Senin, 24 April 2017

Analisa Pengaruh Uang Elektronik Terhadap Kebijakan Moneter



PENDAHULUAN


1.1  Sejarah Singkat Tentang Uang

Terus mengalami perubahan. Setidaknya itulah yang dialami oleh uang, suatu benda yang biasa kita gunakan sebagai alat pembayaran dan pengukur nilai. Uang komoditas atau uang dalam bentuk barang digunakan sebagai alat pertukaran menggantikan pola barter. Penemuan ini sangat vital pada waktu itu untuk mengatasi berbagai masalah barter seperti coincidence of wants. Uang komoditas pada awalnya ialah tembakau di Virginia jaman kolonial, tembaga di Mesir kuno dan komoditas lainnya tergantung tempat dan preferensi masyarakatnya. Setelah beberapa waktu berlalu, dua komoditas yakni emas dan perak muncul dan menjadi uang di berbagai wilayah menggantikan komoditas-komoditas lainnya.

Karena cukup sulit untuk mengukur berat dan kandungan dari logam mulia, maka lambat laun para pengambil kebijakan di pemerintahan waktu itu membuat notes yang mewakili kepemilikan uang komoditas (emas dan perak) karena dianggap lebih praktis dan efektif guna menjadi alat pembayaran. Masa ini disebut gold standard. Dimana setiap notes yang dicetak mewakili jumlah emas yang disimpan. Sistem ini runtuh pada tahun 1971 dimana Presiden Amerika Serikat, Nixon membatalkan perjanjian Bretton Woods dan membuat hubungan antara emas dan notes dihapuskan. Sehingga, sejak saat itu notes disebut fiat money yang merupakan uang kertas tanpa di back up oleh apapun.

Seiring perkembangan teknologi yang semakin cepat, hal ini juga mendorong perubahan bentuk uang itu sendiri yang tadinya berupa uang kertas dan logam kini juga terdapat uang elektronik yang bisa menjadi alternatif bagi masyarakat untuk melakukan pembayaran transaksi secara non tunai.

1.2 Latar Belakang Uang Elektronik
Pada tanggal 14 Agustus 2014, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku bisnis untuk menggunakan pembayaran non tunai dalam transaksi keuangan karena lebih mudah, aman dan efisien.

Uang elektronik di masa kini terdiri dari dua jenis. Jenis yang pertama ialah transaksi keuangan yang menggunakan skema transfer melalui jaringan internal bank dan antar bank. Kemudian, jenis yang kedua ialah pembayaran melalui uang elektronik yang berupa kartu. Contohnya kartu ATM, debit dan kartu kredit yang tergolong sebagai Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK).

Inovasi di sektor keuangan terus berkembang seiring dengan misi Bank Indonesia untuk mencanangkan Less Cash Society di Indonesia menambah instrumen pembayaran non tunai yakni berupa mirip seperti yang sudah disebutkan sebelumnya karena wujudnya berupa kartu yang dikenal sebagai Electronic Money (E-Money). Namun terdapat beberapa perbedaan di antara kedua jenis kartu elektronik yang akan kami bahas di paragraf selanjutnya.  

Kartu ATM, debit dan kredit masih memiliki ikatan langsung dengan rekening nasabah bank yang bersangkutan. Tetapi, untuk E-Money ini ialah merupakan sebuah produk stored value dimana terdapat sejumlah nilai uang tertentu yang tersimpan di kartu E-Money tersebut.

2.4  Pembahasan dan Batasan Masalah

Pembayaran menggunakan transfer antar rekening bank semakin banyak menggantikan peran uang dalam perdagangan dengan nilai transaksi besar, di sisi lain pembayaran menggunakan kartu seperti kartu ATM, kartu debet, kartu kredit maupun E-Money mulai menggantikan peran uang kartal dalam transaksi ritel (Lahdenpera, 2001).

Terkait pengaruh penggunaan alat pembayaran non tunai yang makin masif, terdapat perbedaan mengenai efektifitas kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral. Sebagian berpendapat bahwa penggunaan uang elektronik tidak akan berpengaruh apa-apa. Para peneliti yang memiliki pendapat seperti ini ialah Goodhart (2000), Friedman (2000) dan Woodford (2000).

Di sisi lain, penggunaan alat pembayaran non tunai memiliki implikasi terhadap permintaan uang yang diterbitkan bank sentral. Sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi efektifitas bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter (Costa dan Grauwe, 2001). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Friedman (1999) yang menyatakan bank sentral hanya menjadi petunjuk kondisi moneter tanpa mampu menciptakan kestabilan moneter.

Atas latar belakang perbedaan pandangan dari para peneliti dan ini menjadi salah satu topik penting dan vital dalam makroekonomi di era uang elektronik, kami akan mencoba untuk memberikan tambahan literasi tentang penggunaan alat pembayaran non tunai terhadap efektifitas kebijakan moneter dengan studi kasus di Indonesia.



ISI

2.1 Sekilas Sistem Pembayaran di Indonesia

Pada bagian ini, kami akan menampilkan bagaimana perkembangan sistem pembayaran di Indonesia. Mengapa kami memasukan unsur tersebut di dalam kajian ini? Karena sistem pembayaran merupakan sebuah sistem yang mengatur pemindahan dana dari satu pihak ke pihak lain yang melibatkan berbagai lembaga yakni bank, lembaga kliring dan sistem hukum.  Sistem pembayaran di Indonesia terdiri dari sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam sistem tunai, Bank Indonesia yang mengatur peredaran uang Rupiah dalam betuk uang kertas dan koin. Di bidang sistem pembayaran non tunai, Bank Indonesia mengatur sistem kliring antar bank. Sistem ini terbagi lagi menjadi tiga. Yakni Systemically Important Payment System (SIPS) yang mengelola transaksi dalam nilai yang besar. Salah satu contohnya adalah Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, lalu ada System Wide Important Payment System (SWIPS) yang merupakan sistem pembayaran yang digunakan oleh masyarakat luas dan contohnya ialah Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan alat pembayaran menggunakan kartu.

2.2 Perkembangan Sistem Pembayaran Non Tunai

Pada sistem pembayaran BI-RTGS, terlihat dari data yang kami peroleh dari Bank Indonesia sub divisi Sistem Pembayaran (dan juga keseluruhan data yang ada di esai ini), bahwa ada tren kenaikan dalam penggunaan sistem BI-RTGS. Dengan menggunakan sistem ini, penyelesaian transaksi terutama dalam nilai yang besar dapat diselesaikan secara aman, cepat dan efisien. Hal ini semakin menunjukan bahwa minat masyarakat terhadap penggunaan jasa pembayaran non tunai terutama BI-RTGS semakin tinggi.
Grafik 1. Perkembangan Nilai Transaksi BI-RTGS

Setelah mengetahui tren kenaikan dalam penggunaan sistem pembayaran non tunai (BI-RTGS), kami juga melihat bahwa hal tersebut juga terjadi di pembayaran non tunai yang lainnya seperti APMK (Alat Pembayaran Menggunakan Kartu) baik itu APMK yang berkaitan dengan rekening tabungan nasabah (kartu ATM, Debit dan Kredit) dan juga e-money.

Grafik 2. Perkembangan Transaksi Kartu Debet

Grafik 3. Perkembangan Transaksi Kartu Kredit

Seiring dengan berkembangnya teknologi, ditambah dengan maraknya e-commerce yang mekanisme pembayaran barangnya mayoritas melalui transfer bank. Maka tidak heran jika volume dan nilai transaksi dengan menggunakan kartu melonjak tajam setidaknya dalam 6 tahun terakhir. Kenaikan nilai transaksi menggunakan kartu debet naik sebesar 180,9% dan kenaikan volume transaksinya mencapai 186%. Hal yang sama juga terjadi dengan transaksi kartu kredit, dimana peningkatan nilai transaksi dari tahun 2009 sampai 2016 mencapai 105% dan pertumbuhan volume transaksi menyentuh 67%.
Grafik 4. Jumlah Transaksi Uang Elektronik

Fenomena yang sama juga dialami oleh e-money baik dari volume dan nominalnya juga mengalami trend kenaikan. Khusus dari tahun 2014, kenaikannya semakin fantastis dimana kenaikan volume penggunaan e-money meningkat drastis sebesar 2473% dari tahun 2010 hingga tahun 2016. Hal tersebut diiringi dengan kenaikan volume transaksi yang mencapai 920% dengan rentang waktu yang sama.

Dari data yang kami paparkan mengenai penggunaan dan nilai transaksi menggunakan sistem pembayaran non tunai, kami melihat bahwa dalam beberapa tahun terakhir penggunaan alat pembayaran non tunai semakin dipilih masyarakat untuk melakukan pembayaran transaksi barang dan jasa.

2.3 Dampak Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Terhadap Masyarakat

Di pembahasan bagian akhir ini kami akan menggunakan pendekatan deskriptif untuk melihat dampak pembayaran non tunai terhadap kebijakan moneter.

Seseorang yang rasional akan cenderung menggunakan cara termudah dan termurah dalam mencapai tujuannya. Begitu pula untuk memilih cara pembayaran suatu transaksi. Bayangkan, jika ada seseorang yang ingin membayar suatu barang yang memiliki nilai transaksi cukup besar, akan sangat tidak praktis jika seseorang membawa uang cash dalam penyelesaian transaksi tersebut. Akan lebih mudah dan aman jika menggunakan sistem pembayaran non tunai yang telah disediakan oleh Bank Indonesia. Ia hanya perlu ke mesin ATM lalu mentrasferkan dananya kepada si penjual barang tersebut. Bahkan, jika ternyata ia memiliki fasilitas internet atau mobile banking, maka transaksi bisa diselesaikan lewat gadget tanpa harus mengeluarkan banyak energi untuk pergi ke mesin ATM atau ke bank. Fenomena tersebut akan kami gambarkan dengan kurva biaya di samping ini.

Kurva CW menggambarkan biaya menunggu, dimana semakin lama seseorang menunggu untuk melakukan transaksi pembayaran maka akan biaya yang dikeluarkan semakin besar, karena akan muncul biaya peluang (opportunity cost) yang harus ditanggung nasabah. Kemudian CT adalah biaya transaksi dimana biaya disini diasumsikan fixed (tetap) sehingga semakin besar nilai transaksi maka akan semakin kecil biaya transaksinya. Sedangkan C adalah gabungan antara CW dan CT. Dengan adanya inovasi teknologi seperti kartu ATM, mobile dan internet banking, nasabah tidak perlu repot-repot untuk pergi ke bank dan mengantri, sehingga kurva CW akan bergeser menjadi CW’. Secara keseluruhan, biaya akan turun dari titik A ke titik B.

Dari cerita di atas, terlihat bahwa sistem pembayaran non tunai memiliki manfaat bagi para pelaku transaksi. Misalnya, ketika ia tidak perlu pergi ke ATM jika memiliki intenet dan mobile banking, lalu transaksi dapat dilakukan lebih aman, nyaman dan cepat. Sehingga wajar sekali dari berbagai data pembayaran menggunakan uang non tunai memiliki kecenderungan yang meningkat. Oleh karena itu, dengan adanya alat pembayaran non tunai tersebut berpotensi untuk meningkatkan konsumsi masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan velocity of money.

2.4 Dampak Penggunaan Alat Non Tunai Terhadap Kebijakan Moneter

Sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya dimana penggunaan alat pembayaran non tunai semakin besar.. Hal ini menjadi polemik bagi bank sentral dalam menetapkan kuantitas uang yang beredar di masayarakat lewat kebijakan moneter. Pada bagian ini definisi uang elektronik ialah merupakan kartu ATM, debit dan kartu kredit. E-money akan di bahas pada sub bagian tersendiri. Lebih lanjut, perlu dilakukan kajian mengenai jenis golongan yang mana alat pembayaran non tunai itu sendiri. Apakah masuk kedalam jenis uang beredar dalam arti sempit (M1) atau dalam arti luas (M2). Komponen uang M1 dan M2 jika menggunakan simbol menjadi seperti ini:

-          M1: Uang kartal + Uang giral
-          M2: M1 + Uang kuasi

o   Dimana uang kuasi terdiri dari tabungan dan deposito

Untuk menjamin tingkat efektifitas kebijakan moneter, klasifikasi jenis uang akan sangat penting. Dalam komponen jenis uang M2, terdapat variabel tabungan yang menggunakan kartu ATM. Padahal, dengan adanya mesin ATM masyarakat bisa sewaktu-waktu menarik uang tunai sehingga termasuk dalam uang kartal. Melihat fakta yang seperti itu, mungkin perlu dipertimbangkan klasifikasi tabungan menjadi M1.

Lalu, bagaimana dengan e-money yang memiliki perbedaan karakterisrtik dengan alat pembayaran non tunai yang sudah disebutkan di awal?

Pada dasarnya, e-money merupakan nilai uang yang tersimpan (stored value) di dalam kartu namun tidak mengandung bunga dan biaya admin rutin. Jika masyarakat tidak menggunakan e-money namun masih terdapat saldo, maka saldo tersebut disebut float atau merupakan kewajiban issuer (bank atau lembaga lainnya) atas e-money yang telah dikeluarkannya.

Float disini sifatnya sangat likuid, mirip dengan uang kartal ataupun giro. Selain itu, pada Monetary and Financial Statistic Manual 2000 disebutkan bahwa e-money dikategorikan sebagai transferable deposits (terdiri dari semua deposit yang dapat ditukarkan di harga par dan tanpa pinalti atau pembatasan, serta dapat digunakan sebagai alat pembayaran secara langsung). Sehingga, mungkin float disini bisa dimasukkan kedalam perhitungan uang M1. Sehingga, komponen M1 menjadi:

M1: Uang Kartal + Uang Giral + Float

Pengisian saldo e-money bisa di isi ulang (top up) dengan setoran tunai maupun dari rekening tabungan. Jika penggunaan cara pertama (setoran tunai) yang dilakukan, maka tidak akan merubah jumlah M1 namun perubahan terjadi pada posisi uang kartal (yang berkurang) menjadi float yang bertambah. Skenario kedua, jika nasabah melakukan top up melalui tabungannya. Maka jumlah M1 akan bertambah karena perpindahan dari uang tabungan (yang termasuk dalam M2) menjadi float yang merupakan uang M1. Alhasil uang M1 dan uang M2 tidak mengalami perubahan.  

Kemudian, analisa pengaruh alat pembayaran non tunai terhadap kondisi moneter bisa menggunakan analisa real money balance approach. Karena dengan menggunakan pendekatan tersebut, dapat diketahui daya beli uang dalam perekonomian dan juga untuk mengetahui pengaruh alat pembayaran non tunai terhadap velocity of money.

(M/P)d = k.Y (i), dimana k adalah kontanta yang menyatakan berapa banyak uang tunai yang ditahan dalam setiap pendapatan.

Dengan mengasumiskan permintaan uang (M/P)d sama dengan penawaran uang (M/P), maka persamaannya adalah:

(M/P) = k.Y (ii)

Dan selanjutnya persamaan tersebut diubah menjadi:

M(1/k) = P.Y (iii) atau M.V = P.Y (iv)

Jika kita lihat dalam persamaan (iii) dan (iv) dimana V=1/k menjelaskan kaitan antara permintaan uang dan perputaran uang dimana jika orang cenderung ingin menahan uang tunai lebih banyak, maka nilai k akan besar. Begitu pua sebaliknya.

Adanya pembayaran non tunai diasumsikan sebagai salah satu faktor yang merubah fungsi permintaan uang, dimana masyarakat akan cenderung untuk mengurangi uang tunai yang ingin dipegang (karena bisa menggunakan alat pembayaran menggunakan kartu, internet & mobil banking sebagai subtitusi dari uang kartal) dan kemudian akan menurunkan kontanta (k) yang berarti akan meningkatkan velocity of money atau semakin tingginya sirkulasi uang dalam perekonomian, ceteris paribus.
  
Penutup
A.    Kesimpulan
Berdasarkan kajian mengenai pengaruh alat pembayaran non tunai terhadap efektifias kebijakan moneter bank sentral dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Penggunaan alat pembayaran non tunai di Indonesia mengalami peningkatan.
2.      Dampak dari penggunaan alat pembayaran non tunai bagi masyarakat ialah meningkatnya efisiensi penggunaan waktu dan biaya.
3.      Jumlah M1 akan meningkat jika e-money diisi melalui rekening tabungan namun juga bisa tetap jika pengisian e-money menggunakan setoran tunai atau giro.
4.      Dampak penggunaan alat pembayaran non tunai tidak akan mempengaruhi efektifitas kebijakan moneter jika variabel float dimasukkan kedalam perhitungan M1.
5.      Dengan menggunakan pendekatan real money balances approach, peningkatan penggunaan alat pembayaran non tunai akan meningkatkan velocity of money.

B.     Saran
Terkait dengan semakin berkembangnya e-money baik dari segi nilai transaksi maupun volume, sekiranya ada beberapa rekomendasi dari kami kepada otoritas moneter. Yakni:
1.      Melakukan pembaharuan perhitungan agregat moneter dengan memasukan nilai uang e-money (float) di dalam jenis uang M1, sehingga perhitungan M1 menjadi:

                                           M1 = Uang Kartal + Uang Giral + float

Sedangkan M2 menjadi:
M2 = M1 + Uang Kuasi

2.      Tujuan dari rekomendasi tersebut ialah agar bank sentral tidak mengalami kendala kala menentukan target kuantitas uang beredar, karena jumlah uang yang terdapat di e-money sudah diperhitungkan

3.      Untuk mendapatkan hasil analisa yang lebih baik, penggunaan uji empiris perlu dilakukan. Sehingga hasil empiris bisa menggambarkan dampak penggunaan alat pembayaran non tunai terhadap efektifitas kebijakan moneter dan perekonomian pada umumnya.


Daftar Pustaka

Mankiw, Gregory. 2007. Macroeconomics. 6th ed. New York and Basingstoke: Worth Publishers, pp: 75-107

Rothbard, Murray. 1990. What Has Government Done to Our Money?. Auburn: Praxeology Press of the Ludwig von Mises Institute, pp: 4-44

Ascarya. 2005. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, pp: 13-22

Solikin, Suseno. 2005, UANG: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, pp: 10-51

Pramono, Bambang; Tri Yanuarti; Pipih. D. Purusitawati dan Yosefin Tyas Emmy. 2006: Dampak Pembayaran Non Tunai Terhadap Perekonomian dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia Working Paper 09/2006

Poporska, Neda dan Kammar. 2002: The Use of Electronic Money and It’s Impact on Monetary Policy. JCEBI, Vol.1 (2014) No.2, pp. 79-92

Sardoni, Claudia dan Alessandro Verde. 2002: The ‘IT Revolution’ and Monetary System: Electronic Money and It’s Effects. Dipartimentro Di Scienze Economiche, 12/14, 20-32


Sabtu, 08 April 2017

Menyongsong Indonesia Emas 2045: Bonus Demografi sebagai Katalisator Pembangunan Ekonomi Republik Indonesia

Landasan Teori Ekonomi Kependudukan

Secara umum, terdapat beberapa pandangan atau mahzab mengenai hubungan jumlah populasi dengan pertumbuhan ekonomi. Yakni paham pesismistis dimana menurut kaum yang memiliki pandangan ini, bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk akan menahan pertumbuhan ekonomi. Salah satu tokoh yang terkenal dalam golongan ini ialah Thomas Malthus yang dalam bukunya tahun 1790an menulis bahwa pertumbuhan produksi makanan diibaratkan dengan deret hitung dan disisi lain pertumbuhan jumlah manusia diibaratkan dengan deret ukur. Maka di suatu titik, manusia akan mengalami kelaparan masal dan tingkat kematian akan meningkat tajam. Pada intinya, kelompok pesimistis ini memandang bahwa peningkatan jumlah penduduk akan membebani perekonomian pada umumnya. Mahzab yang kedua yakni kaum optimis dimana mereka percaya bahwa pertumbuhan jumlah penduduk menjadi “bahan bakar” untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Mahzab ini muncul ketika teori Malthus tentang bencana kelaparan tidak terjadi ketika jumlah penduduk meningkat drastis. Hal tersebut bisa terjadi karena perkembangan teknologi pangan dan industri meningkat secara pesat dalam sejarah manusia (Amartya Sen, 1999). Selain itu, Simon Kuznets dan Julian Simon (1967) memandang bahwa manusia merupakan aset ekonomi, dimana semakin besar jumlah penduduk maka akan meningkat pula kecerdasan dan kreatifitas manusia  untuk membuat inovasi yang membuat pertumbuhan ekonomi semakin pesat. Pandangan yang terakhir yakni kaum yang netralis yang menganggap bahwa jumlah penduduk tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Beberapa ekonom (David, E Bloo, David Canning dan Jaypee Sevilla, 2000) telah melakukan analisis mengenai pengaruh antara populasi dengan pertumbuhan ekonomi, namun hasilnya adalah jumlah penduduk hanya berpengaruh kecil atau tidak signifkan terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata ada beberapa faktor lain seperti ukuran negara, keterbukaan terhadap perdagangan bebas, pendidikan  dan kesehatan masyarakat serta kualitas orang-orang di pemerintahan yang membuat bahwa hubungan antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi tidak signifikan secara general.[1] Sehingga dengan adanya hasil penelitian ini melahirkan golongan yang ketiga: population neutralism.

Pada dasarnya, ketiga teori atau paham tentang hubungan antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi memiliki asumsi dasar yang berbeda. Pada teori pesimis cenderung mengabaikan proses industrialisasi, di sisi kaum optimis memandang bahwa adanya proses industrialisasi berbasis padat karya dengan memberdayakan potensi penduduknya.

Dari ketiga pandangan tersebut, bahwa ada kecenderungan untuk mengabaikan ukuran dari perubahan struktur demografi, yakni struktur umur penduduk.[2] Ekonom hanya fokus terhadap angka pertumbuhan penduduk saja, tanpa memperhatikan perubahan distribusi kelompok umur[3].  Padahal, pola perilaku di masing-masing kelompok umur memiliki pola yang berbeda satu sama lain. Golongan muda non produktif (<15 tahun) membutuhkan pengeluaran di sektor kesehatan dan pendidikan, kelompok usia produktif (15-64 tahun) yang menghasilkan pendapatan kemudian menanggung biaya dari usia non-produktif dan menghasilkan tabungan, dan kelompok usia tua non produktif (>64 tahun) membutuhkan jaminan sosial kesehatan dan uang pensiunan. Gambar di bawah ini menjelaskan siklus konsumsi dan pendapatan sesuai dengan tingkat umur manusia.


Gambar 1 - Siklus Pendapatan dan Pengeluaran Berdasarkan Umur. Sumber: The Demographic Dividend (2002) hlm 21

Dari grafik tersebut, terlihat bahwa manusia sudah melakukan pengeluaran untuk kebutuhan hidupnya bahkan sejak lahir di dunia ini (ditandai dengan garis horizontal consumption) sampai ia meninggal. Tetapi, hanya penduduk di usia produktif lah yang mendapatkan pendapatan karena pada saat itulah mereka sedang dalam masa-masa dimana sanggup dan mampu bekerja dan berarti mereka jugalah yang  menanggung biaya hidup dari usia non produktif baik yang belum produktif (<15 tahun) dan sudah tidak produktif (>64 tahun). Sehingga, dari sinilah muncul istilah dependecy ratio atau rasio ketergantungan yang merupakan salah satu ukuran suatu negara digolongkan sebagai negara maju atau negara berkembang. Semakin tinggi angka dependency ratio maka semakin tinggi beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk membiayai kehidupan penduduk non-produktif. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah angka dependency ratio, maka semakin rendah pula tanggungan penduduk usia produktif terhadap biaya hidup usia yang sudah tidak atau belum produktif.

Bonus Demografi memiliki dampak yang sangat signifikan bagi variabel-variabel dalam perekonomian dan yang paling penting ialah tenaga kerja, tabungan dan human capital.


\\\\\\\\

            Suplai Tenaga Kerja
Ketika suatu negara mengalami bonus demografi, maka jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih banyak dan di sisi lain hal ini akan meningkatkan suplai tenaga kerja di labour market dan apabila seluruh tenaga kerja terserap akibat dari banyaknya industri yang membuka pabrik, maka produksi domestik bruto akan meningkat dan begitu pula dengan pendapatan per kapitanya. Kemudian, karena jumlah anak-anak di masa ini lebih sedikit sehingga membuka kesempatan bagi para wanita rumah tangga untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Sehingga pendapatan dalam keluarga akan lebih tinggi dan besaran tabungan (yang merupakan dampak nomor dua) juga cenderung meningkat (ceteris paribus).

2.      Tabungan
Bonus demografi juga dapat meningkatkan jumlah tabungan dimana hal tersebut akan meningkatkan investasi di sebuah negara (Saving=Investment). Karena akibat dari peningkatan tabungan ini akan cenderung menurunkan tingkat bunga. Hubungan antara tingkat bunga dengan investasi adalah berbanding terbalik, ketika tingkat bunga turun maka investasi akan meningkat.[4] Kemudian jika investasi yang tinggi dikombinasikan dengan suplai tenaga kerja, hasilnya perekonomian suatu negara yang mengalami bonus demografi akan mencapai output tertingginya dan juga jumlah tabungan akan meningkat pula (Higgns, 1998; Hinggins and Williamson, 1997; Kelly and Schmidt, 1996; Lee, Mason, and Miller, 2000; Leff, 1969; Mason, 1988; Webb and Zia, 1990).

3.      Human Capital
Kemudian dampak dari bonus demografi yang ketiga ialah human capital. Transisi demografi ini berawal dari angka mortalitas menurun dan meningkatkan tingkat kesehatan sehingga life expectancy juga lebih panjang. Ditambah dengan pendapatan yang tinggi membuat orang-orang menginvestasikan uangnya untuk pendidikan dan kesehatan sehingga menghasilkan tenaga kerja yang memiliki skill tinggi dan lebih produktif, akibatnya pendapatan akan meningkat dan standar hidupnya akan lebih baik (International Labour Office, 1996; Bloom, Canning, and Sevilla, 2001).

Tetapi, kontingensi seperti itu sangat tergantung dari kebijakan pemerintah. Jika kebijakan pemerintah adalah bertujuan untuk menstimulir kegiatan investasi, maka melimpahnya jumlah tenaga kerja bisa terakomodir sehingga produktifitas nasional bisa meningkat. Selain itu, pemerintah juga memiliki peran yang penting untuk menciptakan lingkungan atau fasilitas pendidikan dan kesehatan guna memanfaatkan momentum bonus demografi ini.

Sekilas Pandang Kondisi Demografi di Indonesia

Setelah kita membahas teori dan berbagai penelitian yang dilakukan dalam ekonomi kependudukan, di bagian ini akan lebih banyak dibahas mengenai kondisi demografi di Indonesia dari periode orde baru, saat ini dan proyeksi di masa depan.

Definisi bonus demografi menurut Badan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merupakan suatu bonus yang dinikmati suatu negara akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (usia 15-64 tahun) jika dibandingkan dengan usia non-produktif (0-15 tahun dan 64 tahun ke atas).

Transisi demografi tersebut dapat dicapai oleh Indonesia berkat keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Keberhasilan program ini dapat dilihat dari perbandingan sensus penduduk tahun 2000 dimana jumlah penduduk berusia di bawah 15 tahun berjumlah sekitar 65 juta jiwa, tidak bertambah secara signifikan jika kita melihat hasil sensus penduduk tahun 1970 yang jumlahnya sekitar 60 juta jiwa. Untuk jumlah penduduk di usia produktif, pada sensus penduduk tahun 1970 berjumlah sekitar 65 juta jiwa dan pada tahun 2000 jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat, dimana jumlah penduduk usia produktif menjadi sekitar 135 juta jiwa[5]. Pada sensus penduduk yang teranyar (2010), jumlah usia produktif meningkat menjadi 140 juta jiwa, sedangkan pertumbuhan usia di bawah 15 tahun juga bertambah namun tidak secepat pertambahan usia produktif, yakni sebanyak 67 juta jiwa[6].

Selain itu, jika kita melihat angka rasio ketergantungan atau dependency ratio Indonesia dari tahun sensus tahun 1970 hingga sensus terbaru tahun 2010 menunjukan tren yang menurun. Dimana pada tahun 1970 dependency ratio mencapai sekitar 80 per 100 orang, lalu pada sensus 2000 menjadi sekitar 54-55 per 100, kemudian di angka 50,5 per 100 di tahun 2010 dan Badan Pusat Statistik memproyeksikan pada tahun 2035 menjadi 47,3 per 100[7] yang berarti, di masa kini dan masa depan, usia produktif akan menanggung biaya yang lebih sedikit untuk menanggung biaya hidup usia non produktif sehingga tabungan usia penduduk produktif semakin besar dan ini akan memacu investasi, karena jumlah tabungan sama dengan jumlah investasi[8] dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan berkaselerasi lebih cepat. Sehingga, kondisi tersebut sering disebut dengan windows of opportunity atau jendela peluang bagi sebuah negara untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan porsi industri manufaktur atau jasa yang memiliki nilai tambah lebih banyak atau juga usaha mikro kecil menengah karena pada saat bonus demografi inilah tersedia tenaga kerja yang melimpah dan membuat pendapatan per kapita negara tersebut meningkat berkali-kali lipat. Di sisi lain, bonus demografi ini membawa efek samping yakni meledaknya jumlah penduduk usia tua dimana pada saat yang bersamaan transisi usia muda (di bawah 15 tahun) untuk menjadi usia produktif belum sepenuhnya sempurna sehingga tabungan dari usia produktif dialihkan kepada dana jaminan sosial sehingga investasi mengalami stagnasi (Adioetomo, 2005).


Gambar 3 - Proyeksi Demografi Indonesia. Sumber: Badan Pusat Statistik dan UN Statistics

Pada data BPS tentang struktur penduduk Indonesia tahun 2012, penduduk dewasa dan produktif mendominasi struktur penduduk Indonesia dengan angka di kisaran 53%. Dimana pada kelompok usia non-produktif seperti usia anak sekolah dan balita mencapai 40 persen dan kelompok lansia di kisaran 7 persen. Namun, hal ini tidak akan berlangsung lama, karena setelah tahun 2030 angka ketergantungan akan meningkat karena jumlah penduduk usia tua semakin banyak (lihat gambar 3).

Jika kita melihat perubahan piramida penduduk Indonesia pada gambar 4, terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana penduduk di usia produktif semakin banyak di tahun 2010. Hal ini merupakan sebuah indikator keberhasilan program Keluarga Berencana yang berhasil menahan pertumbuhan jumlah penduduk anak-anak (<15 tahun) dan disaat yang bersamaan penduduk usia produktif juga bertambah (yang ditandai oleh gemuknya bentuk piramida bagian tengah).



Gambar 4 - Piramida Penduduk Indonesia 1961-2010. Sumber: slideshare Strategi Pembangunan Nasional, Dadang Solihin, 2012


Korelasi Antara Jumlah Penduduk Indonesia dan Pertumbuhan Ekonomi

Pada dasarnya perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 hingga 2012 tumbuh di bawah rata-rata potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena perekonomian paska krisis didominasi oleh kehilangan permanen dalam output perekonomian atau permanent output loss (POL) (Wasisto, 2015). Permanent output loss ialah kondisi proyeksi ekonomi yang cenderung mengarah pada penurunan tren pertumbuhan ekonomi karena minimnya penyerapan kapital (Cerra 2008, 442). Kondisi pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh POL merupakan implikasi dari resep kebijakan penghematan dari IMF sehingga Pemerintahan Indonesia mengurangi belanja fiskal dan menyebabkan perekonomian terperangkap ke dalam permanent output loss (Friedrich, 2011). Hal tersebut kemudian membuat pemerintah mengurangi pembiayaan pada sektor yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat (seperti infrastruktur) sehingga industri dalam negeri tidak atau sulit berkembang sehingga banyak tenaga kerja yang tidak dapat terserap.

Kondisi makro ekonomi Indonesia juga sepertinya masih belum bisa dikatakan mampu untuk mengakomodir bonus demografi pada tahun 2020-2030 nanti. Beberapa indikator ekonomi belum sepenuhnya mencerminkan bahwa Indonesia siap untuk menyongsong bonus yang hadir mungkin hanya satu kali dalam sejarah suatu bangsa, misalnya dari Indeks PMI Manufaktur yang menggambarkan aktifitas perekonomian di suatu negara. Jika PMI diatas 50%, berarti sektor industri berada dalam ekspansi dan jika PMI dibawah 50%, maka sektor industri berada dalam status resesi atau melambat.


Gambar 5Indeks PMI Indonesia 2013-2017. Sumber: tradingeconomics.com

Jika melihat tren perkembangan indeks PMI ini, kegiatan sektor industri Indonesia masih belum menunjukan ekspansi yang signifikan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara berbasis industri. Hal ini tentu harus menjadi perhatian bagi pemerintah karena pada masa bonus demografi Indonesia akan memiliki labour supply yang melimpah dan apabila proses industrialisasi stagnan, maka potensi peningkatan pengangguran akan sangat terbuka selain hilangnya kesempatan Indonesia untuk memanfaatkan window of opportunity yang langka ini.

Itu merupakan sudut pandang dari sisi industri, lalu bagaimana dengan kesiapan atau kapabilitas tenaga kerja itu sendiri?

Pada struktur ketenagakerjaan Indonesia, terdapat sekitar 44 juta orang yang bekerja di sektor formal (40 persen) dan sekitar 66 juta orang bekerja pada sektor informal (60 persen). Tingkat pendidikan tenaga kerja masih didominasi oleh pekerja berpendidikan rendah dimana ada 54 juta orang (49 persen) merupakan tamatan sekolah dasar dan sekolah menegah pertama mencapai sekitar 20 juta orang atau 18 persen. Sedangkan pekerja yang berpendidikan tinggi hanya sekitar 10 juta orang saja atau 9 persen.[9] Karena mayoritas tenaga kerja termasuk kedalam golongan unskilled workers maka akan ada kecenderungan untuk dibayar murah sehingga akan mengakibatkan kesejahteraan yang menurun.

Tingkat tabungan masyarakat Indonesia juga tidak terlalu tinggi, yakni dikisaran 44 persen pada tahun 2009 menurut data Bank Dunia. Rasio rekening tabungan masyarakat sebanyak 504 per 1000 orang. Masih sedikitnya nominal tabungan penduduk Indonesia di bank karena ada kecenderungan bagi mereka untuk menginvestasikan hartanya berupa ruma, tanah, emas yang nilainya dianggap lebih stabil (Bank Dunia, 2009). Sehingga investasi yang dilakukan di Indonesia akan sulit jika hanya mengandalkan perbankan.

Pemanfaatan bonus demografi dari sisi produksi dan industrialisasi masih menemui banyak hambatan, lalu bagaimana jika ditinjau dari segi konsumsi? Tiga indikator yang mencerminkan kondisi konsumsi masyarakat di Indonesia menunjukan tren yang membuat kita optimis bahwa bonus demografi melalui peningkatan tingkat konsumsi memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi.



Gambar 6 – Kredit Konsumer. Sumber: tradingeconomics.com


Gambar 7 – Keyakinan Konsumen. Sumber: tradingeconomics.com


Gambar 8 – Belanja Konsumen. Sumber: tradingeconomics.com

Kesimpulan

Persiapan Indonesia untuk menyongsong bonus demografi nanti nampaknya belum dilakukan secara maksimal. Terutama dari sisi produksi dan industri. Terlihat dari hal-hal yang bersifat fundamental seperti rasio pekerjaan di sektor informal masih lebih tinggi dibandingkan dengan sektor formal, lalu juga dari sisi human capital dimana sumber daya manusia di pasar tenaga kerja yang mayoritasnya masih merupakan tamatan sekolah dasar-menengah. Kondisi tersebut belumlah kuat untuk menjadi modal Indonesia guna menyambut kesempatan yang hanya 1 kali dalam sejarah. Tetapi, pertumbuhan penduduk memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yakni sekitar 55 persen dari produk domestik bruto. Namun, jika pemerintah hanya mengandalkan konsumsi dari masyarakat saja, Indonesia akan terjebak dalam golongan middle income trap.

Dari kasus bonus demografi di Indonesia, jika dikaitkan dengan teori ekonomi kependudukan maka bisa termasuk mahzab yang pesimis (dari segi produksi) dan optimis (dari segi konsumsi) sekaligus.

Untuk menghadapi kondisi yang vital bagi kehidupan bangsa ini di masa depan. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas penunjang seperti pendidikan dan kesehatan. Sehingga, ketika masa bonus demografi tersebut tiba, sumber daya manusia sudah memiliki kompetensi untuk mempercepat produksi domestik nasional. Untuk mengakomodir tenaga kerja yang ada, maka iklim usaha harus dijaga di level yang baik agar semakin banyak industri yang menanamkan modalnya di Indonesia. Ketika investasi di Indonesia semakin marak, maka diperlukan juga tabungan nasional dimana dalam kasus di Asia Timur pada masa bonus demografi tingkat tabungan masyarakat menjadi andalan dalam melakukan pembiayaan investasi. Program Inkulsi Keuangan dari Otoritas Jasa Keuangan diharapkan bisa meningkatkan jumlah tabungan masyarakat, karena dengan program ini masyarakat yang pada awalnya belum tersentuh produk perbankan menjadi paham dan akhirnya ikut andil dalam proporsi tabungan nasional.

Sehingga, apabila pemerintah dapat menjalankan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia serta peningkatan proses industrialisasi, maka Indonesia akan menjadi negara dengan pendapatan per kapita tinggi dengan memanfaatkan bonus demografi ini. Apabila gagal memanfaatkannya, maka Indonesia berpeluang besar untuk menjadi negara middle income trap.



[1] Perhitungan yang dilakukan oleh David, E Bloo, David Canning dan Jaypee Sevilla (2000) adalah pengalaman berbagai negara. Peforma ekonomi suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
[2] David E. Bloom, David Canning dan Jaypee Sevilla, The Demographic Dividend, Population Matters, Pittsburgh, hlm. 20
[3] Kelompok umur non-produktif (<15 tahun dan >64 tahun) dan umur produktif (15-64 tahun)
[4] Mankiw, Macroeconomics, Worth Publishers,  New York, 2007, hlm.65
[5] https://www.bps.go.id/Brs/view/id/283
[6] https://sp2010.bps.go.id/
[7] https://bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1275
[8] Mankiw, Op.cit. hlm 65
[9] https://bps.go.id/Subjek/view/id/6#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1

Daftar Referensi

- Birdsal, Nancy; Allen Kelley; and Steven Sinding, 2001. Population Matters. New York: Oxford University Press 
- Schultz, Paul; John Strauss, 2008: Handbook of Development Economics. Amsterdam: Elsevier B.V
-  Bloom, David; David Canning; Jaypee Sevilla, 2003: The Demographic Dividend. Pittsburg: RAND
- Clark, Gregory and Gillian Hamilton, 2006: Survival of the Richest: The Malthusian Mechanism in Pre-Industrial England. The Economic History Association.
- Hirschman, Charles, 1984: Economics of Population. Chicago: The University Of Chicago Press Journals
- Adioetomo, Sri Moertiningsih. 2005: Bonus Demografi: Hubungan antara Pertumbuhan  Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: BKKBN
- Badan Pusat Statistik. 2012: Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 28 Maret 2017
- Bank Dunia, 2009. Indonesia 2014 and Beyond: A Selective Look. Jakarta: Bank Dunia. Diakses tanggal 28 Maret 2017
- http://id.tradingeconomics.com/indonesia/indicators. Diakses tanggal 29 Maret 2017
- Friedrich Ebert Stiftung. 2011: Economy of Tomorrow: Indonesia. Yogyakarta: UAJY Press