PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Singkat Tentang Uang
Terus
mengalami perubahan. Setidaknya itulah yang dialami oleh uang, suatu benda yang
biasa kita gunakan sebagai alat pembayaran dan pengukur nilai. Uang komoditas atau
uang dalam bentuk barang digunakan sebagai alat pertukaran menggantikan pola
barter. Penemuan ini sangat vital pada waktu itu untuk mengatasi berbagai
masalah barter seperti coincidence of
wants. Uang komoditas pada awalnya ialah tembakau di Virginia jaman
kolonial, tembaga di Mesir kuno dan komoditas lainnya tergantung tempat dan
preferensi masyarakatnya. Setelah beberapa waktu berlalu, dua komoditas yakni emas
dan perak muncul dan menjadi uang di berbagai wilayah menggantikan komoditas-komoditas
lainnya.
Karena
cukup sulit untuk mengukur berat dan kandungan dari logam mulia, maka lambat
laun para pengambil kebijakan di pemerintahan waktu itu membuat notes yang mewakili kepemilikan uang
komoditas (emas dan perak) karena dianggap lebih praktis dan efektif guna menjadi
alat pembayaran. Masa ini disebut gold
standard. Dimana setiap notes yang
dicetak mewakili jumlah emas yang disimpan. Sistem ini runtuh pada tahun 1971
dimana Presiden Amerika Serikat, Nixon membatalkan perjanjian Bretton Woods dan membuat hubungan
antara emas dan notes dihapuskan.
Sehingga, sejak saat itu notes disebut
fiat money yang merupakan uang kertas
tanpa di back up oleh apapun.
Seiring
perkembangan teknologi yang semakin cepat, hal ini juga mendorong perubahan bentuk
uang itu sendiri yang tadinya berupa uang kertas dan logam kini juga terdapat uang
elektronik yang bisa menjadi alternatif bagi masyarakat untuk melakukan
pembayaran transaksi secara non tunai.
1.2 Latar Belakang Uang Elektronik
Pada
tanggal 14 Agustus 2014, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mencanangkan
Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dan pelaku bisnis untuk menggunakan pembayaran non tunai dalam
transaksi keuangan karena lebih mudah, aman dan efisien.
Uang
elektronik di masa kini terdiri dari dua jenis. Jenis yang pertama ialah transaksi
keuangan yang menggunakan skema transfer melalui jaringan internal bank dan
antar bank. Kemudian, jenis yang kedua ialah pembayaran melalui uang elektronik
yang berupa kartu. Contohnya kartu ATM, debit dan kartu kredit yang tergolong
sebagai Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK).
Inovasi
di sektor keuangan terus berkembang seiring dengan misi Bank Indonesia untuk
mencanangkan Less Cash Society di
Indonesia menambah instrumen pembayaran non tunai yakni berupa mirip seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya karena wujudnya berupa kartu yang dikenal
sebagai Electronic Money (E-Money). Namun terdapat beberapa
perbedaan di antara kedua jenis kartu elektronik yang akan kami bahas di
paragraf selanjutnya.
Kartu
ATM, debit dan kredit masih memiliki ikatan langsung dengan rekening nasabah
bank yang bersangkutan. Tetapi, untuk E-Money
ini ialah merupakan sebuah produk stored
value dimana terdapat sejumlah nilai uang tertentu yang tersimpan di kartu E-Money tersebut.
2.4 Pembahasan dan Batasan Masalah
Pembayaran
menggunakan transfer antar rekening bank semakin banyak menggantikan peran uang
dalam perdagangan dengan nilai transaksi besar, di sisi lain pembayaran
menggunakan kartu seperti kartu ATM, kartu debet, kartu kredit maupun E-Money mulai menggantikan peran uang
kartal dalam transaksi ritel (Lahdenpera, 2001).
Terkait
pengaruh penggunaan alat pembayaran non tunai yang makin masif, terdapat
perbedaan mengenai efektifitas kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank
sentral. Sebagian berpendapat bahwa penggunaan uang elektronik tidak akan
berpengaruh apa-apa. Para peneliti yang memiliki pendapat seperti ini ialah
Goodhart (2000), Friedman (2000) dan Woodford (2000).
Di
sisi lain, penggunaan alat pembayaran non tunai memiliki implikasi terhadap
permintaan uang yang diterbitkan bank sentral. Sehingga sedikit banyak akan
mempengaruhi efektifitas bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter
(Costa dan Grauwe, 2001). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Friedman (1999)
yang menyatakan bank sentral hanya menjadi petunjuk kondisi moneter tanpa mampu
menciptakan kestabilan moneter.
Atas
latar belakang perbedaan pandangan dari para peneliti dan ini menjadi salah
satu topik penting dan vital dalam makroekonomi di era uang elektronik, kami
akan mencoba untuk memberikan tambahan literasi tentang penggunaan alat
pembayaran non tunai terhadap efektifitas kebijakan moneter dengan studi kasus
di Indonesia.
ISI
2.1 Sekilas Sistem Pembayaran di
Indonesia
Pada
bagian ini, kami akan menampilkan bagaimana perkembangan sistem pembayaran di
Indonesia. Mengapa kami memasukan unsur tersebut di dalam kajian ini? Karena
sistem pembayaran merupakan sebuah sistem yang mengatur pemindahan dana dari
satu pihak ke pihak lain yang melibatkan berbagai lembaga yakni bank, lembaga
kliring dan sistem hukum. Sistem
pembayaran di Indonesia terdiri dari sistem pembayaran tunai dan non tunai.
Dalam sistem tunai, Bank Indonesia yang mengatur peredaran uang Rupiah dalam
betuk uang kertas dan koin. Di bidang sistem pembayaran non tunai, Bank
Indonesia mengatur sistem kliring antar bank. Sistem ini terbagi lagi menjadi
tiga. Yakni Systemically Important
Payment System (SIPS) yang mengelola transaksi dalam nilai yang besar.
Salah satu contohnya adalah Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement, lalu ada System Wide Important Payment System (SWIPS) yang merupakan sistem
pembayaran yang digunakan oleh masyarakat luas dan contohnya ialah Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan alat pembayaran menggunakan kartu.
2.2 Perkembangan Sistem Pembayaran
Non Tunai
Pada
sistem pembayaran BI-RTGS, terlihat dari data yang kami peroleh dari Bank
Indonesia sub divisi Sistem Pembayaran (dan juga keseluruhan data yang ada di
esai ini), bahwa ada tren kenaikan dalam penggunaan sistem BI-RTGS. Dengan
menggunakan sistem ini, penyelesaian transaksi terutama dalam nilai yang besar
dapat diselesaikan secara aman, cepat dan efisien. Hal ini semakin menunjukan
bahwa minat masyarakat terhadap penggunaan jasa pembayaran non tunai terutama
BI-RTGS semakin tinggi.
Grafik
1. Perkembangan Nilai Transaksi BI-RTGS
Setelah
mengetahui tren kenaikan dalam penggunaan sistem pembayaran non tunai
(BI-RTGS), kami juga melihat bahwa hal tersebut juga terjadi di pembayaran non
tunai yang lainnya seperti APMK (Alat Pembayaran Menggunakan Kartu) baik itu
APMK yang berkaitan dengan rekening tabungan nasabah (kartu ATM, Debit dan
Kredit) dan juga e-money.
Grafik
2. Perkembangan Transaksi Kartu Debet
Grafik
3. Perkembangan Transaksi Kartu Kredit
Seiring
dengan berkembangnya teknologi, ditambah dengan maraknya e-commerce yang mekanisme pembayaran barangnya mayoritas melalui
transfer bank. Maka tidak heran jika volume dan nilai transaksi dengan
menggunakan kartu melonjak tajam setidaknya dalam 6 tahun terakhir. Kenaikan
nilai transaksi menggunakan kartu debet naik sebesar 180,9% dan kenaikan volume
transaksinya mencapai 186%. Hal yang sama juga terjadi dengan transaksi kartu
kredit, dimana peningkatan nilai transaksi dari tahun 2009 sampai 2016 mencapai
105% dan pertumbuhan volume transaksi menyentuh 67%.
Grafik
4. Jumlah Transaksi Uang Elektronik
Fenomena
yang sama juga dialami oleh e-money baik
dari volume dan nominalnya juga mengalami trend kenaikan. Khusus dari tahun
2014, kenaikannya semakin fantastis dimana kenaikan volume penggunaan e-money meningkat drastis sebesar 2473%
dari tahun 2010 hingga tahun 2016. Hal tersebut diiringi dengan kenaikan volume
transaksi yang mencapai 920% dengan rentang waktu yang sama.
Dari
data yang kami paparkan mengenai penggunaan dan nilai transaksi menggunakan sistem
pembayaran non tunai, kami melihat bahwa dalam beberapa tahun terakhir
penggunaan alat pembayaran non tunai semakin dipilih masyarakat untuk melakukan
pembayaran transaksi barang dan jasa.
2.3 Dampak Penggunaan Alat
Pembayaran Non Tunai Terhadap Masyarakat
Di
pembahasan bagian akhir ini kami akan menggunakan pendekatan deskriptif untuk
melihat dampak pembayaran non tunai terhadap kebijakan moneter.
Seseorang
yang rasional akan cenderung menggunakan cara termudah dan termurah dalam
mencapai tujuannya. Begitu pula untuk memilih cara pembayaran suatu transaksi. Bayangkan,
jika ada seseorang yang ingin membayar suatu barang yang memiliki nilai
transaksi cukup besar, akan sangat tidak praktis jika seseorang membawa uang cash dalam penyelesaian transaksi
tersebut. Akan lebih mudah dan aman jika menggunakan sistem pembayaran non
tunai yang telah disediakan oleh Bank Indonesia. Ia hanya perlu ke mesin ATM
lalu mentrasferkan dananya kepada si penjual barang tersebut. Bahkan, jika ternyata
ia memiliki fasilitas internet atau mobile banking, maka transaksi bisa
diselesaikan lewat gadget tanpa harus
mengeluarkan banyak energi untuk pergi ke mesin ATM atau ke bank. Fenomena
tersebut akan kami gambarkan dengan kurva biaya di samping ini.
Dari
cerita di atas, terlihat bahwa sistem pembayaran non tunai memiliki manfaat
bagi para pelaku transaksi. Misalnya, ketika ia tidak perlu pergi ke ATM jika
memiliki intenet dan mobile banking, lalu transaksi dapat dilakukan lebih aman,
nyaman dan cepat. Sehingga wajar sekali dari berbagai data pembayaran
menggunakan uang non tunai memiliki kecenderungan yang meningkat. Oleh karena
itu, dengan adanya alat pembayaran non tunai tersebut berpotensi untuk
meningkatkan konsumsi masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan velocity of money.
2.4 Dampak Penggunaan Alat Non
Tunai Terhadap Kebijakan Moneter
Sudah
dijabarkan pada bagian sebelumnya dimana penggunaan alat pembayaran non tunai
semakin besar.. Hal ini menjadi polemik bagi bank sentral dalam menetapkan
kuantitas uang yang beredar di masayarakat lewat kebijakan moneter. Pada bagian
ini definisi uang elektronik ialah merupakan kartu ATM, debit dan kartu kredit.
E-money akan di bahas pada sub bagian
tersendiri. Lebih lanjut, perlu dilakukan kajian mengenai jenis golongan yang
mana alat pembayaran non tunai itu sendiri. Apakah masuk kedalam jenis uang
beredar dalam arti sempit (M1) atau dalam arti luas (M2). Komponen uang M1 dan
M2 jika menggunakan simbol menjadi seperti ini:
- M1: Uang kartal + Uang giral
-
M2: M1 + Uang kuasi
o
Dimana uang kuasi terdiri dari tabungan
dan deposito
Untuk
menjamin tingkat efektifitas kebijakan moneter, klasifikasi jenis uang akan
sangat penting. Dalam komponen jenis uang M2, terdapat variabel tabungan yang
menggunakan kartu ATM. Padahal, dengan adanya mesin ATM masyarakat bisa
sewaktu-waktu menarik uang tunai sehingga termasuk dalam uang kartal. Melihat
fakta yang seperti itu, mungkin perlu dipertimbangkan klasifikasi tabungan
menjadi M1.
Lalu, bagaimana dengan e-money yang memiliki perbedaan
karakterisrtik dengan alat pembayaran non tunai yang sudah disebutkan di awal?
Pada dasarnya, e-money merupakan nilai uang yang tersimpan (stored value) di dalam kartu namun tidak mengandung bunga dan biaya
admin rutin. Jika masyarakat tidak menggunakan e-money namun masih terdapat saldo, maka saldo tersebut disebut float atau merupakan kewajiban issuer (bank atau lembaga lainnya) atas e-money yang telah dikeluarkannya.
Float disini sifatnya sangat likuid, mirip dengan uang kartal ataupun giro. Selain
itu, pada Monetary and Financial
Statistic Manual 2000 disebutkan bahwa e-money
dikategorikan sebagai transferable
deposits (terdiri dari semua deposit yang dapat ditukarkan di harga par dan tanpa pinalti atau pembatasan,
serta dapat digunakan sebagai alat pembayaran secara langsung). Sehingga,
mungkin float disini bisa dimasukkan
kedalam perhitungan uang M1. Sehingga, komponen M1 menjadi:
M1: Uang
Kartal + Uang Giral + Float
Pengisian saldo e-money bisa di isi ulang (top
up) dengan setoran tunai maupun dari rekening tabungan. Jika penggunaan
cara pertama (setoran tunai) yang
dilakukan, maka tidak akan merubah
jumlah M1 namun perubahan terjadi pada posisi uang kartal (yang berkurang)
menjadi float yang bertambah.
Skenario kedua, jika nasabah melakukan top
up melalui tabungannya. Maka jumlah M1 akan bertambah karena
perpindahan dari uang tabungan (yang termasuk dalam M2) menjadi float yang merupakan uang M1. Alhasil uang M1 dan uang M2 tidak mengalami
perubahan.
Kemudian,
analisa pengaruh alat pembayaran non tunai terhadap kondisi moneter bisa
menggunakan analisa real money balance
approach. Karena dengan menggunakan pendekatan tersebut, dapat diketahui
daya beli uang dalam perekonomian dan juga untuk mengetahui pengaruh alat
pembayaran non tunai terhadap velocity of
money.
(M/P)d = k.Y (i),
dimana k adalah kontanta yang menyatakan berapa banyak uang tunai yang ditahan
dalam setiap pendapatan.
Dengan
mengasumiskan permintaan uang (M/P)d sama dengan penawaran uang
(M/P), maka persamaannya adalah:
(M/P) = k.Y (ii)
Dan
selanjutnya persamaan tersebut diubah menjadi:
M(1/k) = P.Y (iii)
atau M.V = P.Y (iv)
Jika
kita lihat dalam persamaan (iii) dan (iv) dimana V=1/k menjelaskan kaitan
antara permintaan uang dan perputaran uang dimana jika orang cenderung ingin
menahan uang tunai lebih banyak, maka nilai k akan besar. Begitu pua
sebaliknya.
Adanya
pembayaran non tunai diasumsikan sebagai salah satu faktor yang merubah fungsi
permintaan uang, dimana masyarakat akan cenderung untuk mengurangi uang tunai yang
ingin dipegang (karena bisa
menggunakan alat pembayaran menggunakan kartu, internet & mobil banking
sebagai subtitusi dari uang kartal) dan
kemudian akan menurunkan kontanta (k)
yang berarti akan meningkatkan velocity of money atau semakin
tingginya sirkulasi uang dalam perekonomian, ceteris paribus.
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan
kajian mengenai pengaruh alat pembayaran non tunai terhadap efektifias
kebijakan moneter bank sentral dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penggunaan
alat pembayaran non tunai di Indonesia mengalami peningkatan.
2. Dampak
dari penggunaan alat pembayaran non tunai bagi masyarakat ialah meningkatnya
efisiensi penggunaan waktu dan biaya.
3. Jumlah
M1 akan meningkat jika e-money diisi
melalui rekening tabungan namun juga bisa tetap jika pengisian e-money menggunakan setoran tunai atau
giro.
4. Dampak
penggunaan alat pembayaran non tunai tidak akan mempengaruhi efektifitas
kebijakan moneter jika variabel float dimasukkan
kedalam perhitungan M1.
5. Dengan
menggunakan pendekatan real money
balances approach, peningkatan penggunaan alat pembayaran non tunai akan
meningkatkan velocity of money.
B. Saran
Terkait dengan
semakin berkembangnya e-money baik
dari segi nilai transaksi maupun volume, sekiranya ada beberapa rekomendasi
dari kami kepada otoritas moneter. Yakni:
1. Melakukan
pembaharuan perhitungan agregat moneter dengan memasukan nilai uang e-money (float) di dalam jenis uang M1, sehingga perhitungan M1 menjadi:
M1 =
Uang Kartal + Uang Giral + float
Sedangkan M2 menjadi:
M2
= M1 + Uang Kuasi
2. Tujuan
dari rekomendasi tersebut ialah agar bank sentral tidak mengalami kendala kala
menentukan target kuantitas uang beredar, karena jumlah uang yang terdapat di e-money sudah diperhitungkan
3. Untuk
mendapatkan hasil analisa yang lebih baik, penggunaan uji empiris perlu
dilakukan. Sehingga hasil empiris bisa menggambarkan dampak penggunaan alat
pembayaran non tunai terhadap efektifitas kebijakan moneter dan perekonomian
pada umumnya.
Daftar Pustaka
Mankiw, Gregory.
2007. Macroeconomics. 6th ed. New
York and Basingstoke: Worth Publishers, pp: 75-107
Rothbard,
Murray. 1990. What Has Government Done to
Our Money?. Auburn: Praxeology Press of the Ludwig von Mises Institute, pp:
4-44
Ascarya. 2005. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter.
Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, pp:
13-22
Solikin, Suseno.
2005, UANG: Pengertian, Penciptaan, dan
Peranannya dalam Perekonomian. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, pp: 10-51
Pramono,
Bambang; Tri Yanuarti; Pipih. D. Purusitawati dan Yosefin Tyas Emmy. 2006: Dampak Pembayaran Non Tunai Terhadap
Perekonomian dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia Working Paper 09/2006
Poporska, Neda
dan Kammar. 2002: The Use of Electronic
Money and It’s Impact on Monetary Policy. JCEBI, Vol.1 (2014) No.2, pp.
79-92
Sardoni, Claudia
dan Alessandro Verde. 2002: The ‘IT
Revolution’ and Monetary System: Electronic Money and It’s Effects.
Dipartimentro Di Scienze Economiche, 12/14,
20-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar