Minggu, 22 Mei 2016

Kebijakan Publik dalam Permasalahan Turunnya Permukaan Tanah di Jakarta

Hakekat Pemerintah

Semua negara di dunia ini memiliki organsisasi yang khusus untuk mengurusi kegiatan negara dalam kesehariannya. Dirasa tidak cukup dengan hanya mengandalkan aparatur negara jika harus masuk ke dalam persoalan-persoalan yang menimpa daerah (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa untuk lapisan penamaan wilayah di Indonesia) maka terdapat pula aparatur daerah yang memfokuskan dirinya untuk memantau, menganalisis hingga menangani suatu masalah di daerah kekuasaannya (kekuasaan terbatas oleh kekuasaan yang dimiliki rakyat dalam sistem demokrasi from people to the people for people). Tugas inti dari pemerintah adalah melayani rakyatnya.

Sulit dibayangkan jika negara atau daerah tidak memiliki sebuah perangkat yang mengatur keberlangsungan hidup negara yang bersangkutan. Karena kita selama ini melihat dan mengetahui bahwa peran pemerintah (dalam hal ini di Indonesia) sangat kentara terasa di Republik ini. Bayangkan, mulai dari hal-hal vital yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti listrik, bahan bakar minyak, berbagai jenis pangan yang diatur sedemikian rupa oleh pemerintah (yang menganut mahzab Keynesian, yang merupakan aliran ekonomi dimana pemerintah harus ambil peran dalam aktifitas ekonomi negaranya) lewat kekuasaannya untuk meneribtkan seperangkat aturan seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan turunannya (Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Meneteri, TAP MPR, Peraturan Daerah hingga Perturan Gubernur yang kesemuanya merupakan output dari kebijakan publik). Belum lagi berbagai aturan yang mengatur berbagai macam sendi kehidupan seperti hukum dan HAM, politik maupun sosial. Dengan keadaan yang seperti itu praktis memang bahwa sulit kemungkinan jika suatu negara tidak memiliki pemerintahan.

Polemik Tanah Jakarta yang Menurun

Jakarta, merupakan kota yang memiliki velocity of money hingga sekitar 60-70%  dan angka sisanya, yakni 30-40% dibagi kepada daerah lain dengan porsi yang berbeda-beda, tergantung dari kegiatan ekonomi daerah yang bersangkutan seperti apa bentuknya. Dengan kondisi tersebut, membuat Ibu Kota Indonesia ini begitu seksi bagi para pendatang dari daerah untuk berbondong-bondong mengadu nasibnya (walaupun orang daerah tidak tahu atau tidak mengerti bahkan tidak peduli dengan (pengertian dan mekanisme) peredaran uang yang ada di Jakarta, tetapi hal tersebut tetap tidak menghalangi pandangan bahwa Jakarta dirasa menjadi tempat yang pas untuk mengubah taraf hidup mereka.

Lalu apa hubungannya dengan peredaran uang yang tinggi tadi di Jakarta? Jika kita melihat persamaan pertukaran yang ditemukan oleh Irving Fischer ini, bahwa semakin tinggi jumlah uang (dilambangkan dengan M) dan diikuti oleh V yang merupakan kecepatan perputaran uang, maka penduduk yang berada di Jakarta akan memegang uang lebih sering jika dibandingkan dengan di desa (dengan V yang rendah). Dengan penduduk memegang uang lebih sering maka kesempatan untuk membeli barang dan jasa semakin sering. Hal ini akan berbalik keadaanya jika penduduk tetap tinggal di desa dengan aktifitas ekonomi (dilambangkan dengan M x V) yang rendah (relatif) jika dibandingkan dengan Jakarta. Maka kesempatan penduduk untuk menaikan kelas ekonominya agak sulit. Kenapa? Karena jumlah uang yang beredar mayoritasnya hanya berada di Jakarta, bahkan untuk di daerah persentasenya kecil sekali, hanya 7-10% saja.

Untuk penggambaran yang lebih riilnya, contohnya seperti di kampung halaman saya, yakni di Karanganyar, Jawa Tengah. Sewaktu berkunjung kesana di hari-hari biasa, aktifitas pasar tradisionalnya yakni Pasar Karangpandan (karena pasar merupakan tempat terbaik untuk melihat peredaran uang atau aktifitas ekonomi secara umum. Tetapi tidak hanya pasar Karangpandan saja, hal yang sama juga berlaku pada tempat-tempat wisata maupun jajanan di pusat kabupaten) relatif lebih sepi jika dibandingkan dikala menjelang hari raya Idul Fitri dimana orang-orang sudah banyak yang tiba di kampung halamannya dan hal ini juga akan menyemarakkan kegiatan ekonomi di sana, orang-orang yang merayakan hari raya ini memilik tendensi untuk berbelanja lebih jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Efeknya, orang-orang yang berjualan memiliki kesempatan untuk menerima uang lebih sering jika dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Inilah yang menjadi penggambaran mengapa komponen money velocity menjadi salah satu pemikat (dan penyebab?) kepadatan penduduk di Jakarta. Hal ini juga dapat merefeleksikan bahwa hari raya Idul Fitri (atau hari besar dan panjang lainnya) dapat menjadi salah satu cara untuk menyebarkan kekayaan (peredaran uang) yang tadinya berpusat di Jakarta menjadi di berbagai kota maupun daerah.

Lalu, mengapa saya memasukan unsur peredaran uang dalam pembahasan kali ini? Peredaran uang menjadi polemik bagi suatu pemerintah (dalam hal ini Indonesia) karena akan menciptakan kesenjangan antara kesejahteraan penduduk desa dan kota. Mayoritas uang beredar di Jakarta juga menjadi akar masalah yang serius untuk diperhatikan sebelum kita memperthatikan akibat dari masalah yang lahir karenanya (penurunan tanah di Jakarta). Ketika aktifitas ekonomi mayoritas terjadi di Jakarta, maka para investor atau perusahaan akan cenderung melakukan ekspansi usahanya di kota yang pada jaman penjajahan Belanda bernama Batavia ini. Selain itu, yang sudah kita bahas bahwa penduduk juga akan berbondong-bondong untuk datang ke Jakarta. Kedua hal tersebut akan menambah pembangunan gedung dan juga berbagai macam infrastruktur lainnya. Jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Bandung, Surabaya, Makassar, maupun Medan, bahwa Jakarta lah kota yang memiliki gedung pencakar langit terbanyak diantara kota-kota tersebut. Tentu, berdirinya gedung-gedung tinggi tersebut akan menambah beban bumi untuk menopang berdirinya gedung tersebut dan selain itu akan meningkatkan eksploitasi air tanah yang massif, karena kebutuhannya juga besar.

Eksploitasi air yang berlebihan menjadi salah satu penyebab turunnya tanah di Jakarta. Kemudian terdapat faktor dari luar, yakni perubahan iklim yang menyebabkan es di kutub mencair, sehingga akan meningkatkan jumlah air di lautan dan menyebabkan permukaan laut yang semakin meninggi.
Berbagai upaya nyata sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merespon kejadian ini, yakni dengan membangun tanggul di Jakarta Utara yang dimaksudkan agar air laut tidak menggenangi daratan pesisir Jakarta Utara yang dimana terdapat banyak rumah-rumah warga, pelabuhan untuk nelayan hingga PLTU Muara Kamal. Lalu, bagaimana dengan solusi dari segi kebijakan publik yang pemerintah bisa gunakan untuk mengantisipasi bencana ini?

Mengenal Kebijakan Publik

Sudah sempat disinggung pada bagian awal makalah ini, bahwa bentuk dari kebijakan publik adalah UUD, UU, Peraturan Presiden dan lain sebagainya. Kemudian, dari sana kita bisa menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah suatu konsep atau rancangan dari pemerintah yang behubungan dengan kepentingan umum. UUD disusun oleh Presiden dan disahkan oleh DPR, begitu pula PerDA yang merupakan rancangan dari Kepala Daerah kemudian dibahas di DPRD sebelum disahkan menjadi PerDa yang berlaku di masyarakat. Namun, kebijakan publik tidak hanya sebatas peraturan saja, tetapi juga dalam rancangan belanja negara (APBN) dan juga belanja daerah (APBD). Karena rancangan belanja tersebut juga memiliki kaitannya dengan kepentingan umum (uang dari APBN dan APBD mayoritas berasal dari pajak yang dipungut dari masyarakat. Kemudian ada beberapa pos anggaran yang dapat dirasakan betul untuk masyarakat seperti pendidikan dan masyarakat).

Solusi Kebijakan Publik untuk Merespon Penurunan Tanah di Jakarta

Ada banyak pihak (terutama kelompok Home Group di kelas MPKT B – J) yang menawarkan berbagai macam solusi untuk mengatasi problem serius di kota yang memiliki 13 sungai ini. Mulai dari hal yang kecil nan sederhana seperti membuat lubang resapan air, kolam penampungan air, sampai biopori. Ada yang menengah, seperti pembangunan gedung yang menggunakan konsep green building. Selain itu tidak ketinggalan juga kebijakan yang bersifat pencegahan yakni moratorium pembangunan (pemberhentian segala aktifitas pembanguan di tempat yang menjadi sasaran dari moratorium tersebut). Hingga solusi yang sangat wow, yakni pembangunan Giant Sea Wall (Tanggul raksasa).

Dari keseluruhan solusi di atas, keseluruhannya terdengar positif. Di sisi lain, juga masuk ranah yang mejadi tema kami, yaitu kebijakan publik. Karena bagaimanapun, pembangunan tempat penampung air, konsep green building, hingga megaproyek Giant Sea Wall harus memiliki dasar hukumnya, tidak bisa asal bangun yang penting jadi. Apalagi hal ini berkaitan dengan keberlangsungan daerah Jakarta yang diramalkan pada tahun 2030 garis pantainya berada di Senayan. Kemudian, jika pembangunan tersebut dananya berasal dari APBD maupun APBN, maka makin menguatkan bahwa solusi yang ditawarkan masuk ke dalam tema kami.

Kalau di istilah finansial, terdapat istilah too big to fail untuk menggambarkan betapa buruknya jika institusi keuangan (yang besar) akan bangkrut, efeknya akan kerasa kemana-mana, berdampak sistemik (istilah yang popular untuk kasus bank yang bermasalah di tahun 2008). Maka Jakarta, bisa kami sebut too big to sink. Sulit dibayangkan jika Jakarta tenggelam dan hilang (separuhnya, karena kawasan Senayan diprediksikan menjadi garis pantai baru dan sebelah selatannya seperti Fatmawati, Simatupang dan Pondok Indah menjadi lebih dekat untuk berekreasi di pantai. *semoga prediksinya salah) akan berdampak sekali terhadap kondisi ekonomi, sosial dan politiknya karena bagaimanapun segalanya ada di Jakarta minus sumber daya alam. Dengan persentase peredaran uang yang mencapai 70%, berarti jika Jakarta hilang sebagian dan aktifitas ekonomi Indonesia berkurang 35%, Indonesia bahkan mengalami lebih dari sekedar resesi.  Tentu saja pernyataan itu berlebihan, karena Jakarta tidak tenggelam dalam hitungan hari atau jam. Namun, itu hanya kami gunakan untuk menggambarkan bahwa Jakarta too big to sink.

Oleh karena itu, pemerintah (baik pusat maupun daerah, walaupun praktis ada desentralisasi, namun semua kantor pemerintah pusat bahkan Istana Negara terdapat di Jakarta) harus tanggap cepat dalam merumuskan berbagai macam kebijakan publik entah itu dari segi peraturan maupun pembangunan.
Tetapi, dari berbagai solusi yang kami ketahui dari presentasi seluruh HG di kelas. Menurut kami solusi yang cukup efisien adalah konsep green building dan juga moratorium pembanguan. Kenapa tidak memasukan pembuatan kolam penampungan air, biopori maupun pembangunan tanggul raksasa? Mari kita bahas satu persatu.

Sulit sekali untuk menemukan lahan kosong yang luas dan juga tersebar di penjuru kota Jakarta menjadikan handicap untuk pembangunan kolam penampungan air. Jika hanya membangun sedikit dan berukuran kecil dimungkinkan jika pembanguna kolam tidak mencapai titik optimumnya. Padahal manfaat dari pembangunan kolam penampungan air ini cukup banyak seperti dapat menampung air hujan yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh gedung-gedung untuk dikonsumsi demi mengurangi atau menghilangkan eksploitasi air tanah yang menjadi salah satu penyebab turunnya tanah di Jakarta. Kemudian bisa dijadikan tempat penampungan air hujan ketika semakin terbatasnya ruang terbuka hijau yang salah satu fungsinya untuk menyerap air hujan karena banyaknya pembangunan gedung.

Biopori, sebenarnya ini merupakan suatu hal yang harus diinternasilisasikan kepada masyarakat khusunya di DKI Jakarta. Membuat peraturan daerah untuk mewajibkan pembuatan lubang biopori di lingkungan sekitar tidak akan berjalan efektif jika masyarakatnya tidak diberikan edukasi mengenai pengertian dan manfaat yang dihasilkan oleh lubang biopori ini. Terlebih, kegiatan ini sifatnya seperti sukarela. Artinya dibutuhkan perangkat pemerintah terbawah (yakni kepala Rukun Tetangga) untuk menjadi pioneer dalam pembuatan lubang biopori tersebut, bisa lewat kerja bakti bulanan misalnya. Dan yang terpenting adalah, tidak ada paksaan untuk melakukan hal tersebut. Karena jika lewat peraturan yang dibuat pemerintah sifatnya adalah memaksa. Jika melanggar, bisa dikenai hukuman. Tentu orang lebih suka jika tidak dipaksa bukan? Apalagi hal ini berkaitan dengan keberlangsungan tempat tinggal mereka.

Pembanguan tanggul raksasa, yang biayanya ditaksir mencapai 450 triliun rupiah ini merupakan proyek yang sangat mahal. Dengan menggunakan asumsi APBN Indonesia tahun 2016 yang penerimaannya ditargetkan sebesar Rp 1.822 triliun, berarti pemerintah pusat harus melonggarkan 24,2% dari pos belanja pemerintah untuk membiayai proyek ini. Hal yang dirasa mustahil mengingat pada APBN di tahun yang sama diasumsikan defisit hingga 2,15% dari penerimaan negara.

Pembiayaan melalui utang juga dirasa riskan. Apakah benar jika tanggul raksasa ini bisa menjanjikan pendapatan yang dapat digunakan untuk mencicil utang nantinya? Mungkin jika nantinya tanggul ini dikomersialisasikan seperti Palm Island di Dubai akan menghasilkan pendapatan baru. Berarti kawasan ini hanya eksklusif untuk orang-orang yang berada di kelas atas? Kemudian orang-orang kecil seperti nelayan akan kehilangan mata pencahariannya dikarenakan pembangunan pulau baru yang awalnya merupakan tempat mereka berlayar? Kemudian juga, pembangunan tanggul raksasa hanya akan mengantisipasi salah satu dari kedua faktor utama penyebab penurunan tanah di Jakarta, yakni meningkatnya ketinggian permukaan laut. Tanggul raksasa tidak menyelesaikan masalah dari eksploitasi air tanah secara massif. Lalu, apakah dengan mengeluarkan Rp 450 triliun ini dirasa efektif jika hanya bisa mengatasi satu penyebab saja? Entahlah, pemerintah pasti memiliki hitung-hitungan sendiri mengenai hal ini.

Kami berasumsi bahwa solusi yang kami pilih merupakan solusi yang applicable dan murah serta relatif tanpa resiko, yakni konsep green building dan moratorium pembangunan.


Konsep green building menjadi konsep yang murah karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membangun konsep ini (asumsi jika pembanguna gedung dilakukan oleh pihak swasta), pemerintah hanya perlu mengeluarkan peraturan yang memberlakukan agar semua gedung di Jakarta mengikuti konsep green building. Tentu hal ini menjadi applicable karena pembuatan peraturan adalah wewenang dari pemerintah. Lalu, ada moratorium pembangunan. Sama seperti sebelumnya bahwa kebijakan ini bentuknya adalah seperangkat aturan yang menyatakan pelarangan pembanguna gedung bertingkat dan ukuran yang besar untuk mengurangi penyebab turunnya permukaan tanah di Jakarta. Hal ini juga akan membawa berkah bagi daerah lain karena adanya peralihan pembangunan dari kota Jakarta ke kota-kota lainnya di Indonesia. Tetapi, jangan lupakan bahwa pemerintah harus menyiapkan segala fasilitas yang merata di kota-kota besar lainnya agar menjadi insentif bagi perusaahaan atau investor yang ingin melakukan pembangunan di daerah tersebut.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya pribadi berpendapat bahwa pemerintah harus cepat dan cermat dalam memutuskan berbagai macam solusi yang sudah di bahas oleh para ahli. Karena jika terlambat dalam memutuskan tindakan, maka Jakarta akan tiada dan kerugian yang tiada tara.