Judul
: Sitti Nurbaya
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Angkatan : 1966
Tebal : 90 Halaman
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Angkatan : 1966
Tebal : 90 Halaman
SINOPSIS:
Hampir semua
kritikus sastra Indonesia menempatkan novel Sitti Nurbaya ini sebagai
karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Secara tematik, seperti
yang disinggung H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono,
maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar social lebih jelas,
tetapi juga mengandung kritik yang tajam terhadap adapt-istiadat dan tradisi
kolot yang membelenggu. Novel ini pula yang pertama kali menampilkan masalah
perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat, yang kemudian banyak
diikuti oleh pengarang-pengarang Indonesia sesudahnya.
Pada tahun 1969,
novel ini memperoleh hadiah penghargaan dari pemerintah Indonesia sebagai
hadiah tahunan yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus- kini Hadiah Tahunan
Pemerintah ini tidak dilanjutkan lagi.
Berbagai artikel
maupun makalah yang membahas novel ini sudah banyak ditulis oleh para pengamat
sastra Indonesia, baik dalam maupun luar negeri. Hingga kini, ulasannya masih
terus banyak dilakukan, baik dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia
modern, maupun dalam konteks social dan emansipasi wanita.
Di Malaysia, novel
ini terbit pula dalam edisi bahasa Melayu. Pada tahun 1963 saja, di Malaysia
itu, Sitti Nurbaya sudah mengalami cetak ulang ke-11. Untuk
pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan, novel ini merupakan salah satu
novel wajib.
Tahun 1991, TVRI
menyiarkan sinetron Sitti Nurbaya dengan pemeran utamanya
Novia Kolopaking (sebagai Sitti Nurbaya) dan Gusti Randa (sebagai Samsulbahri).
Inilah ringkasannya.
Sutan Mahmud Syah
termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal di Padang. Penghulu yang
sangat disegani dan dihormati penduduk disekitarnya itu, mempunyai putra
bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi dan berprilaku baik.
Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal seorang Saudagar kaya
bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga merupakan anak tunggal
keluarga kaya-raya itu.
Sebagaimana umumnya
kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga Sutan Mahmud Syah dan keluarga
Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik. Begitu pula hubungan Samsulbahri dan
Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia mereka menginjak remaja,
persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya belajar di sekolah yang sama.
Hubungan kedua remaja itu berkembang menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut
baru mereka sadari ketika Samsulbahri akan berangkat ke Jakarta untuk
melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk
Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan
kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap Baginda Sulaiman sebagai saingannya
yang harus disingkirkan, di samping rasa iri hatinya melihat harta kekayaan
ayah Sitti Nurbaya itu. “Aku sesungguhnya tidak senang melihat perniagan
Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing
dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia dijatuhkan,” demikian Datuk Meringgih
berkata (hlm. 92). Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk membakar dan
menghancurkan bangunan, took-toko, dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.
Akal busuk Datuk
Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh miskin. Namun, sejauh itu, ia
belum menyadari bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk
Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada
orang yang sebenarnya akan mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih
kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat “Pucuk dicinta ulam tiba”, karena memang
hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan licik itu,
kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat
dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk
Meringgih pun dating menagih janji.
Malang bagi Baginda
Sulaiman. Ia tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk Meringgih tidak mau
rugi. Tanpa belas kasihan, ia akan mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman
jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan
untuk dijadikan istri mudanya.
Baginda Sulaiman
tentu saja tidak mau putrid tunggalnya menjadi korban lelaki hidung belang itu
walaupun sbenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa
dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan
siap menjalsni hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya
dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak
dipenjarakan. Suatu putusan yang kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya pada
penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri,
mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat surat Sitti Nurbaya,
juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja ia
lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke Padang, dan menyempatkan
diri menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya
pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun
bertemu lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Ketika mereka sedang
asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat Meringgih yang culas dan
selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua orang itu telah melakukan
perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang tidak merasa tidak melakukan hal
yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu. Pertengkaran pun
tak dapat dihindarkan.
Pada saat
pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke tempat kejadian.
Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari tangga hingga menemui
ajalnya.
Ternyata ekor
perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri yang merasa maluatas
tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda
itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti Nurbaya, sejak ayahnya
meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh
kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah
seorang familinya yang bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti
Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun, akibat tipu muslihat
dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri harta perhiasan
bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti
Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih
masih juga belum puas. Ia kemudian menyuruh seseorang untuk meracun Sitti
Nurbaya. Kali ini, perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena
keracunan.
Rupanya, berita
kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. Ia kemudian jatuh sakit,
dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.
Berita kematian
Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke Jakarta. Samsulbahri yang
merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh diri. Beruntung, temannya, Arifin,
dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri. Namun, lain lagi berita yang
sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri dikabarkan telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun
berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni dengan pangkat letnan.
Ia juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas. Sebenarnya, ia menjadi
serdadu kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada kompeni, melainkan
terdorong oleh rasa frustasinya mendengar orang-orang yang dicintainya telah
meninggal. Oleh karena itu, ia sempat bimbang juga ketika mendapat tugas harus
memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang terjadi di Padang.
Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata
pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran
melawan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat perlawanan cukup sengit. Namun,
akhirnya ia berhasil menumpasnya, termasuk juga menembak Datuk Meringgih,
hingga dalang pemberontak itu tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena
sabetan pedang Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala
Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia terpaksa dirawat dirumah sakit.
Pada saat itulah timbul keinginan Letnan Mas untuk berjumpa dengan ayahnya. Ternyata,
pertemuan yang mengharukan antara “Si anak yang hilang” dan ayahnya itu
merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu. Oleh karena
setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia Samsulbahri, ia mengembuskan napas di
depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri
yang dikiranya telah meninggal beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek
kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal dunia pada keesokan harinya.
Sumber :
http://dhijeyjuliana.blogspot.com/2013/11/sinopsis-novel-angkatan-66-berjudul.html
Nama Anggota Kelompok
:
- ALRIZKY PUTRA LAKSONO
- FAHMI TRINANDA DALIMUNTHE
- FELIX DARMAWAN
- IFANNUR ASHARI
- MUHAMMAD ARIF HARYADI
Kelas: 1EA21
- MUHAMMAD ARIF HARYADI
Kelas: 1EA21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar