanan dari ujung ke ujung.

Mulai masuk kawasan kampus Universitas Gajah Mada, Jalan Raya Kaliurang mulai padat. Padahal kami belum sampai di pusat kota Jogja, yang artinya masih harus menghadapi kemacetan lagi. Raut muka yang pesimis gagal mendapatkan momen sunset dari kawanku yang kulihat dari spion tengah mulai memancar. Ditambah lagi, kami juga belum makan siang. Seakan-akan lengkaplah situasi ini. Antunan lagu dari radio tidak membuat suasana semakin baik.

Monumen Tugu sudah nampak dari kabin mobil kami, masih cukup jauh dari jalan raya menuju pantai. Berkali-kali saya membuka GPS dan berkali-kali pula menampilkan jalanan yang bewarna merah menyala (tanda untuk jalan yang macet). Macet kali ini bahkan lebih parah jika dibandingkan ketika saya berkunjung di Hari Raya Idul Fitri lalu. Untung saja kami membawa makanan ringan dari rumah Akbar, sehingga bisa sedikit meredakan rasa lapar.

Beruntung, ketika kami sudah berada di Jalan Raya Parangtritis, keadaan cukup lowong. Sehingga cukup mengejutukan ketika kami tiba di gerbang Pantai Depok, jam tanganku masih menunjukan pukul 5 sore. Setidaknya kami masih punya harapan untuk melihat matahari tenggelam dari selatan Jogjakarta.

Setibanya di pantai, kami langsung menuju musholla untuk melakukan sholat Ashar. Setelahnya kami langsung menuju pasar ikan untuk menyiapkan makan malam yang dimasak oleh ibu-ibu yang menyediakan jasa memasak makanan laut.

Setelah memarkirkan mobil di dekat toko yang memasak belanjaan makanan laut kami, kamipun langsung bergegas untuk menuju pantai. Namun cukup disayangkan, bahwa cuaca tidak begitu cerah sehingga proses matahari tenggelam tidak begitu jelas.


Saat di Pantai Depok

Gagal mendapatkan sunset tidaklah menjadi persoalan yang dilebih-lebihkan oleh kami, kami tetap menikmati hembusan angin pantai yang menjadi barang langka ketika kami disibukkan dengan aktifitas kami di kampus. 

Setelah menikmati pesona Pantai Depok, kami mengakhirinya dengan menyantap hidangan hewan laut yang menjadi kompensasi atas makan siang yang tertunda hingga larut malam. Karena keasyikan makan, kami pun tidak mendokumentasikan hal ini. Cukup disayangkan, tapi memang karena kami semua fokus makan, maka hal-hal di luar ini menjadi tak terpikirkan.

Rupanya 3 kg makanan laut cukup untuk merapel makan siang yang tertunda beserta makan malam ini. Sinar bulan menemani perjalanan pulang kami menuju kota. Sebelum menuju rumah Akbar kami menyempatkan diri untuk nongkrong di Kopi Joss, pinggiran jalan Malioboro. Tidak lama-lama kami di sini, karena gerimis langsung menerjang dan memang hari sudah larut malam, sudah waktunya untuk pulang. Mengakhiri perjalanan di hari perdana kami.

Hari Kedua di Jogjakarta

Jika di hari pertama kami melakukan perjalanan dari Utara ke Selatan, maka pada kali ini kami akan melakukan pejalanan dari Barat ke tengah kota, atau tepatnya dari Kalibiru dan ST. Lempuyangan.
Tidak ingin mengulangi kesalahan seperti kemarin, kami pun berangkat lebih pagi. Pukul 8 kami sudah mulai jalan dari rumah penginapan. Arus lalu lintas menuju Wates terlihat cukup longgar. Di lingkar barat, mobil kami mampu menempuh hingga kecepatan 100 km/jam. Hal yang sangat kontras dibandingkan kemarin.

Hanya butuh sekitar 1 jam untuk tiba di Kabupaten Wates, namun perjalanan dari Wates menuju Kalibiru lah yang memakan waktu lama. Akses yang berliku dan sempit membuat mobil yang kami tumpangi harus ekstra hati-hati.

Sebelum tiba di Kalibiru, kami menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di Waduk Sermo. Sebenarnya tidak ada tempat semacam rest area di daerah ini, mobil kami pun diparkirkan di pinggir jalan (yang letaknya persis di pinggir waduk), mengikuti beberapa mobil di depan kami. Tempat ini cukup terik ditambah dengan tidak adanya pohon di pinggiran jalan membuat udara di sini sangat panas. Walaupun begitu, pemandangan yang ada bisa dijadikan objek foto-foto ria sambil meregangkan badan sebelum menuju tempat wisata utama.

Setelah melewati Waduk Sermo, jalanan makin lama makin curam, sempit ditambah letaknya berada di antara tebing dan jurang membuat perjalanan semakin seru. Saking sempitnya, jika bertemu mobil yang berpapasan maka salah satu mobil harus minggir dan berhenti. Beruntung, jarang sekali kami berpapasan dengan mobil lainnya.

Harus diakui jika memang berkendara di akses Kalibiru dibutuhkan konsentrasi yang cukup. Karena mobil yang berada di depan kami dalam satu momen membuat adrenalin kami meningkat. 

Bagaimana tidak, kami harus berhenti dalam posisi menanjak dengan kemiringan sekitar 45o  karena mobil di depan kami tidak bisa belok dalam satu kali putaran dan hal tersebut ditambah dengan adanya jurang yang terletak persis di belakang kami. Sadar bahwa mobil di depan tidak bisa belok, maka saya pun melepas rem perlahan-lahan untuk memberikan space kepada mobil depan untuk mundur sedikit, kawanku baris belakang sudah mewanti-wanti agar tidak terus-terusan mundur karena terdapat jurang.

“Likk likk belakang jurang woyy, jangan mundur-mundur lagi!!” Dimas dan Tecan mengingatkanku sambil melihat kaca belakang.

“Itu mobil depan mau mundur coyy. Gak ada ruang juga ini buat dia,” sahutku

Dari kejauhan, nampak deretan mobil yang parkir di pinggir jalan, pertanda kami sudah tiba di Kalibiru. Ramai sekali tempat ini, maklum saja karena memang hari ini merupakan akhir pekan. Sehingga banyak keluarga yang berlibur kesini. Suasana yang ramai membuat spot-spot foto menjadi penuh antrian, bahkan harus menunggu sekitar 2 jam untuk mendapat giliran foto di sana. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak ikut mengantri dan mencari spot foto sendiri yang tidak perlu menunggu lama.
Saat di Kalibiru

Hanya sebentar kami menghabiskan waktu di Kalibiru, karena kami ditunggu oleh jadwal keberangkatan kereta pulang di sore harinya.

Sebelum menuju stasiun, rasanya kurang afdol jika tidak membawa buah tangan dari sini, sehingga mampirlah kami sejenak di Maliboro, sekaligus menjadi penutup perjalanan singkat kami di kota yang istimewa, Kota Jogjakarta. 

Akhir dari Lawatan Singkat di Jogjakarta