Selasa, 28 Juli 2015

Pancasila: Jati Diri Bangsa yang Mulai Pudar


 “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri”, salah satu kutipan terkenal dari founding father kita, yaitu Bung Karno. Bangsa kita memiliki sejarah panjang dari zaman pra sejarah, kerajaan, penjajahan, proklamasi, orde lama, orde baru, hingga reformasi saat ini. Dari perjalanan panjang tadi, ada satu hal yang penting. Yakni dengan lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 yang dicetuskan oleh Ir. Soekarno pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945.

Kenapa penting? Karena Pancasila merupakan nilai luhur bangsa dalam hal ini mencakup nilai adat istiadat, kebudayaan, dan juga nilai-nilai religius yang sudah ada sejak zaman kerajaan.  Menurut buku yang dikarang oleh Prof. Dr. Kaelan.,

 Pancasila memiliki 4 landasan. Yakni:

1.     Landasan Historis: Landasan ini dimulai sejak zaman kerajaan. Dimulai dari kerajaan Kutai, masa kerajaan Sriwijaya ditandai dengan adanya cita-cita tentang kesejahteraan bersama yang berbunyi “marvuat vanua criwijaya dhayatra subhiska” yang artinya suatu cita-cita negara yang adil dan makmur. Ini mirip dengan sila kelima Pancasila. Lalu di kerajaan Majapahit juga muncul kitab Sutasoma yang dikarang Mpu Tantular, di dalam buku itu terdapat kalimat “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki makna yang sama dengan sila ketiga Pancasila.

2.  Landasan Kultural: Bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada kultur yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri.

3.     Landasan Yuridis: Dalam Undang-Undang N0. 2 Tahun 1989 pasal 39 telah menetapkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila.

4.    Landasan Filosofis: Pada kenyataanya, baik secara filosofis dan objektif bahwa bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat dan bernegaraa mendasarka pada nilai-nilai yang tertuang dalam sila-sila Pancasila yang secara filosofis merupakan filosofi bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara.
  
Pancasila, selain mencakup nilai istiadat dan religius juga menjadi pedoman (pandangan hidup) negara dan Pancasila merupakan norma yang diwujudkan dalam tindakan (penagaamalannya). Jadi, setiap sendi kehidupan kita dan juga bangsa Indonesia sudah terangkum dalam Pancasila. Pancasila ini lah yang menjadi jati diri bangsa Indonesia.

Namun, ada beberapa momen yang terjadi pada bangsa ini melenceng dari hakekat Pancasila. Misalnya dalam ranah politik. Dalam pembahasan Pancasila dalam etika politik, ada tiga hal yang harus dijalani. Yaitu:

1.      Azaz legalitas (dijalankan sesuai hukum yang berlaku)
2.      Disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis)
3.      Dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral  (legitimasi moral)

Ketika masa kampanye Presiden tahun 2014, muncul adanya black campaign melalui penerbitan suatu majalah yang isinya memojokan salah satu calon presiden. Hal ini tentunya mencederai makna demokrasi karena black campaign merupakan usaha illegal dalam demokrasi.

Selain itu, setelah pemilu presiden 2014 telah usai atau lebih tepatnya di hari pelantikan anggota DPR RI periode 2014-2019 kembali kejadian memalukan (dan juga melenceng dari etika politik Pancasila). Faktor utamanya adalah perebutan AKD (alat kelengkapan dewan) yang semuanya di duduki oleh orang-orang dari KMP (Koalisi Merah Putih), namun hal itu tidak bisa diterima oleh kubu seberang yakni KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Cukup lama hujan interupsi pada rapat paripurna dan juga banyak dari anggota fraksi yang maju ke meja pimpinan sidang dan terus berteriak kepada pimpinan sidang. Tentu hal ini menjadi contoh buruk bagi masyarakat luas dan hal ini sangat melenceng dari asas demokrasi yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Dari kejadian itu nampaknya para anggota DPR masih belum mengamalkan nilai demokrasi seutuhnya.

Juga masih ada konflik pengesahan APBD DKI Jakarta tahun 2015 antara Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan Haji Lulung yang berasal dari DPRD DKI. Masalah persengketaan APBD ini sudah berlarut-larut. Bahkan sampai dimediasi oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, namun tidak ada hasil konkret dari mediasi tersebut. Malah dalam mediasi itu sempat diberitakan bahwa ada oknum anggota DPRD yang mengeluarkan kata-kata kotor. Hal ini sangat berseberangan dengan etika politik Pancasila, lebih tepatnya pada poin berdemokrasi dan juga moral. Karena kedua elit politik ibu kota ini tidak bisa mencari mufakat dalam persengketaan APBD DKI 2015 dan keluarnya kata-kata kotor juga tidak sesuai moral berpolitik Pancasila.

Baik, itu tadi sedikit pembahasan dari ranah politik. Selain itu Indonesia juga pernah mengalami perang antar etnis. Misalnya konflik Sampit. Hal ini menandakan bahwa makna sila ketiga Pancasila, yakni persatuan Indonesia masih belum meresap di akal pikiran para oknum yang berseteru.
Itu tadi merupakan gambaran-gambaran mengenai momen kejadian yang masih tidak sesuai dengan Pancasila. Saya menghubungkannya dengan Pancasila bukan tanpa alasan. Karena Pancasila lahir dari budaya bangsa Indonesia yang sebenarnya sudah ada sejak jaman kerajaan. Sehingga, ajaran Pancasila juga bukan hanya ajaran kemarin sore. Jadi sebenarnya untuk menjadikan  bangsa kita menjadi lebih baik itu sudah ada, yakni Pancasila. Namun sayangnya dari contoh yang saya utarakan tadi masih banyak yang menyimpang dari ajaran-ajaran Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan  bernegara.

Dari contoh di atas ada kasus yang melibatkan elit politik di negara ini. Hal ini sangat ironis sekali karena dengan model pembangunan bangsa Indonesia yang top down, peran elit politik disini benar-benar vital untuk memajukan bangsa Indonesia, karena dari elit ini lah yang harus melakukan aksi agar Indonesia bisa maju nantinya, namun apa  yang ditunjukan elit politik pada  pembahasan tadi memberikan contoh yang buruk kepada masyarakat luas. Bagaimana Indonesia bisa lebih baik jika kelakuan elitnya saja masih melenceng dari nilai Pancasila? Sudah saatnya pendidikan Pancasila masih harus diberikan kepada elit-elit bangsa ini (tidak hanya sampai di tingkat perguruan tinggi menurut UU No. 2 Tahun 1989) karena tingkah lakunya yang masih menyimpang dari Pancasila. Karena dengan kembali diajarkannya Pendidikan Pancasila kembali akan membuat (setidaknya memperbesar peluang) para elit bangsa mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga lapisan masyarakat umum yang juga mengikutinya (karena kebiasaan masyarakat kita yang mengikuti tren).

Kesimpulan

Pendidikan Pancasila masih diperlukan bagi para elit bangsa terlepas dari bagaimana cara penyampaian materinya. Karena tidak sedikit para elit bangsa yang kelakuannya masih menyimpang dari ajaran Pancasila seperti ketika sidang paripurna berlangsung ricuh, masalah pembahasan APBD DKI, sampai korupsi. Dengan pola pembangunan Indonesia yang top-down peran elit bangsa sangatlah vital dalam membuat Indonesia menjadi negara maju. Selain itu, sudah hal lumrah bahwa pemimpin menjadi panutan bagi anggota (dalam hal ini warga negara Indonesia). Jika pemimpinnya baik dan juga bisa mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka sudah sepatutnya masyarakat Indonesia juga mengikuti perilaku pemimpinnya yang baik dan amanah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar