Minggu, 13 September 2015

Bukan Perjalanan yang Mulus

Di malam yang dingin nan sepi, aku terbangun dari tidurku. Orang-orang disekitarku tersenyum dan menunjukan raut muka bahagia di wajahnya.  Akupun masih belum bisa mengerti kenapa dan apa maksud ini semua.. Aku masih belum bisa berbuat apa-apa selain menangis dan tertidur.

Silih berganti, orang-orang yang ada di sekelilingku bergantian menggendongku. Dari sekian banyak tangan dan badan yang ku singgah, hanya dekapan ibuku yang paling membuatku nyaman. Jika ibuku menawarkan ketentraman kepada diriku, lain halnya dengan dekapan ayahku yang memberikan jaminan keamanan bagiku.

Setelah sekian lama orang-orang bergantian untuk menggendongku. Aku akhirnya sedikit-sedikit untuk menyusuri lantai-lantai di rumahku. Bukan lantai keramik seperti di rumah modern, tetapi hanya batu yang permukaannya sudah dihaluskan. Bahkan, alas di dapur pun hanya berlapis tanah yang sudah sangat keras. Kadang, ketika aku merangkak menuju dapur, suara ibuku lantang sekali terdengar. Sambil berlari, beliau pun langsung menggotongku ke tempat semula.

Melihat orang-orang di sekitarku tidak ada yang berpindah tempat dengan cara sepertiku, lalu akupun berusaha meniru apa yang dilakukan mereka, yakni berdiri. Tidak mudah rupanya, aku masih terlalu takut untuk  berdiri di atas kaki sendiri. Mataku selalu mencari dan menggapai apa yang bisa aku raih dengan tangan mungilku ini.
Berdiri saja tidak cukup. Aku hanya bisa terdiam kaku di tempatku berdiri. Lalu orang-orang terdekatku mulai memancingku untuk berusaha berjalan. Walaupun sebenarnya, aku masih belum kokoh benar dengan kedua kaki kecilku ini, tetapi ibu dan ayahku berusaha untuk menghilangkan kelemahanku ini.

Tidak cukup dengan berlajar jalan di ruang tamu dan ruang tidur, akupun kadang mencuri kesempatan untuk keluar rumah, menuju pekarangan rumah.
Baru kali ini, dengan tanpa siapapun yang membopoh diriku, aku bisa dengan bebas berkeliling di pekarangan rumahku bahwa dunia ini luas. Tidak seperti di rumah yang di sekati oleh tembok kayu, pemandangan yang indah ini malah disekati oleh pohon-pohon rindang dan juga bunga-bunga yang elok.

Sungguh, aku semakin penasaran dengan dunia ini. Lalu, ayah dan juga ibuku mulai sering mengajakku berkeliling desa tempatku tinggal. Di sepanjang perjalanan,  aku disuguhi rumput panjang yang sudah menguning dan ditanam dengan sekat seperti tangga, yang saat ini ku kenali dengan padi dan terasering. Selain sawah, telingaku juga dimanjakan dengan suara derasnya aliran air (yang saat ini ku kenal dengan irigasi) yang kulihat di samping dari lahan sawah tadi. Setelah beberapa jauh jarak perjalananku, lalu aku bisa menemukan bahtera air yang sangat banyak dan besar ukurannya. Ibuku bilang, itu waduk namanya. Yang berguna untuk menghidupi lahan-lahan sawah yang tadi sudah kulihat sebelumnya.

Lama-kelamaan, udara semakin mendingin. Ibuku langsung menyarungi tangan dan juga kakiku dengan kaos tangan dan kaki. Selain itu, aku merasakan perjalanan yang menanjak. Aku dan kedua orang tuaku lalu berhenti di masjid untuk beristirahat. Aku bisa melihat betapa indahnya kebun teh namun sedikit terhalang dengan kabut tipis. Dengan secangkir susu putih hangat, akupun bisa mengurangi rasa dingin yang melanda tubuhku. Lalu, setelah cukup beristirahat, aku dan orang tuaku kembali melanjutkan perjalanan.

Jalanan pun semakin menanjak, dan akhirnya kami tiba di tempat yang orang tuaku maksud. Ketika aku turun dan berjalan mengikuti orang tuaku, air terjun yang tinggi menjulang menarik perhatian mataku. Ibuku bilang, bahwa ini merupakan tempat wisata alam Tawangmangu. Selain itu ada banyak kumpulan kera yang bergelantungan di atas pohon dan menunggu para pengunjung untuk memberikan makanan yang mereka bawa.
Tapi sayangnya, aku ingin bermain di air terjun itu, tetapi karena aku masih kecil jadi tidak aku masih dalam pengawasan orang tuaku Jadi aku hanya bisa menikmati sensasi bermain di air terjun dan memberi makan kera di pohon.

Di sana, aku juga melihat para remaja menggunakan baju mengembang dan helm yang sedang asyik menunggangi perahu karet.
“Itu mereka sedang apa bu?” tanyaku kepada ibuku.
“Ooh, mereka itu lagi main arum jeram dek,” jawab ibuku.
“Adek boleh ngga main itu?” tanyaku balik sambil menunjuk gerombolan remaja yang sedang berselancar itu.
“Kamu belum boleh main itu dek, soalnya kamu masih kecil. Nanti kamu boleh main ya kalo sudah besar,” tolak ibuku.
“Yahhh, padahal aku pengen sekali naik itu bu,” balasku dengan memelas
Jadi, akupun hanya bisa melihat dan merasakan keseruan naik arum jeram dari jembatan yang melintang di atas sungai ini. Teriakan demi teriakan orang-orang yang bermain arum jeram seakan-akan tidak ingin kalah dengan suara derasnya air sungai.

Setelah puas untuk berwisata alam di Tawangmangu, aku dan keluargaku bergegas pulang. Akupun kembali disuguhkan dengan kebun teh yang asri nan hijau. Selanjutnya, giliran lambaian padi yang menguning menandakan bahwa rumahku sudah tidak terlalu jauh lagi.
Hari yang menyenangkan tentunya. Bisa keliling desa dengan kesadaran penuh, membuatku selalu mengingat-ingat hal ini.

Setelah beberapa hari berlalu, akupun diajak keluar rumah lagi oleh kedua orang tuaku. Tentu aku antusias sekali mengetahuinya. Apakah kembali ke Tawangmangu? Atau kah ada tempat baru yang ingin ditunjukan kepadaku? Entahlah, tetapi rasa ketidaktahuanku membuat aku penasaran mengenai destinasi perjalananku pada hari ini.
Kembali, hamparan sawah menjadi pemandangan “wajib” yang harus kulalui ketika aku keluar dari rumahku. Hal yang wajar, karena rumahku ini terletak di pedesaan yang berada di kaki gunung Lawu, sehingga air yang kugunakan sehari-hari sangatlah segar dan masih bisa langsung diminum.

Setelah beberapa saat berlalu, aku tidak menemui kebun teh yang pernah aku lihat pada perjalanan sebelumnya. Sawah pun mulai jarang-jarang terlihat, sebagai gantinya, banyak rumah-rumah yang bangunannya lebih modern jika dibandingkan dengan rumahku, selain itu terdapat “Ibu, kita sekarang kemana? Ketempat kemarin?” tanyaku dengan penasaran.
“Bukan dekk, kita sekarang sedang ingin ke kota,” balas ibuku.
“Emang bedanya kota dengan desa apa ya bu?” tanyaku lagi.
“Bedanya itu, kalo di desa lebih banyak sawahnya, kalau di kota adanya gedung-gedung tinggi. Sawahnya udah jarang-jarang,” jelas ibuku.
“Ooooh itu bedanya..” gumam ku sambil mengangguk.

Motor yang ku tunggangi sedang melewati jembatan yang di bawahnya terdapat sungai yang cukup lebar. “Itu namanya sungai Bengawan Solo dek,” bilang ibuku.
Setelah melewati jembatan, lalu muncullah tulisan yang membentang lebar di atas, bertuliskan “Selamat Jalan Karanganyar” dan selang beberapa saat, aku melihat tulisan “Selamat Datang di Kota Solo”.

Taman Sri Wedari menjadi objek pertamaku di kota Solo. Di taman tersebut, banyak sekali para pedagang yang menjajakan jualannya di pinggiran taman. Mulai dari makanan seperti serundeng, gudeg/krecek, nasi liwet, pecel dan masih banyak lagi. Ada juga penjual mainan anak-anak. Akupun dibelikan balon dan juga nasi liwet karena memang sudah memasuki waktu makan siang.
Beruntung, rindangnya pohon yang berdiri di sekeliling taman membuat udara sejuk. Akupun bisa bermain dengan saudara sepupuku yang juga ikut bersama om dan tanteku.
Tidak lama aku berada di taman ini, ibuku langsung bergegas menggendongku yang tengah terduduk letih di bangku taman. “Mau kemana lagi kita bu habis ini?” tanyaku kepada ibuku.
“Nanti kamu akan tahu dek,” balas ibuku tanpa memberitahu tempat tujuan selanjutnya.

Ternyata, apa yang ibuku katakan tentang perbedaan desa dan kota baru kurasakan dalam perjalanan dari taman Sriwedari. Sejauh mata memandang, agak sulit menemukan ladang sawah yang luas, namun digantikan oleh bangunan kokoh seperti rumah penduduk, pertokoan, pasar dan gedung-gedung lainnya. Kendaraan yang kutemui sangat banyak jika dibandingkan dengan di jalanan depan rumahku yang kalau sudah lewat jam 9 malam nyaris jarang sekali ada kendaraan yang berlalu lalang.

Pasar yang kulihat saat ini jauh lebih rapih dan ramai. Kulihat dari atas motor yang melaju pelan, di sudut lain banyak sekali kerumunan orang yang sama-sama memandang ke satu titik. Sehingga, itu membuat ayahku kembali mengarahkan motornya ke parkiran terdekat.
Ternyata, kerumunan orang tadi untuk melihat tarian. Ditambah dengan musik yang membuat hati menjadi nyaman, membuatku dan orang tuaku sejenak untuk menonton tarian tersebut. Aku mendapat sudut pandang yang bagus karena ayahku rela membopongku ke pundaknya.

Setelah acara selesai, orang tuaku langsung menuju pasar yang aku lihat sebelumnya. Membeli beberapa potong pakaian dan juga makanan. Ibuku bilang, ini merupakan salah satu pasar yang menjadi ciri khas kota Surakarta, yakni Pasar Klewer. Jelas aku tidak mengerti kenapa bisa disebut ciri khas, karena yang aku tahu semua pasar sama saja, walaupun Pasar Klewer ini lebih tertata dan bersih jika dibandingkan dengan pasar yang ada di desaku.
Mungkin, karena sudah semua barang didapati oleh orang tuaku, langsung kami bergegas untuk menuju parkiran motor. “Habis ini kita kemana bu? Tanyaku kepada ibuku.
“Kita pulang saja nak, hari sudah sore,” ibuku membalas.

Sambil di perjalanan, aku merasakan perasaan yang gembira sekali. Yahh mungkin karena biasanya aku hanya melihat sawah dan kebun. Pada perjalanan kali ini aku menikmati sesuatu yang baru.
Jalanan semakin padat di sore ini, kulihat banyak kakak remaja-remaja yang sudah keluar ke jalanan, ditambah dengan maraknya dagangan makanan pinggir jalan yang juga memiliki banyak pelanggan. Satu hal lagi yang sulit kutemui di desaku.

Tiba-tiba, ayahku membelokkan motornya ke jalan yang tidak begitu ramai seperti sebelumnya. Malah, semakin banyak anak remaja yang kulihat di sini. Selang beberapa saat, aku melihat peris di atasku tulisan “Universitas..” yang menyambutku untuk datang kesini.

Aku belum tahu makna kata “Unviersitas”, apakah kota atau desa lain? Setelah motor yang kunaiki melaju dengan pelan, banyak pohon-pohon rindang yang berdiri tegak di pinggir jalan. Untuk kesekian kalinya, kami kembali berhenti. Tempat ini sangat luas, tidak seperti taman yang menjadi tempat kunjungan pertamaku. Banyak juga orang-orang yang berolahraga di sini, seperti berlari, ada yang bermain bulu tangkis, sepakbola, dan juga ada yang berfoto-foto ria.

Sambil duduk-duduk santai di pinggiran jalan, ayah dan ibuku bercerita panjang lebar mengenai tempat yang sekarang kami singgahi. “Sekarang kamu duduk di kursi taman kampus Universitas Sebelas Maret, tempat dimana orang-orang yang insyaAllah sukses dalam kehidupannya nanti nak,” ayahku memulai penjelasannya.
“Selain itu, kampus ini merupakan kebanggaan kota Surakarta dan desa tempat kita tinggal, anak orang-orang mampu secara biaya di desa kita melanjutkan belajarnya disini,” ayahku kembali meneruskan perkataanya.
“Ibu dan juga ayah berharap, jika kamu nantinya duduk di kursi taman ini sebagai mahasiswa di kampus ini. Karena kesempatan kami untuk bersekolah di sini telah lewat, tetapi kamu masih punya kesempatan yang terbuka lebar nak,” ibuku juga menimpali kata-kata ayahku.
“Iya bu, yah. Nanti aku akan sekolah disini, aku janji yaa!” jawabku sambil berjanji kepada orang tuaku.

Matahari sudah semakin redup, hingga saatnya tiba untuk meninggalkan kampus ini dan pulang menuju rumah. Sepanjang perjalanan, aku masih terngiang-ngiang mengenai perbincangan tadi, namun di saat yang bersamaan aku juga sudah berjanji untuk bersekolah disini, bisa memenuhi harapan orang tuaku yang tidak sempat terwujud.

Belum sempat aku untuk mengenakan seragam putih-merah seperti teman-teman di sekitar rumahku, aku harus membantu mengemasi barang-barang yang masih aku perlukan. Berkali-kali aku bertanya kepada ibu, “kita mau kemana bu?”. Namun, ibuku hanya bilang kita akan pindah ke tempat yang lebih baik daripada di sini. Yasudah, aku kembali memasukan barang-barang kesukaanku ke dalam kardus.

Setelah semua sudah tersusun rapih, aku beserta ayah dan ibuku pamitan kepada mbah (kakek dan nenek) dan juga para saudaraku yang ada di rumah. Tidak lama, ada bus kecil yang berhenti di depan pekarangan rumah. Lantas, kami bergegas untuk masuk ke dalam bus tersebut. “Mau kemana pak?” tanya sang supir bus kepada ayahku.
“Ke terminal Tirtonadi mas,” jawab ayahku dengan spontan.

Selang satu jam, aku tiba di tempat yang dimaksudkan oleh ayahku. Setelah menunggu beberapa menit, kami langsung menaiki bus yang ukurannya lebih besar daripada bus yang tadi kunaiki.
Ibuku berpesan, jika perjalanan ini cukup panjang, jadi ibuku menyuruhku untuk tidur saja selama perjalanan.

Aku hanya menghabiskan waktu di perjalanan dengan tidur dan makan saja, ditambah dengan tempat yang tidak begitu luas membuat perjalanan ini terasa panjang sekali.
“Bangun nak, kita sudah sampai,” ujar ibuku seraya mencubit pipiku supaya bisa bangun.
“Ini di mana bu?” tanyaku penasaran.
“Kita di kota Depok nak,” jawab ayahku.

Sekilas, ketika aku menjejakan kaki di kota ini, benar-benar beda sekali dengan kota Surakarta. Banyak sekali sampah yang berserakan di jalanan, kendaraan yang jumlahnya banyak sekali hingga sulit untuk bergerak, hingga cuaca yang lebih panas jika dibandingkan dengan di desaku

Setelah berjalan beberapa langkah, kami langsung menaiki sebuah mobil yang di desa dinamakan angkutan desa. Kepadatan kendaraan di kota Depok membuat perjalanan agak sedikit memakan waktu lebih lama, tapi aku juga penasaran untuk mengetahui setiap jengkal sudut kota yang aku kunjungi ini.

Akhirnya, aku dan orang tuaku tiba di depan pintu rumah yang sederhana ini. Ukurannya jelas jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan rumahku yang ada di desa. Selain itu, jarak antar rumah sangat berdekatan sekali, berbeda dengan di desa yang dipisahkan dengan pekarangan yang luas.
Belum sempat aku mengelilingi kota ini, aku harus pergi ke sekolah pertamaku. Namanya adalah SDN Beji 7. Di sana, aku bertemu dengan teman-teman yang tidak pernah kutemui sebelumnya. 

Namun, selama bersekolah di sana, aku merasa bahagia karena ternyata teman-teman di sekolahku sangat ramah dan menyenangkan. Cukup banyak pengalaman dan kejadian seru (dan mengharukan) ketika aku bersekolah di Beji 7.

Setiap berangkat sekolah, saya dan juga rekan saya harus melewati rumah yang memiliki anjing. Ketika apes, aku dan rekanku bisa dikejar-kejar oleh anjing tersebut. Sampai di kelas, aku dan rekanku dianggap mencuri start olahraga duluan.

Dengan komposisi kelas yang tidak berubah selama enam tahun, aku dan teman-teman kelasku sudah mengerti luar dalam masing-masing dari kita. Selain ikatan pertemanan kami, para orang tua kami pun juga memiliki hubungan yang akrab karena sering bertemu untuk menunggui kami ketika di sekolah.

Lulus dari SDN Beji 7, aku bersyukur bisa diterima di Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Depok yang letaknya dekat dengan rumahku. Banyak sekali teman-teman dari SDN Beji 7 yang masih kutemui di sekolah ini. Selama tiga tahun saya bersekolah di sini, Menurutku di kelas sembilan lahh yang menjadi momen berkesan selama bersekolah di tingkat SMP. Karena ketika mejalani masa-masa terakhirku di jenjang pendidikan menengah pertama, aku dapat bertemu dengan kawan-kawan yang memiliki hobi dan minat yang sama, yakni sepakbola. Dari minat dan hobi yang sama tersebut lah kami bisa menyatu. Hal tersebut di deklarasikan dengan lahirnya sebuah nama “Rajagobal” yang merupakan sebuah tim futsal di kelas Sembilanku dulu. Namun, saat ini kami sudah jarang untuk bermain futsal seperti dulu karena kesibukan masing-masing dari kami. Namun, dari itu kami juga tetap masih mengusahakan untuk bertemu, berkumpul satu sama lain ketika hari liburan tiba.

Ternyata, setelah pengumuman hasil ujian nasional SMP dikeluarkan, nilaiku tidaklah begitu baik, walaupun tidak buruk juga. Tetapi nilai yang kuraih tidak bisa mengantarkanku kepada satu kursi di sekolah menengah atas negeri yang ada di kota Depok. Sehingga, SMA swasta yang letaknya tidak begitu jauh jaraknya dari rumahku menjadi tempatku bersekolah untuk jenjang atas.

SMA Sejahtera 1 Depok, itulah sekolah yang kumaksud. Ada banyak teman yang kukenal di SD dan SMP yang melanjutkan studi di sini. Eki, Farid, Luthfan dan Winda merupakan temanku dari SD dan SMP yang satu SMA denganku. Membayangkan bersama mereka untuk dua belas tahun berada dalam satu sekolah yang sama benar-benar suatu keunikan sendiri, terutama juga dengan Winda yang merupakan teman sekelasku di taman kanak-kanak.

Selain itu, ada dua kawanku dari Rajagobal yang bersekolah di SMA Sejahtera 1 Depok, yakni Ardi dan Feris. Namun, selama tiga tahun menempuh pendidikan di sana, aku hanya sekelas dengan Eki, itupun hanya setahun, di tingkatan teratas jenjang pendidikan sekolah.

Namun, walaupun hanya setahun, tetapi momen-momen yang kulalui benar-benar sangat mengesankan. Baik canda tawa, semua aku rasakan di masa putih abu-abu ini.

Di masa yang seharusnya kami mempersiapkan untuk fokus terhadap ujian, kami sekelas beberapa kali membuat masalah terhadap guru pengajar hingga bimbingan konseling (untung saja tidak sampai kepala sekolah). Tetapi, hal-hal konyol yang kami lakukanlah yang membuat hari-hari di SMA ku makin bewarna. Untungnya, menjelang bulan ujian nasional, kami semua sadar untuk waktunya serius mempersiapkan ujian.

Saat input nama perguruan tinggi negeri untuk jalur undangan, aku benar-benar bingung mengenai pilihan kampus mana yang aku cantumkan di daftar pilihan. Aku ingat, bahwa aku punya janji dengan orang tuaku bahwa aku akan kuliah di UNS Surakarta. Tetapi, kampus yang dekat sekali dengan rumahku (hanya membutuhkan tujuh menit jika naik motor) yakni Universitas Indonesia, juga memiliki daya tarik sendiri (siapa sih yang menolak untuk bisa kuliah di UI?).

Akhirnya, aku memilih UNS dengan program jurusan manajemen dan ekonomi pembangunan sebagai pilihan satu dan dua. Lalu di urutan terakhir, aku cantumkan Universitas Padjajaran dengan ilmu politik sebaga prodinya. Aku harus mengorbankan UI pada pilihan kampus di jalur SNMPTN ini, karena jatah untuk mengambil kampus di luar daerah sudah kuhabiskan untuk UNS (UI termasuk region DKI Jakarta ketika aku mendaftar di SNMPTN tahun 2014).

Setelah selesai melalui proses SNMPTN, aku tetap belajar guna mempersiapkan hal yang terburuk (tidak diterima) pada seleksi non tes tulis ini.

Hari itu tiba, setelah nilai ujian nasional terbit terlebih dahulu minggu lalu, pada pukul lima sore ini akan diumumkan hasil SNMPTN. Aku yang sedang berjalan-jalan di kota pelajar seringkali melihat jam tangan yang terpasang di kiri tanganku. Memasuki pukul dua sore, aku sudah berada di kamar hotel untuk bersiap melihat hasil pengumuman itu.

Tab dan hpku sedang dalam status siaga di masa-masa ini, tab yang kubawa akan digunakan untuk bisa menerabas masuk ke situs web SNMPTN, lalu hp yang selalu menemaniku berfungsi untuk mendapati kabar terbaru dari rekan-rekanku.

Ternyata, beberapa temanku sudah memasang status media sosial atas rasa syukurnya bisa diterima pada jalur ini. Lalu, aku langsung bergegas meraih tabku untuk membuka web SNMPTN, namun website tersebut sedang down, berkali-kali kupencet tombol refresh, hasilnya tetap sama. Di grup kelas dua belasku, ada beberapa anak yang sudah diterima menjadi mahasiswa PTN di Jakarta. 

Namun, jumlah yang tidak lolos lebih banyak jika dibandingkan dengan rekanku yang diterima.
Setelah berkali-kali mencoba merefresh namun gagal, akhirnya aku memutuskan untuk melupakan sejenak (namun justru semakin terngiang-ngiang di kepalaku) pengumuman SNMPTN ini.

Jarum pendek jam sudah menunjukan angka 5, aku rasa web SNMPTN sudah tidak down seperti tadi. Benar saja, aku dengan lancar meluncur ke laman utama web pengumuman hasil SNMPTN. Terdapat tanggal lahir dan nomor peserta yang harus diinput untuk melihat hasilnya.

Dengan perlahan sambil melihat nomor pendaftaran dari hp, aku memasukan data dengan pasti. Lalu langsung ku tekan tombol oke di bawah nomor pendaftaran.

Dan.. muncul juga laman hasil pengumuman SNMPTNnya. Kata “maaf” terpampang jelas sebagai penanda bahwa aku tidak lolos pada seleksi ini. Tidak berselang lama, ayahku meneleponku, menanyakan hasil. Untungnya, reaksi dari kegagalanku tidak mengecewakannya dalam perbincangan di telepon (atau mungkin disembunyikan? Entahlah).

Pikiranku langsung menuju SBMPTN dan juga SIMAK UI. Sesampainya di rumah, aku langsung mengerjakan banyak soal yang terdapat di buku kumpulan soal. Mungkin sebagai pelampiasanku karena tidak lolos pada seleksi ini. Pilihanku berganti haluan menjadi Universitas Indonesia, entah kapok atau bukan, aku tidak lagi melihat UNS sebagai pilihan kampusku pada ujian tulis nanti.

Namun ketika sudah mengerjakan kedua soal ujian tulis tadi, aku benar-benar tidak yakin dengan hasilnya. Tidak sedikit soal yang kutembak karena kehabisan waktu. Padahal, seharusnya aku bisa menjawab soal-soal yang terlewat. Tetapi sudahlah, aku hanya bisa pasrah saja.

Kata “maaf” kembali menghiasi laman hasil kedua tes masuk perguruan tinggi. Aku hanya bisa menerima kenyataan saja, apa persiapanku yang kurang, atau pilihanku yang terlalu tinggi untuk kugapai. Sempat juga terbesit bahwa aku akan ‘balas dendam’ di tahun depan.

Hasil sudah tidak bisa berubah, aku harus ikhlas untuk menerima kenyataan ini. Dan menjadi mahasiswa peguruan tinggi swasta yang letaknya dipisahkan dengan stasiun kerta api Pondok Cina bukanlah suatu yang buruk bagiku.

Ketika aku bertemu teman-teman baruku di kampus, tidak sedikit dari mereka yang juga merasakan kegagalan dalam test masuk perguruan tinggi negeri. Namun, seiring berjalannya waktu, kami bisa melupakan kegagalan tersebut dan bisa menjalani kehidupan di kampus dengan hati yang lega.

Menjelang hari pembukaan pendaftaran SBMPTN dan SIMAk, pikiranku kembali mengingatkan jika ada misi yang belum selesai. Beberapa temanku juga membahas tentang ini, dan niat untuk mengikuti lagi ujian tulis masuk PTN kembali bergelora.

Hari pendaftaran sudah dibuka, aku masih menunggu jadwal kuliah dengan jadwal test SBMPTN dan SIMAK. Setelah dipikir-pikir, tak apalah bolos sehari, karena aku sebelumnya tidak pernah bolos mengikuti perkuliahan. Sontak, aku  membuka laman SBMPTN dan SIMAK guna memasukan data diri, prodi tujuan dan mendapatkan kode verifikasi pembayaran.

Aku tetap bergeming untuk memilih UI sebagai kampus yang aku tuju pada perhelatan test masuk PTN ini, dengan jurusan pilihan pertama Ilmu Ekonomi (sama dengan tahun lalu) dan pilihan kedua Ilmu Ekonomi Islam (pilihan baru di tahun ini).

Setelah resmi terdaftar sebagai salah satu peserta test SBMPTN, aku langsung membuka buku modul SBMPTNku yang sudah tersimpan rapi di kardus bersama buku-buku yang tidak terpakai lainnya.

Jujur, hal itu membuat konsentrasiku di kampus menjadi terpecah. Karena di kampus aku masih masuk kelas biasa untuk mempersiapkan Ujian Akhir Semester dua.

Untuk persiapan ujian test tulis PTN, aku juga tidak bisa all out mempersiapkannya. Karena seperti yang sudah ku sampaikan, bahawa aku masih memiliki jam di kampus yang lumayan padat. Tetapi, aku berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk kedua hal tersebut.

Hari test pun sudah kulewati semua, untuk soal SBMPTN aku benar-benar lancar mengerjakannya jika dibandingkan dengan tahun lalu dimana aku sampai menembak banyak nomor. Sedangkan di SIMAK, soal yang kuhadapi jauh lebih sulit daripada soal SIMAK tahun lalu dan juga soal SBMPTN yang jadwal testnya lebih dulu.

Selama menunggu hasil, aku bisa lebih fokus untuk menjalani perkuliahan di Gunadarma. Entahlah, aku merasa enjoy pada saat itu jika dibandingkan waktu-waktu lain selama berkuliah di Gunadarma. Tentu juga aku berdoa dengan giatnya untuk mendapatkan hasil yang terbaik pada test tahun ini.

Di bulan puasa minggu kedua, pengumuman hasil SBMPTN ditampilkan. Kali ini pengumuman diluncurkan pada jam lima sore, menjelang berbuka puasa. Aku memutuskan untuk membuka pengumumannya setelah solat tarawih.

Pulang dari masjid, kepalaku sudah menuju kepada hasil pengumuman SBMPTN. Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamar dan menyalakan laptop.

Kulihat lini masa berbagai media sosial lewat hpku, ada yang berbeda. Di tahun lalu, ada beberapa kawanku yang membagi kebahagiaannya ketika diterima di PTN impiannya masing-masing. Namun, pada tahun ini kemeriahan itu tidak nampak. Akhirnya, aku langsung membuka web SBMPTN untuk melihat hasilnya.

Lagi.. kata maaf bewarna merah terpampang di monitor laptopku ini. Pikiran dan jiwaku tiba-tiba kosong. Walau aku tahu ini merupakan test yang tidak kuharapkan lebih dari hasilnya, tetapi kenyataannya, aku sangat terpukul sekali setelah membuka hasil SBMPTN ini.

Yap, memang masih ada SIMAK UI, tetapi dalam pengerjaan soalnya, aku jauh lebih bisa mengerjakan soal SBM dibandingkan dengan SIMAK. So, soal yang bisa kukerjakan dengan lancar saja aku tidak lolos, bagaimana hasil SIMAK dimana aku kesulitan dalam mengerjakan soal-soalnya.

Tetapi, segelap-gelapnya suasana hati dengan kegagalan (lagi) dalam SBMPTN, aku masih punya setitik harapan di SIMAK. Namun, harapan yang terbatasi oleh kenyataan. Kenyataan jika aku kesulitan dalam menjawab soal-soalnya, membuatku lost hope untuk menanti hasil SIMAK nanti.

Hari senin sehabis solat ashar, tepat di minggu terakhir di bulan puasa, ternyata di lini masa pesan instan LINE memberitahukan jika pengumuman SIMAK dimajukan menjadi hari ini pukul lima sore. Sontak, adrenalin tubuhku berubah drastis. Rasa lapar dan haus khas ibadah puasa pun menjadi sirna melihat berita tersebut. Kulihat di website resmi kampus UI juga memang sudah muncul laman hasil pengumuman SIMAK. Namun, suasana berbagai media sosial lainnya yang tampak adem anyem di lini masaku. Mungkin memang rekan-rekanku tidak mengikuti tes ini.

Pola yang sama dengan waktu pengumuman SBMPTN kulakukan ketika membuka hasil SIMAK, dengan harapan, aku bisa meminta ketenangan untuk melihat peluang terakhirku untuk mewujudkan mimpiku menjadi nyata.

Sekitar pukul sepuluh malam, aku sudah bersedia di depan laptopku lagi. Kubuka Google Chrome dan selanjutnya, kuketik “SIMAK UI” di kolom pencarian. Cukup lancar, karena mungkin orang-orang sudah membuka web itu terlebih dahulu.

Kumasukan email beserta password yang menjadi akun pendaftaran SIMAK. Lagi-lagi, bisa masuk dengan mulus tanpa hambatan. Kupastikan ini merupakan akun SIMAK yang baru (padahal di rekomendasikan untuk menggunakan akun yang lama jika ingin mendaftar). Tujuannya sepele, aku hanya ingin membuka lembaran baru (akun baru) sambil berharap hasilnya juga akan berbeda.

Setelah benar jika aku sudah login di akun pendaftaran SIMAK yang terbaru, lalu dengan perlahan, tangan kananku mengarahkan pointer mouse di laman “lihat hasil seleksi”. Mataku terpejam sambil kedua tanganku menyangga kepalaku untuk menunggu laman pengumuman hasil seleksi, serta berusaha menenangkan pikiran dan hati dengan beristighfar.

Beberapa detik berlalu, ketika aku sudah yakin jika laman pengumuman sudah muncul di layar, aku langsung membuka mataku. Dengan pandangan yang masih kabur, aku melihat sesuatu yang berbeda di laman hasil seleksi ini. Dulu tampilan hasil pengumumannya begitu simple, namun sekarang terdapat warna hijau yang mencolok dan tulisan yang panjang.

Aku berusaha untuk memfokuskan pandangan.. dan ternyata aku bisa lolos pada seleksi tahun ini! Jantungku berdegup semakin kencang, menandakan bahwa ini merupakan kejadian yang benar-benar menjadi sejarah dalam hidupku. Langsung ku panggil ibu yang sedang berada di dapur, lalu kubiarkan beliau untuk melihat layar laptopku. Sontak, ibuku langsung mengucapkan selamat kepadaku. Selain itu aku juga bangga bisa menuntaskan janji di masa kecilku, walaupun bukan di kampus yang sama, dengan yang ibu sebut, dulu kala.

Menjadi salah satu mahasiswa, di fakultas yang sedikit banyak memberikan kontribusi bagi bangsa ini, merupakan kebangganku dan juga kebanggaan rekan-rekanku di fakultas ekonomi UI. Tentu, ini bukan sekedar kebetulan semata, mengutip pernyataan pak Jossy bahwa kita bertemu di sini adalah by design, rancangan dari yang Maha Kuasa. Sudah barang tentu jika Allah mempercayai aku dan rekan-rekanku untuk bisa menduduki enam ratus kursi yang sebelumnya diperebutkan oleh belasan ribu orang…
End
#NewYoungGreyPride                                                                       #PalingSialJadiMenteri

FEB UI 2015!!
SIAP!

FEB UI 2015
KAMI SIAP!!

FEB UI 2015

MENJADI INSPIRASI!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar