Sabtu, 22 Oktober 2016

Lawatan Singkat nan Padat ke Kota Istimewa


Libur semester 3 bulan lamanya seakan-akan terlalu singkat bagi saya dan mungkin juga kawan-kawan saya, setidaknya untuk berkelana menyusuri keindahan sebuah kota yang istimewa, yakni Jogjakarta. Menjadi sangat singkat pula karena ini bukanlah sebuah perjalanan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, ketika kami sering berpapasan di kampus. Melainkan, sebuah wacana yang digulirkan kala liburan menjelang 3 minggu lagi. Sepintas, nampaknya libur masih panjang, namun banyak dari kami yang harus mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan mahasiswa baru (ospek) sehingga akhirnya kami menemukan kata mufakat untuk waktu liburan ini, yakni selama 2 hari 1 malam. Bukan waktu yang lama memang, namun setidaknya lebih baik hanya sesaat daripada tidak sama sekali bukan?

Awal mula perjalanan kami bukanlah tanpa hambatan, jadwal pengisian Isian Rencana Studi (IRS) yang ditunda hingga hari H keberangkatan kami (bahkan dengan jam yang masih belum pasti) membuat kami semua sejak berkumpul dari siang hari hingga perjalanan menuju ST. Pasar Senen masih dipusingkan dengan kelas (re: dosen) yang akan kami pilih dan di saat yang bersamaan sambil harus meluangkan waktu untuk selalu merefresh laman sistem akademik (fenomena ini biasa disebut oleh Mahasiswa UI sebagai SIAK WAR). Hal itu membuat kami nyaris tidak peduli akan kegiatan yang akan dilakukan selama di Jogja. Padahal, waktu kami di sana jugalah tidak lama. Akhirnya, tiba dan turunlah kami di Stasiun Manggarai, stasiun yang menjadi tempat transit sebelum menuju ke Stasiun Pasar Senen (karena tidak bisa diakses langsung dari Stasiun Universitas Indonesia).

Dan... akhirnya selang belasan menit kami menginjakan kaki di Stasiun Manggarai, biro akademik FEB UI pun membuka sesi pengisisan IRS.

“Udah bisa ngisi woyy seriusan!!” Teriakku pada yang lain.

Spontan, kami pun langsung terpaku kepada layar handphone kami masing-masing disertai dengan catatan daftar kelas yang akan kami pilih.

Situasi bertambah tegang ketika beberapa dari kami ada yang bermasalah saat login, sinyal yang kurang kuat hingga kecepatan internet yang tidak terlalu mendukung, sehingga membuat beberapa kawan saya dan juga saya sudah tidak urus dengan catatan daftar kelas yang telah kami buat sebelumnya. Pada akhirnya, secara bergantian kami mengomandoi pengisian IRS secara bersama-sama, dengan menyebut mata kuliah disusul dengan nama kelas.

“Woii.. Mikroekonomi kelasnya yang mana?” tanyaku dengan nada yang agak tinggi.
“Kelas E lik,” sahut Tecan.
Saat regol

Alhamdulillah... rasa lega akhirnya membuncah saat saya dan kawan-kawan sudah menyimpan IRS yang telah kami isi sebelumnya. Tapi, jam sudah hampir menunjukan pukul setengah 11. Berarti hanya selang 30 menit jelang keberangkatan kereta Gaya Baru Malam dari ST. Pasar Senen menuju ST. Lempuyangan. Kemudian bergegaslah kami untuk menaiki kereta ke ST. Pasar Senen.

Perjalanan Dimulai – Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat

Selama sekitar 8 jam perjalanan di kereta, tidak begitu banyak aktifitas yang kami lakukan. Paling-paling hanya membahas kegiatan besok hari, itupun hanya membutuhkan waktu yang singkat, hanya 30 menitan. Kemudian disusul oleh main kartu remi yang ternyata cukup efektif untuk membunuh lamanya perjalanan kami.

Namun ketika mencapai kota Cirebon, datanglah petugas pemeriksa tiket kereta yang kemudian melarang kami untuk bermain kartu, identik dengan perjudian alasannya. Padahal kami tidak melakukannya, malah permainan ini menuntut kami untuk berpikir bagaimana caranya bisa mendapatkan angka 24 dengan kartu yang ada. Demi menjaga ketertiban, langsung saja kami rapikan kartu-kartu yang tadinya berserakan di tengah kursi kami. Kami pun terlelap dalam sisa malam tersebut.

Saat Bermain “24” dengan Kartu Remi di Perjalanan

Hari Pertama di Jogjakarta

Akhirnya setelah menempuh perjalanan semalam penuh, kereta kami tiba di ST. Lempuyangan. Langsung saja kami menuju rumah salah satu kawan kami, Akbar, yang letaknya di Sleman. Hanya butuh 40 menit dari stasiun untuk tiba di rumahnya. Kami pun langsung beristirahat sejenak karena trip pertama kami pun akan dimulai.

Sejak awal, kami memang berniat untuk menyusuri objek wisata alam yang terdapat di daerah ini. Karena keterbatasan waktu pula yang membuat kami tidak bisa mengunjungi objek-objek bersejarah ataupun yang lainnya. Mungkin di waktu yang lain dan juga di lain kesempatan.

Objek wisata Kaliurang menjadi tempat pertama yang kami kunjungi. Karena letaknya yang cukup dekat dari tempat kami menginap.

Tetapi, dalam perjalanannya menuju sana tidaklah begitu mulus. Beberapa kali kami salah mengambil jalan sehingga beberapa kali pula kami tersesat. Hingga setelah selesai ibadah Jumat’an di salah satu mesjid, kami menanyakan kepada seorang bapak-bapak tentang arah menuju tempat wisata Kaliurang. Akhirnya setelah menempuh jarak yang cukup jauh, terlihatlah papan petunjuk arah menuju tempat yang kami tuju.

Ketika kami hendak memarkirkan mobil, keadaan tempat wisata cukup sepi dan juga agak panas. Malah, lebih banyak jumlah monyet yang berada di kawasan tersebut di bandingkan dengan jumlah manusianya. Beberapa dari monyet tersebut menghampiri kami dan sangat tertarik dengan apa yang kami pegang di tangan kami. Hal itu kemudian membuat kami meletakan barang bawaan di tas, bahkan termasuk juga kamera yang biasa rekan kami bawa untuk mendokumentasikan sebuah momen.

Tiket sudah di tangan, tanpa membuang waktu lagi kami langsung berjalan menyusuri Bukit Plawangan. Dengan kondisi badan yang tak begitu bugar membuat medan yang sebenarnya tidak begitu parah (karena kontur tanah yang tidak begitu lembab) menjadi cukup berat untuk saya dan beberapa kawan saya lalui. Namun, karena kami berjalan bersama-sama, berarti kami juga menghadapi rintangan yang sama. Melihat kawan saya yang tidak kelelahan, membuatku demikian juga. Rasa semangat dan keingin tahuan kami meredam rasa lelah selama perjalanan ini. Secara keseluruhan butuh 45 menit untuk tiba di puncak Bukit Plawangan. Rasa lelah kami selama perjalanan terbayar lunas dengan hasil yang kami dapatkan yakni indahnya pemandangan Gunung Merapi.

Hasil Perjalanan yang Terbayar Lunas

Di sana juga terdapat pos 3 tingkat yang merupakan tempat strategis untuk melihat pemandangan Gunung Merapi. Keadaan pos yang sepi membuat kami bisa leluasa untuk mengabadikan momen ini.
Kami tidak berlama-lama berada di puncak bukit. Karena setelah Kaliurang, kami akan menuju ke arah selatan Jogjakarta, yakni Pantai Depok.

Berbeda dengan perjalanan berangkat menuju bukit tadi, perjalanan pulang kali ini tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan perjalanan pulang. Mungkin karena memang rasa lelah kami terbayarkan dengan apa yang kami dapat saat mencapai puncak atau mungkin juga karena kami memiliki satu tujuan lagi di hari perdana ini. Sehingga rasa semangat masih terus terjaga.

Awalnya ketika mobil yang kami tumpangi masih berada di daerah desa Kaliurang, kami merasa bahwa jadwal tempat wisata di hari pertama ini cukup riskan. Mengingat letak antara Kaliurang dan Pantai Depok sangat jauh, dari ujung utara Jogja menuju ujung selatannya. Namun, karena objek wisata alam lain yang lebih dekat dari Kaliurang dan masuk dalam list kami seperti Kalibiru dan Goa Pindul yang tutup di sore hari membuat Pantai Depok menjadi pilihan terbaik walaupun harus menempuh perjalanan dari ujung ke ujung.

Mulai masuk kawasan kampus Universitas Gajah Mada, Jalan Raya Kaliurang mulai padat. Padahal kami belum sampai di pusat kota Jogja, yang artinya masih harus menghadapi kemacetan lagi. Raut muka yang pesimis gagal mendapatkan momen sunset dari kawanku yang kulihat dari spion tengah mulai memancar. Ditambah lagi, kami juga belum makan siang. Seakan-akan lengkaplah situasi ini. Antunan lagu dari radio tidak membuat suasana semakin baik.

Monumen Tugu sudah nampak dari kabin mobil kami, masih cukup jauh dari jalan raya menuju pantai. Berkali-kali saya membuka GPS dan berkali-kali pula menampilkan jalanan yang bewarna merah menyala (tanda untuk jalan yang macet). Macet kali ini bahkan lebih parah jika dibandingkan ketika saya berkunjung di Hari Raya Idul Fitri lalu. Untung saja kami membawa makanan ringan dari rumah Akbar, sehingga bisa sedikit meredakan rasa lapar.

Beruntung, ketika kami sudah berada di Jalan Raya Parangtritis, keadaan cukup lowong. Sehingga cukup mengejutukan ketika kami tiba di gerbang Pantai Depok, jam tanganku masih menunjukan pukul 5 sore. Setidaknya kami masih punya harapan untuk melihat matahari tenggelam dari selatan Jogjakarta.

Setibanya di pantai, kami langsung menuju musholla untuk melakukan sholat Ashar. Setelahnya kami langsung menuju pasar ikan untuk menyiapkan makan malam yang dimasak oleh ibu-ibu yang menyediakan jasa memasak makanan laut.

Setelah memarkirkan mobil di dekat toko yang memasak belanjaan makanan laut kami, kamipun langsung bergegas untuk menuju pantai. Namun cukup disayangkan, bahwa cuaca tidak begitu cerah sehingga proses matahari tenggelam tidak begitu jelas.


Saat di Pantai Depok

Gagal mendapatkan sunset tidaklah menjadi persoalan yang dilebih-lebihkan oleh kami, kami tetap menikmati hembusan angin pantai yang menjadi barang langka ketika kami disibukkan dengan aktifitas kami di kampus. 

Setelah menikmati pesona Pantai Depok, kami mengakhirinya dengan menyantap hidangan hewan laut yang menjadi kompensasi atas makan siang yang tertunda hingga larut malam. Karena keasyikan makan, kami pun tidak mendokumentasikan hal ini. Cukup disayangkan, tapi memang karena kami semua fokus makan, maka hal-hal di luar ini menjadi tak terpikirkan.

Rupanya 3 kg makanan laut cukup untuk merapel makan siang yang tertunda beserta makan malam ini. Sinar bulan menemani perjalanan pulang kami menuju kota. Sebelum menuju rumah Akbar kami menyempatkan diri untuk nongkrong di Kopi Joss, pinggiran jalan Malioboro. Tidak lama-lama kami di sini, karena gerimis langsung menerjang dan memang hari sudah larut malam, sudah waktunya untuk pulang. Mengakhiri perjalanan di hari perdana kami.

Hari Kedua di Jogjakarta

Jika di hari pertama kami melakukan perjalanan dari Utara ke Selatan, maka pada kali ini kami akan melakukan pejalanan dari Barat ke tengah kota, atau tepatnya dari Kalibiru dan ST. Lempuyangan.
Tidak ingin mengulangi kesalahan seperti kemarin, kami pun berangkat lebih pagi. Pukul 8 kami sudah mulai jalan dari rumah penginapan. Arus lalu lintas menuju Wates terlihat cukup longgar. Di lingkar barat, mobil kami mampu menempuh hingga kecepatan 100 km/jam. Hal yang sangat kontras dibandingkan kemarin.

Hanya butuh sekitar 1 jam untuk tiba di Kabupaten Wates, namun perjalanan dari Wates menuju Kalibiru lah yang memakan waktu lama. Akses yang berliku dan sempit membuat mobil yang kami tumpangi harus ekstra hati-hati.

Sebelum tiba di Kalibiru, kami menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di Waduk Sermo. Sebenarnya tidak ada tempat semacam rest area di daerah ini, mobil kami pun diparkirkan di pinggir jalan (yang letaknya persis di pinggir waduk), mengikuti beberapa mobil di depan kami. Tempat ini cukup terik ditambah dengan tidak adanya pohon di pinggiran jalan membuat udara di sini sangat panas. Walaupun begitu, pemandangan yang ada bisa dijadikan objek foto-foto ria sambil meregangkan badan sebelum menuju tempat wisata utama.

Setelah melewati Waduk Sermo, jalanan makin lama makin curam, sempit ditambah letaknya berada di antara tebing dan jurang membuat perjalanan semakin seru. Saking sempitnya, jika bertemu mobil yang berpapasan maka salah satu mobil harus minggir dan berhenti. Beruntung, jarang sekali kami berpapasan dengan mobil lainnya.

Harus diakui jika memang berkendara di akses Kalibiru dibutuhkan konsentrasi yang cukup. Karena mobil yang berada di depan kami dalam satu momen membuat adrenalin kami meningkat. 

Bagaimana tidak, kami harus berhenti dalam posisi menanjak dengan kemiringan sekitar 45o  karena mobil di depan kami tidak bisa belok dalam satu kali putaran dan hal tersebut ditambah dengan adanya jurang yang terletak persis di belakang kami. Sadar bahwa mobil di depan tidak bisa belok, maka saya pun melepas rem perlahan-lahan untuk memberikan space kepada mobil depan untuk mundur sedikit, kawanku baris belakang sudah mewanti-wanti agar tidak terus-terusan mundur karena terdapat jurang.

“Likk likk belakang jurang woyy, jangan mundur-mundur lagi!!” Dimas dan Tecan mengingatkanku sambil melihat kaca belakang.

“Itu mobil depan mau mundur coyy. Gak ada ruang juga ini buat dia,” sahutku

Dari kejauhan, nampak deretan mobil yang parkir di pinggir jalan, pertanda kami sudah tiba di Kalibiru. Ramai sekali tempat ini, maklum saja karena memang hari ini merupakan akhir pekan. Sehingga banyak keluarga yang berlibur kesini. Suasana yang ramai membuat spot-spot foto menjadi penuh antrian, bahkan harus menunggu sekitar 2 jam untuk mendapat giliran foto di sana. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak ikut mengantri dan mencari spot foto sendiri yang tidak perlu menunggu lama.
Saat di Kalibiru

Hanya sebentar kami menghabiskan waktu di Kalibiru, karena kami ditunggu oleh jadwal keberangkatan kereta pulang di sore harinya.

Sebelum menuju stasiun, rasanya kurang afdol jika tidak membawa buah tangan dari sini, sehingga mampirlah kami sejenak di Maliboro, sekaligus menjadi penutup perjalanan singkat kami di kota yang istimewa, Kota Jogjakarta. 

Akhir dari Lawatan Singkat di Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar