Rabu, 31 Agustus 2016

Antara Tax Amnesty, Kebijakan Fiskal dan Syariat

Pertumbuhan ekonomi global belum menunjukan sinar cerahnya, Indonesia tidak bisa mengelak dari fenomena ini, aktivitas bisnis dan perdagangan juga lesu. Pemerintah berusaha menggerakan roda perekonomian nasional lewat belanja negara, yang dimana komponen utamanya (di APBN 2016 mencapai 84%) merupakan dari pajak. Disaat pajak yang menjadi andalan tidak maksimal karena iklim bisnis yang lesu kurang darah, amnesti pajak ibarat menjadi ujung tombak pemerintah untuk memompa pendapatan pemerintah dan tentu menambal defisit anggaran tahun 2016. Tax amnesty bertujuan untuk melupakan tunggakan wajib pajak di masa lalu dengan membayar denda, kemudian meningkatkan jumlah wajib pajak di masa depan. Intinya, lewat kebijakan ini pemerintah berusaha untuk mendapatkan pajak yang sesuai target di APBN 2016. Lalu, mengapa di (sebagian) masa Khalifah Umar Bin Khattab, muzakki (orang pembayar zakat) kesulitan untuk membayar zakat (mencari orang miskin)? Insya Allah akan saya urai satu persatu dalam esai sederhana ini.
Sejak pertengahan bulan Juli lalu, Pemerintah telah memberlakukan satu kebijakan yang mesti melewati lika-liku panjang sejak masih menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) hingga beleid tersebut akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi Undang-Undang.

Tax amnesty digadang-gadang menjadi harapan pemerintah untuk menerima pendapatan ekstra guna menutupi lubang defisit anggaran di APBN tahun ini dan juga membuka pintu lebar-lebar bagi para investor yang memarkirkan uangnya di luar negeri (negara surga pajak) untuk memindahkannya ke dalam negeri (repatriasi aset) yang nantinya digunakan untuk membangun infrastruktur, diinvestasikan di surat berharga atau aset lainnya.

Dari Rp 11.000 triliun uang warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri, Kementrian Keuangan optimis bisa meraih Rp 165 triliun dari pemberlakuan amnesti pajak.

“Banyak sekali uang milik orang Indonesia di luar negeri. Ada data di kantong saya, di Kemenkeu di situ dihitung ada Rp. 11.000 triliun yang disimpan di luar negeri. Di kantong saya beda lagi datanya, lebih banyak. Karena sumbernya berbeda,” ucap Jokowi dalam acara sosialisasi pengampunan pajak di JIExpo 1 Agustus 2016. Yang saya kutip dari detikcom.

Pernyataan yang menarik yang keluar dari mulut presiden. Kemudian orang yang usil bertanya: Kenapa WNI lebih memilih untuk menaruh dana di luar negeri? Atau mungkin bisa juga seperti ini; Apa yang policy maker lakukan sehingga uang yang semestinya bisa untuk membangun negeri ini malah dinikmati oleh negara lain?

Pajak dan Kesadaran Masyarakat

Reformasi soal perpajakan yang digalakan oleh Direktorat Jenderal Pajak bukanlah tahun 1983 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian bagi masyarakat untuk memabayar pajak sehingga target negara dalam penerimaan anggaran tercapai. Salah satu kebijakan yang merefleksikan tujuan tersebut adalah dengan diberlakukannya self assesment system dalam undang-undang perpajakan guna memberikan kepercayaan penuh terhadap wajib pajak untuk menghitung, melaporkan dan membayar pajak sendiri.

Selain self assessment system, Dirjen Pajak juga melakukan kampanye peduli pajak, meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, penyuluhan pajak, hingga pemberian penghargaan kepada wajib pajak yang patuh setelah sebelumnya hanya diberikan kepada pembayar pajak terbesar.  

Untuk membuat self assessment system berjalan mulus maka sangat diperlukan kesadaran dari setiap wajib pajak. Namun, di sisi lain usaha pemerintah lewat pajak dengan memindahkan kekayaan dari yang mampu kepada yang membutuhkan guna mengentaskan kemiskinan juga tidak berkurang secara signifikan, padahal penerimaan negara lewat pajak memiliki tren yang cenderung naik.


Chart 1. Source: Badan Pusat Statistik. Chart diolah.


Chart 2. Sumber: Pajak.go.id. Chart diolah.

Memang, jika kita hanya melihat penerimaan pemerintah (dalam hal ini khusus pajak) yang cenderung meningkat tidak menjamin bahwa belanja sosial pemerintah akan ikut membesar. Karena pos pengeluaran pemerintah juga tidak hanya itu saja. Hal ini coba saya uraikan dengan grafik perbandingan penerimaan di sektor pajak dengan belanja sosial di bawah ini.

Chart 3. Source: APBN tahun 2007-2013, Grafik diolah.

Dari grafik di atas terlihat jelas bahwa pajak yang didapatkan oleh pemerintah cenderung meningkat, tetapi hal tersebut tidak diikuti oleh belanja sosial dalam APBN yang malah stagnan. Apakah jumlah anggaran untuk belanja sosial sudah mencapai titik maksimum sehingga pemerintah tidak meningkatkan alokasi dana untuk itu? Jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga, jawabannya cenderung tidak. Mengapa? Dalam data yang dipublish oleh Asian Development Bank tentang perbandingan belanja sosial di negara Asia Pasifik, persentase belanja sosial dengan PDB Indonesia masih kalah dengan negara-negara di kawasan ASEAN, bahkan dengan Timor Leste yang notabene bukan negara kaya tetapi menduduki peringkat yang sangat baik, yakni di peringkat ke delapan.
Chart 4

Kebijakan Fiskal yang Salah Arah?

Sejak reformasi, Indonesia beralih dari kebijakan anggaran berimbang menjadi kebijakan anggaran defisit. Alasannya adalah untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena unsur belanja pemerintah juga termasuk sebagai komponen perhitungan Gross Domestik Product. Mengapa demikian, karena sampai saat ini GDP merupakan salah satu indikator ekonomi makro untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara. Walaupun sebenarnya banyak yang memiliki pendapat termasuk penulis sendiri bahwa GDP bukanlah parameter terbaik dalam menentukan negara tersebut makmur atau tidak.

Defisit anggaran sendiri adalah pemerintah menetapkan anggaran belanja yang lebih besar dibandingkan dengan penerimaannya, dalam undang-undang ditetapkan batas maksimum defisit APBN sebesar 2,5%. Tujuannya seperti sudah disebut di awal, yakni mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang lazim dilakukan oleh banyak negara-negara di dunia ini, termasuk juga negara dengan GDP terbesar saat ini, Amerika Serikat.

Namun, di sisi lain dengan kebijakan anggaran defisit sejak reformasi ini juga membutuhkan utang untuk menambal shortfall. Lebih-lebih banyak dari pinjaman publik mengandung bunga atau riba, yang jelas-jelas dilarang dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 275.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Hal tersebut (pembayaran bunga) kemudian menjadi beban bagi anggaran belanja negara, karena bagaimanapun hutang (ditambah bunga) adalah kewajiban yang musti dibayar. Tetapi sayangnya, anggaran untuk membayar utang bunga kepada debitur malah lebih besar jika dibandingkan dengan anggaran untuk sosial. Suatu hal yang cukup memprihatinkan, uang yang telah rela masyarakat sumbangkan dari hasil kerja kerasnya, juga dibayarkan untuk sesuatu yang telah Allah haramkan, bahkan dosa riba termasuk 7 macam dosa besar menurut sabda Rasulullah SAW.


Chart 5. Sumber APBN 2007-2013

Dari berbagai data yang menguraikan hubungan antara penerimaan pajak dengan kemiskinan, sulit mengatakan bahwa semakin tingginya pajak maka akan mengurangi angka kemiskinan, karena salah satu penyebabnya alokasi terhadap belanja sosial yang masih minim. Akibatnya, hal ini akan berpotensi untuk menurunkan semangat gotong royong (tidak mau membayar pajak) dari masyarakat dan badan usaha yang patuh membayar pajak untuk membantu pemerintah mengurangi kemiskinan.

Ketika pemerintah “nantinya” melakukan ekstentifikasi maupun intensifikasi soal perpajakan (bahkan hingga wajib pajak merasa keberatan dengan beban pajak) dengan alasan untuk mengurangi kemiskinan, sebaiknya kita perlu melihatnya dengan kritis tujuan pemerintah tersebut.

Wajib Pajak (Muslim) Terkena Dua Kewajiban, yakni Pajak dan Zakat

Zakat dan pajak masihlah menjadi dua kewajiban yang berbeda di Indonesia, zakat merupakan sebuah kewajiban keagamaan dan pajak sebagai kewajiban kepada negara. Hal ini diatur dalam undang-undang yang berbeda. Padahal, subjek pendapatan wajib pajak pribadi mayoritas hanya ada satu, kalaupun lebih, itu juga sudah terkena pajak penghasilan maupun juga zakat.




Sumber: Slideplayer.info

Di Indonesia, seorang wajib pajak bisa dikenai pajak 30 persen atas penghasilannya, belum lagi pajak pertambahan nilai 10 persen ketika kita mengonsumsi barang atau jasa tertentu yang menurut pemerintah bukan kebutuhan pokok, pajak penjualan, bea cukai, retribusi daerah, pajak bumi dan bangunan, pajak penerangan, dan pajak badan usaha yang mencapai 25 persen, mungkin masih ada jenis pajak lain-lainnya. Pemungutan pajak yang berlapis dan belum lagi kewajiban zakat atas penghasilan yang hanya satu sumber tentu dirasa berat.

Orang kaya yang pintar (licik) dan juga yang mengerti seluk beluk pajak (atau mampu membayar konsultan pajak) akan berusaha untuk menghindari atau meminimalkan tagihan pajak kepadanya. Hal yang lazim dilakukan adalah dengan menaruh uang di negara-negara surga pajak (tax havens) seperti Monako, Bahama, Hong Kong, Malaysia, Amerika Serikat ataupun Singapura. Sedangkan, di sisi lain orang menengah bawah yang tidak terlintas di dalam benaknya untuk mengikuti jejak orang kaya tersebut hanya bisa menerima kenyataan. Membayar pajak dengan patuh.

Ini bukanlah bentuk perlawanan terhadap pajak, namun harus diakui bahwa pajak merupakan variabel pengurang dari penghasilan dari wajib pajak. Sehingga pendapatan yang digunakan untuk konsumsi juga berkurang akibat pajak. Sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika uang pajak itu kembali kepada masyarakatnya, namun karena pengeluaran untuk utang beserta bunganya yang cenderung meningkat tiap tahunnya, maka pembayar pajak akan mendapatkan manfaat yang tidak utuh lagi. Apalagi, jika memang pemasukan pajak pemerintah dijadikan jaminan untuk mendapatkan utang-utang baru (karena memang APBN mayoritasnya berasal dari pajak) maka pajak yang diminta di masa depan juga diusahakan supaya lebih banyak. Tingkat tarif pajak yang tinggi memiliki kecenderungan untuk mendistorsi iklim usaha atau konsumsi rumah tangga. Buktinya, para pejabat negeri ini seringkali memberikan pernyataan di media massa (kala mendeklarasikan Tax Amnesty) jika banyak sekali uang (harta) warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri, demi menghindari pajak yang relatif lebih tinggi di Indonesia.

Solusi untuk Permasalahan Ini

Sejarah mencatat, jika pernah ada sebuah negara yang kesulitan untuk mencari orang miskin guna menyalurkan uang zakat yang mereka kumpulkan (pada saat pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz, 717 – 720 M). Sebuah negara di masa keemasan Islam dan juga sebuah negara yang mendirikan teguh prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Artinya, negara yang makmur atau setidaknya sebuah negara yang penduduknya tidak kekurangan harta memang bukanlah mimpi di siang bolong. Pada saat itu, sang khalifah pada periode awal menjabat langsung melakukan perombakan terhadap pegawai pemerintah yang korup maupun yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat, melakukan reformasi baitul mal serta anggaran dengan memaksimalkan penerimaan dari kharaj dan jizyah dan di satu sisi juga melakukan penghematan anggaran.
Tentu tidak ada larangan bagi (pejabat) Indonesia untuk meniru langkah yang dilakukan oleh Umar Bin Abdul Aziz yang telah teruji keberhasilannya dalam membangun pondasi ekonomi yang mantap dalam waktu hanya 3 tahun. Namun, keadaan yang dihadapi oleh sang khalifah berbeda dengan Presiden Republik Indonesia. Umar mewarisi negara yang rusak akibat keserakahan dari khalifah sebelumnya tetapi juga belum menghadapi praktik ribawi (atau lebih pas disebut satanic triangle yang merupakan perpaduan antara uang fiat, riba dan fraksional reserve banking) yang generasi saat ini hadapi. Dan menurut saya, keadaan sekarang jauh lebih pelik dan kompleks untuk menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang makmur –kemiskinan hilang-.
Satanic Triangle:
1.      Uang Fiat
2.      Riba
3.      Fraksional Reserve Banking
Utang Indonesia per Juli 2016 sebesar 3.359,82 triliun. Atau butuh satu setengah total anggaran belanja negara (dengan mengabaikan pengeluaran untuk pos-pos lain) untuk melunasi utang tersebut. Malah tanda-tanda buruk tentang kebijakan fiskal sudah terjadi, yakni defisit keseimbangan primer yang merupakan jumlah penerimaan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran minus pembayaran utang bunga. Hal ini terjadi sejak tahun 2012, dimana keseimbangan primer APBN mengalami defisit Rp 52,7 triliun dan masih berlanjut pada RAPBN 2017 diasumsikan mengalami defisit Rp 111,4 trilliun.  Singkatnya, Indonesia butuh utang untuk membayar bunga utang.
Utang sebesar itu bukanlah jumlah yang bisa dilunasi dalam waktu yang singkat atau skenario buruknya, utang tersebut memang tidak akan pernah bisa dilunasi. Toh, mungkin memang merupakan niat dari kreditur hanya untuk mendapatkan pendapatan dari bunga, yang penting mereka bisa “menguasai” negara-negara yang menjadi peminjamnya. Jika mengikuti cara-cara konvensional, utang bisa dilunasi dengan menjual aset (BUMN atau SDA), berhutang lebih banyak, meningkatkan penerimaan pajak dan kalau sudah terjepit, monetisasi utang. Masih ada satu lagi yang tertinggal, yakni ngemplang utang.
Keseluruhan cara tersebut benar-benar tidak ada yang nyaman untuk dilakukan, jikalau menjual aset belum tentu kreditur mau menilai aset tersebut dengan harga yang pantas. Berhutang lebih banyak juga tidak mengobati masalah, karena masalahnya adalah utang jadi tidak logis jika dijadikan obat permasalahan ini. Meningkatkan pajak? Jika masyarakat menerima tidak menjadi masalah, namun bagaimana jika mereka tidak mau? Revolusi Prancis dan Amerika Serikat menjadi catatan sejarah pemberontakan soal pajak. Monetisasi utang juga hanya mencekik rakyat karena akan menjerumuskan nilai uang mereka, kekayaan riil mereka juga menguap, hidup sengsara. Lalu bagaimana yang terakhir? Mungkin secara langsung tidak berdampak terhadap masyarakat, namun tentu sang kreditur juga tidak mau “setoran” dari pajak negara debitur hilang begitu saja, kreditur berpotensi melakukan apa saja seperti perang tanpa fisik maupun dengan senjata, bukan opsi yang bagus jika Indonesia ingin berinteraksi dengan negara luar. Keadaan yang rumit, entahlah, Saya tidak memiliki ide untuk menyelesaikan masalah utang APBN kecuali dengan menyarankan kepada umat muslim untuk membaca doa bebas utang.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS Al Insyirah 94:5-6).
Mengapa saya fokus kepada pelunasan utang publik? Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita merasakan hal yang mengganjal dalam hati (enggak enakan kalau bahasa kehidupan sehari-hari) dengan orang yang kita pinjam uangnya. Hal yang sama juga terjadi pada negara, bahkan mungkin lebih buruk, karena kreditur seringkali mensyaratkan (memaksakan) hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan nurani bangsa, namun karena posisi debitur yang lemah, tidak ada jalan lain. Contoh legendarisnya, ketika Indonesia meminjam dana kepada International Monetary Fund, guna bangkit dari krisis moneter 1997-1998.
Negara yang benar-benar berdaulat, adalah negara yang tidak memiliki utang kepada pihak lain, kecuali dengan rakyatnya. Karena definisi negara, adalah sekumpulan rakyat itu sendiri.
Ini baru menyinggung poin nomor 2, tentang utang (publik) beserta bunganya. Kedengarannya terlalu naif jika melihat atau memimpikan sebuah negara tanpa utang. Tetapi, kenyataannya saat ini, APBN kita sudah mengalami defisit, bahkan defisit keseimbangan primer. Ini akibat yang harus kita tanggung dengan kebijakan defisit anggaran. Namun dengan diraihnya kedaulatan penuh, Indonesia bisa mengimplementasikan kebijakan moneter seperti masa kejayaan Islam. Tanpa uang fiat, tetapi dengan dinar. Tidak pula dengan fractional reserve banking yang membuat bank-bank umum bisa mencetak uang dari “ruang hampa” tergantung dari seberapa besar cadangan uang yang dimilikinya dan seberapa tinggi reserve requirementnya.
Mengapa saya ingin membuang dua hal tersebut?
Karena kedua hal tersebut lah yang membuat uang semakin tidak berharga nilainya.. Yang menanggung akibatnnya lagi-lagi rakyat. Nilai uang yang mereka pegang sangat mungkin untuk menguap begitu saja jika memang terjadi ekspansi moneter yang begitu cepatnya. Mengapa? Karena uang fiat dengan mudahnya dicetak (atau bahkan tinggal menambahkan bit bit angka di layar komputer saja). Kemudian, bank juga bisa bisa menambah uang di suatu negara dengan praktik FRBnya tersebut. Kembali lagi, rakyat kecil lah yang di zhalimi. Mereka hanya bisa mengeluh mengapa harga-harga barang selalu naik, padahal di satu sisi ada pihak yang memang “mencuri” dengan halus kekayaan riil mereka. Penjajahan era modern.
Pembelajaran tentang (asal-usul) uang, walaupun dengan segala kerumitannya, menjadi pembelajaran yang paling berharga dalam ilmu ekonomi.
Solusinya, tiru uang yang digunakan ketika Islam berjaya, dinar dan dirham. Memang pasti akan ada kesulitan tersendiri dengan menggunakan kedua komoditas tersebut. Namun faktanya 1 dinar di masa Rosulullah dengan masa kini masih mampu untuk membeli seekor kambing. Itu merupakan bukti betapa dirham merupakan mata uang lintas zaman yang sudah terbukti daya belinya jika dibandingkan dengan mata uang Rupiah.
Jika pada saat Rupiah dirilis pertama kali pada tahun 1946 dan Rp 8,5 ekuivalen dengan 1 dinar, maka pada saat ini dibutuhkan sekitar Rp 2.100.000 untuk 1 dinar.
Pada akhirnya, memang banyak ekonom dari berbagai belahan dunia yang memprediksikan kejatuhan sistem moneter ribawi seperti ini. Untuk itu, tidak ada salahnya selagi kita diberik nikmat iman dan islam oleh Allah SWT guna mempelajari ekonomi yang turun langsung dari sang pencipta.
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
 Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. QS Al Isra Ayat 81.

Daftar Pustaka

The Indonesia Tax In Brief, Penerbit Dirjen Pajak
Pengusahamuslim.com-tanya-jawab-hukum-pajak
Euis amalia, Op Cit, hal 49
The Theft Of Nation, Ahmad Kameel Mydin Meera
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
http://finance.detik.com/read/2016/08/18/111052/3277751/4/pemerintah-ri-berutang-untuk-bayar-bunga-utang-ini-bahayanya