Sudah menjadi tanggung jawab dari pemerintah untuk mensejahterakan
rakyatnya. Hal ini juga tak luput dari visi misi masa kepemimpinan
Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang tertuang dalam Nawa Cita dalam poin nomor enam
(6) dan tujuh (7).
6. Meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa
Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
7. Mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik.
Kedua poin di atas sangat berkenaan dengan sektor sosial-ekonomi
bangsa Indonesia, sehingga dalam artikel ini (akan) sedikit banyak akan dibahas
dengan pendekatan dua disiplin ilmu tersebut.
Untuk mewujudkan kedua misi tersebut, jelas bukanlah sebuah hal
yang mudah namun juga tidaklah mustahil. Terdapat banyak instrumen dalam teori
ekonomi yang dapat dilakukan oleh pemerintah guna mempercepat perputaran roda
perekonomiannya. Seperti kebijakan moneter (peredaran uang. Namun tugas ini
diemban oleh Bank Indonesia) dan juga kebijakan fiskal (lewat Anggaran Pendapatan
Belanja Negara atau biasa kita sebut APBN).
Wacana yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK bukanlah hanya angin
surga belaka, tetapi dituangkan dalam kebijakan strategis APBN 2016. Dimana
dalam APBN 2016 yang dapat diakses di situs Kementrian Keuangan terpampang
jelas tujuan penggunaan anggaran negara, yakni untuk ”Mempercepat Pembangunan
Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Bekualitas".
Sumber: Kementrian Keuangan
Lewat APBN, pemerintah bisa menjadi motor pembangunan
infrastruktur nasional. Mengapa alokasi anggaran untuk infrastruktur begitu
penting, dan bahkan alokasi anggaran untuk infrastruktur tahun 2016 melonjak
drastis hingga mencapai 300 triliun (Kemenkeu). Karena pembangunan infrastrukur
merupakan salah satu jalan bagi pemerintah (dimanapun) untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Jika dilihat dari
segi mikro, maka ketersediaan infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi,
bayangkan betapa mubazirnya ongkos transportasi jika untuk mencapai suatu
daerah (yang terpencil dan minim fasilitas infrastruktur) harus memakan waktu
yang lama dan dibutuhkan usaha yang lebih keras.
Pertamina saat Menyalurkan BBM ke Pedalaman Papua Sumber: Detik.com |
Contoh nyatanya adalah ketika
Pertamina mendistribusikan bahan bakar minyak ke pelosok Papua. Bahkan
Pertamina harus rela mengeluarkan biaya tambahan Rp 30.000 untuk setiap liter
bensin yang diantarnya. Sehingga contoh ini menjadi bukti konkrit jika dengan
minimnya infrastruktur maka akan ada kecenderungan untuk menambah biaya
produksi yang dalam kasus lain lazimnya “beban tambahan” distribusi tersebut
akan diakumulasikan pada harga jual, sehingga harga jual di pasaran akan jauh
lebih mahal. Pada akhirnya, bagaimana suatu produsen bisa bersaing secara
kompetitif dengan barang-barang impor sambil mematok harga jual yang mahal?
Kemudian, jika dilihat dari cakupan yang lebih luas lagi,
pembangunan infrastruktur kemudian bisa meningkatkan produktifitas dari
perusahaan. Sehingga akibatnya jelas, perusahaan yang efisien dapat bersaing
dalam persaingan pasar global ini.
Pembangunan infrastruktur tidak hanya menawarkan itu saja, tetapi
disi lain dapat mempengaruhi kualitas kehidupan manusia yang dapat terwujud
karena makin meningkatnya akses lapangan kerja serta peningkatan nilai pendapatan
dan konsumsi.
Pengalaman Berharga
dari Negeri Sakura
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, jika peran pemerintah
dalam melakukan percepatan perekonomiannya merupakan hal yang lumrah dilakukan
di berbagai negara, salah satu negara yang patut diteladani adalah Jepang.
Paska perang dunia kedua, pemerintah Jepang memiliki peran yang
dominan dalam pembangunan perekonominya. Dimana pemerintah Jepang di zaman
Meiji terlibat secara masif dalam menyediakan segala fasilitas umum seperti
pembangunan jalan kereta api, telekomunikasi dan yang lainnya, sehingga hal
tersebut membuat pemerintah Jepang harus menyediakan modal yang relatif cukup
besar. Sembari membangun berbagai macam fasilitas publik, pemerintah Jepang
juga mempelopori industrialisasi dimana pabrik-pabrik yang mendapatkan transfer
teknologi dari barat diserahkan oleh pihak swasta.
Hasil pembangunan infrastruktur dan industri yang dimana terdapat
peran vital dari pemerintah Jepang terlihat pada tahun 90an. Dimana pada saat
itu Jepang menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia dan juga berstatus sebagai
negara kaya jika diukur dengan menggunakan metode Produk Domestik Bruto.
Hambatan dalam
Pembangunan Infrastruktur
Indonesia kala melihat kisah keberhasilan Jepang dalam perekonominya
lewat pembangunan yang menyeluruh pastinya akan memiliki tendensi untuk
mengikuti jejak yang sama. Namun, apakah hal tersebut relatif mudah dilakukan seperti
membalikan telapak tangan? Tentu tidak.
Masalah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam mempercepat
pembangunan infrastrukturnya cukup beragam. Namun, salah satu yang paling
memberatkan adalah masalah pembebasan lahan.
Persoalan ini merupakan hal yang sangat klasik. Karena dalam banyak proyek yang dibuat pemerintah seringkali terjadi permasalahan pembebasan lahan. Lahan yang negara kita miliki padahal merupakan anugerah dari Tuhan yang juga tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 33 ayat 3 yang intinya adalah dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Tetapi, tanah malah menjadi sumber masalah yang cukup pelik ketika pembangunan dilakukan secara intensif dan tentu saja membutuhkan lahan sebagai tempat untuk membangun fasilitas infrastruktur.
Warga Depok Menuntut Ganti Rugi Tanah yang Layak. Sumber: viva.co.id |
Jika dirunut lebih dalam lagi, persoalan ganti rugi tanah menjadi salah satu faktor penyebab rumitnya pembebasan lahan untuk pembangunan. Sehingga seringkali hal tersebut menyebabkan terjadinya sengketa tanah.
Sebuah tanah yang diketahui akan dibangun infrastruktur seringkali menjadi bahan spekulasi dari para pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab guna memanfaatkan kebutuhan mendesak dari pihak yang membangun infrastruktur dengan cara menaikan harga tanah yang diluar nalar. Hal ini dapat digolongkan sebagai faktor eksternal, yang berarti harga tanah dipengaruhi oleh tindakan manusia.
Mafia Tanah. Sumber: tataruangpertanahan.com |
Di sisi lain, faktor internal yang dapat mempengaruhi harga tanah adalah ciri yang alami seperti lokasi kondisi geografis, daya dukung tanah serta kondisi fisik lainnya.
Solusi atas Permasalahan
Kejadian di atas kemungkinan dapat dicegah dengan perencanaan tata guna tanah yang bisa mengantisipasi sejak awal kepentingan pemerintah pusat maupun daerah dalam pemnbangunan infrastruktur.
Dalam Peraturan Pemertintah No. 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah, penatagunaan tanah adalah pemanfaatan, pengolahan dan penguasaan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyaraakt secara adil.
Sehingga, dalam PP ini Pemerintah dapat melakukan pembangunan yang sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selain itu, maka dapat dilakukan kegiatan inventarisasi kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang pada akhirnya akan menghasilkan peta kepemilikan tanah di masyarakat. Dengan mengetahui itu, maka pemerintah bisa gerak cepat untuk menaksir harga dan pihak-pihak mana saja yang tanahnya akan dibebaskan. Sehingga praktik calo dapat diminimalisir.
Kemudian, solusi selanjutnya adalah dengan mengadakan bank tanah. Prinsipnya sama dengan bank konvensional yang seringkali kita jumpai, yakni bank tanah menghimpun tanah dari masyarakat dan juga tanah negara yang menganggur untuk kemudian didistribusikan kembali sesuai dengan rancangan penggunaan tanah sehingga tanah bisa menjadi lebih produktif.
Bank Tanah. Sumber: Jokopedia |
Solusi ini juga sama-sama mengatasi mafia calo. Mengapa demikian? Karena dengan adanya bank tanah ini bisa dengan jelas diketahui pihak-pihak yang memiliki tanah dan juga bank tanah-lah yang kemudian langsung menjadi distributor kepada pihak lain yang ingin memanfaatkan tanah tersebut.
Artikel ini dilombakan dalam GPR Blog Competition
Tidak ada komentar:
Posting Komentar