Landasan Teori
Ekonomi Kependudukan
Secara umum, terdapat beberapa pandangan atau mahzab
mengenai hubungan jumlah populasi dengan pertumbuhan ekonomi. Yakni paham
pesismistis dimana menurut kaum yang memiliki pandangan ini, bahwa dengan
meningkatnya jumlah penduduk akan menahan pertumbuhan ekonomi. Salah satu tokoh
yang terkenal dalam golongan ini ialah Thomas Malthus yang dalam bukunya tahun
1790an menulis bahwa pertumbuhan produksi makanan diibaratkan dengan deret
hitung dan disisi lain pertumbuhan jumlah manusia diibaratkan dengan deret
ukur. Maka di suatu titik, manusia akan mengalami kelaparan masal dan tingkat kematian
akan meningkat tajam. Pada intinya, kelompok pesimistis ini memandang bahwa
peningkatan jumlah penduduk akan membebani perekonomian pada umumnya. Mahzab
yang kedua yakni kaum optimis dimana mereka percaya bahwa pertumbuhan jumlah
penduduk menjadi “bahan bakar” untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Mahzab
ini muncul ketika teori Malthus tentang bencana kelaparan tidak terjadi ketika
jumlah penduduk meningkat drastis. Hal tersebut bisa terjadi karena
perkembangan teknologi pangan dan industri meningkat secara pesat dalam sejarah
manusia (Amartya Sen, 1999). Selain itu, Simon Kuznets dan Julian Simon (1967)
memandang bahwa manusia merupakan aset ekonomi, dimana semakin besar jumlah
penduduk maka akan meningkat pula kecerdasan dan kreatifitas manusia untuk membuat inovasi yang membuat
pertumbuhan ekonomi semakin pesat. Pandangan yang terakhir yakni kaum yang
netralis yang menganggap bahwa jumlah penduduk tidak memiliki dampak yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Beberapa ekonom (David, E Bloo, David
Canning dan Jaypee Sevilla, 2000) telah melakukan analisis mengenai pengaruh
antara populasi dengan pertumbuhan ekonomi, namun hasilnya adalah jumlah
penduduk hanya berpengaruh kecil atau tidak signifkan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Karena ternyata ada beberapa faktor lain seperti ukuran negara,
keterbukaan terhadap perdagangan bebas, pendidikan dan kesehatan masyarakat serta kualitas
orang-orang di pemerintahan yang membuat bahwa hubungan antara jumlah penduduk
dengan pertumbuhan ekonomi tidak signifikan secara general.[1]
Sehingga dengan adanya hasil penelitian ini melahirkan golongan yang ketiga: population neutralism.
Pada dasarnya, ketiga teori atau paham tentang
hubungan antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi memiliki asumsi
dasar yang berbeda. Pada teori pesimis cenderung mengabaikan proses
industrialisasi, di sisi kaum optimis memandang bahwa adanya proses
industrialisasi berbasis padat karya dengan memberdayakan potensi penduduknya.
Dari ketiga pandangan tersebut, bahwa ada kecenderungan
untuk mengabaikan ukuran dari perubahan struktur demografi, yakni struktur umur
penduduk.[2]
Ekonom hanya fokus terhadap angka pertumbuhan penduduk saja, tanpa
memperhatikan perubahan distribusi kelompok umur[3]. Padahal, pola perilaku di masing-masing
kelompok umur memiliki pola yang berbeda satu sama lain. Golongan muda non
produktif (<15 tahun) membutuhkan pengeluaran di sektor kesehatan dan
pendidikan, kelompok usia produktif (15-64 tahun) yang menghasilkan pendapatan
kemudian menanggung biaya dari usia non-produktif dan menghasilkan tabungan,
dan kelompok usia tua non produktif (>64 tahun) membutuhkan jaminan sosial
kesehatan dan uang pensiunan. Gambar di bawah ini menjelaskan siklus konsumsi
dan pendapatan sesuai dengan tingkat umur manusia.
Gambar 1 - Siklus
Pendapatan dan Pengeluaran Berdasarkan Umur. Sumber: The Demographic Dividend (2002) hlm 21
Dari grafik tersebut, terlihat bahwa manusia sudah
melakukan pengeluaran untuk kebutuhan hidupnya bahkan sejak lahir di dunia ini
(ditandai dengan garis horizontal consumption)
sampai ia meninggal. Tetapi, hanya penduduk di usia produktif lah yang
mendapatkan pendapatan karena pada saat itulah mereka sedang dalam masa-masa
dimana sanggup dan mampu bekerja dan berarti mereka jugalah yang menanggung biaya hidup dari usia non
produktif baik yang belum produktif (<15 tahun) dan sudah tidak produktif (>64
tahun). Sehingga, dari sinilah muncul istilah dependecy ratio atau rasio ketergantungan yang merupakan salah satu ukuran suatu negara digolongkan sebagai
negara maju atau negara berkembang. Semakin tinggi angka dependency ratio maka semakin tinggi beban yang ditanggung oleh
penduduk usia produktif untuk membiayai kehidupan penduduk non-produktif.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah angka dependency ratio, maka semakin
rendah pula tanggungan penduduk usia produktif terhadap biaya hidup usia yang
sudah tidak atau belum produktif.
Bonus Demografi memiliki dampak yang sangat
signifikan bagi variabel-variabel dalam perekonomian dan yang paling penting
ialah tenaga kerja, tabungan dan human
capital.
\\\\\\\\
Suplai Tenaga
Kerja
Ketika suatu negara mengalami bonus demografi, maka
jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih banyak dan di sisi lain
hal ini akan meningkatkan suplai tenaga kerja di labour market dan apabila seluruh tenaga kerja terserap akibat dari
banyaknya industri yang membuka pabrik, maka produksi domestik bruto akan
meningkat dan begitu pula dengan pendapatan per kapitanya. Kemudian, karena
jumlah anak-anak di masa ini lebih sedikit sehingga membuka kesempatan bagi
para wanita rumah tangga untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Sehingga pendapatan
dalam keluarga akan lebih tinggi dan besaran tabungan (yang merupakan dampak
nomor dua) juga cenderung meningkat (ceteris
paribus).
2.
Tabungan
Bonus demografi juga dapat meningkatkan jumlah
tabungan dimana hal tersebut akan meningkatkan investasi di sebuah negara (Saving=Investment). Karena akibat dari peningkatan tabungan ini akan
cenderung menurunkan tingkat bunga. Hubungan antara tingkat bunga dengan
investasi adalah berbanding terbalik, ketika tingkat bunga turun maka investasi
akan meningkat.[4] Kemudian jika investasi
yang tinggi dikombinasikan dengan suplai tenaga kerja, hasilnya perekonomian
suatu negara yang mengalami bonus demografi akan mencapai output tertingginya
dan juga jumlah tabungan akan meningkat pula (Higgns, 1998; Hinggins and
Williamson, 1997; Kelly and Schmidt, 1996; Lee, Mason, and Miller, 2000; Leff,
1969; Mason, 1988; Webb and Zia, 1990).
3.
Human Capital
Kemudian dampak dari bonus demografi yang ketiga
ialah human capital. Transisi
demografi ini berawal dari angka mortalitas menurun dan meningkatkan tingkat
kesehatan sehingga life expectancy juga
lebih panjang. Ditambah dengan pendapatan yang tinggi membuat orang-orang
menginvestasikan uangnya untuk pendidikan dan kesehatan sehingga menghasilkan tenaga
kerja yang memiliki skill tinggi dan lebih produktif, akibatnya pendapatan akan
meningkat dan standar hidupnya akan lebih baik (International Labour Office, 1996;
Bloom, Canning, and Sevilla, 2001).
Tetapi, kontingensi seperti itu sangat tergantung
dari kebijakan pemerintah. Jika kebijakan pemerintah adalah bertujuan untuk
menstimulir kegiatan investasi, maka melimpahnya jumlah tenaga kerja bisa
terakomodir sehingga produktifitas nasional bisa meningkat. Selain itu,
pemerintah juga memiliki peran yang penting untuk menciptakan lingkungan atau
fasilitas pendidikan dan kesehatan guna memanfaatkan momentum bonus demografi
ini.
Sekilas Pandang Kondisi
Demografi di Indonesia
Setelah kita membahas teori dan berbagai penelitian
yang dilakukan dalam ekonomi kependudukan, di bagian ini akan lebih banyak
dibahas mengenai kondisi demografi di Indonesia dari periode orde baru, saat
ini dan proyeksi di masa depan.
Definisi bonus demografi menurut Badan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) merupakan suatu bonus yang dinikmati suatu negara akibat
dari besarnya proporsi penduduk produktif (usia 15-64 tahun) jika dibandingkan
dengan usia non-produktif (0-15 tahun dan 64 tahun ke atas).
Transisi demografi tersebut dapat dicapai oleh
Indonesia berkat keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Keberhasilan
program ini dapat dilihat dari perbandingan sensus penduduk tahun 2000 dimana
jumlah penduduk berusia di bawah 15 tahun berjumlah sekitar 65 juta jiwa, tidak
bertambah secara signifikan jika kita melihat hasil sensus penduduk tahun 1970
yang jumlahnya sekitar 60 juta jiwa. Untuk jumlah penduduk di usia produktif,
pada sensus penduduk tahun 1970 berjumlah sekitar 65 juta jiwa dan pada tahun
2000 jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat, dimana jumlah penduduk usia
produktif menjadi sekitar 135 juta jiwa[5].
Pada sensus penduduk yang teranyar (2010), jumlah usia produktif meningkat
menjadi 140 juta jiwa, sedangkan pertumbuhan usia di bawah 15 tahun juga
bertambah namun tidak secepat pertambahan usia produktif, yakni sebanyak 67
juta jiwa[6].
Selain itu, jika kita melihat angka rasio
ketergantungan atau dependency ratio Indonesia
dari tahun sensus tahun 1970 hingga sensus terbaru tahun 2010 menunjukan tren
yang menurun. Dimana pada tahun 1970 dependency
ratio mencapai sekitar 80 per 100 orang, lalu pada sensus 2000 menjadi
sekitar 54-55 per 100, kemudian di angka 50,5 per 100 di tahun 2010 dan Badan
Pusat Statistik memproyeksikan pada tahun 2035 menjadi 47,3 per 100[7]
yang berarti, di masa kini dan masa depan, usia produktif akan menanggung biaya
yang lebih sedikit untuk menanggung biaya hidup usia non produktif sehingga
tabungan usia penduduk produktif semakin besar dan ini akan memacu investasi,
karena jumlah tabungan sama dengan jumlah investasi[8]
dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan berkaselerasi lebih cepat. Sehingga,
kondisi tersebut sering disebut dengan windows
of opportunity atau jendela peluang bagi sebuah negara untuk memacu
pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan porsi industri manufaktur atau jasa yang
memiliki nilai tambah lebih banyak atau juga usaha mikro kecil menengah karena
pada saat bonus demografi inilah tersedia tenaga kerja yang melimpah dan
membuat pendapatan per kapita negara tersebut meningkat berkali-kali lipat. Di
sisi lain, bonus demografi ini membawa efek samping yakni meledaknya jumlah
penduduk usia tua dimana pada saat yang bersamaan transisi usia muda (di bawah
15 tahun) untuk menjadi usia produktif belum sepenuhnya sempurna sehingga
tabungan dari usia produktif dialihkan kepada dana jaminan sosial sehingga
investasi mengalami stagnasi (Adioetomo, 2005).
Gambar 3 - Proyeksi Demografi
Indonesia. Sumber: Badan Pusat Statistik dan UN Statistics
Pada data BPS tentang struktur penduduk Indonesia
tahun 2012, penduduk dewasa dan produktif mendominasi struktur penduduk Indonesia
dengan angka di kisaran 53%. Dimana pada kelompok usia non-produktif seperti
usia anak sekolah dan balita mencapai 40 persen dan kelompok lansia di kisaran
7 persen. Namun, hal ini tidak akan berlangsung lama, karena setelah tahun 2030
angka ketergantungan akan meningkat karena jumlah penduduk usia tua semakin
banyak (lihat gambar 3).
Jika kita melihat perubahan piramida penduduk
Indonesia pada gambar 4, terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana
penduduk di usia produktif semakin banyak di tahun 2010. Hal ini merupakan
sebuah indikator keberhasilan program Keluarga Berencana yang berhasil menahan
pertumbuhan jumlah penduduk anak-anak (<15 tahun) dan disaat yang bersamaan
penduduk usia produktif juga bertambah (yang ditandai oleh gemuknya bentuk
piramida bagian tengah).
Gambar 4 - Piramida
Penduduk Indonesia 1961-2010. Sumber: slideshare
Strategi Pembangunan Nasional, Dadang Solihin, 2012
Korelasi Antara
Jumlah Penduduk Indonesia dan Pertumbuhan Ekonomi
Pada dasarnya perekonomian Indonesia sejak tahun
1997 hingga 2012 tumbuh di bawah rata-rata potensi pertumbuhan ekonomi
Indonesia karena perekonomian paska krisis didominasi oleh kehilangan permanen
dalam output perekonomian atau permanent
output loss (POL) (Wasisto, 2015). Permanent
output loss ialah kondisi proyeksi ekonomi yang cenderung mengarah pada
penurunan tren pertumbuhan ekonomi karena minimnya penyerapan kapital (Cerra
2008, 442). Kondisi pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh POL merupakan
implikasi dari resep kebijakan penghematan dari IMF sehingga Pemerintahan
Indonesia mengurangi belanja fiskal dan menyebabkan perekonomian terperangkap
ke dalam permanent output loss (Friedrich,
2011). Hal tersebut kemudian membuat pemerintah mengurangi pembiayaan pada
sektor yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat (seperti infrastruktur)
sehingga industri dalam negeri tidak atau sulit berkembang sehingga banyak
tenaga kerja yang tidak dapat terserap.
Kondisi makro ekonomi Indonesia juga sepertinya
masih belum bisa dikatakan mampu untuk mengakomodir bonus demografi pada tahun
2020-2030 nanti. Beberapa indikator ekonomi belum sepenuhnya mencerminkan bahwa
Indonesia siap untuk menyongsong bonus yang hadir mungkin hanya satu kali dalam
sejarah suatu bangsa, misalnya dari Indeks PMI Manufaktur yang menggambarkan aktifitas perekonomian di
suatu negara. Jika PMI diatas 50%, berarti sektor industri berada dalam
ekspansi dan jika PMI dibawah 50%, maka sektor industri berada dalam status
resesi atau melambat.
Gambar 5 – Indeks PMI Indonesia 2013-2017. Sumber:
tradingeconomics.com
Jika melihat tren perkembangan indeks PMI ini,
kegiatan sektor industri Indonesia masih belum menunjukan ekspansi yang
signifikan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara berbasis industri. Hal ini
tentu harus menjadi perhatian bagi pemerintah karena pada masa bonus demografi
Indonesia akan memiliki labour supply yang
melimpah dan apabila proses industrialisasi stagnan, maka potensi peningkatan
pengangguran akan sangat terbuka selain hilangnya kesempatan Indonesia untuk
memanfaatkan window of opportunity yang
langka ini.
Itu merupakan sudut pandang dari sisi industri, lalu
bagaimana dengan kesiapan atau kapabilitas tenaga kerja itu sendiri?
Pada struktur ketenagakerjaan Indonesia, terdapat
sekitar 44 juta orang yang bekerja di sektor formal (40 persen) dan sekitar 66
juta orang bekerja pada sektor informal (60 persen). Tingkat pendidikan tenaga
kerja masih didominasi oleh pekerja berpendidikan rendah dimana ada 54 juta
orang (49 persen) merupakan tamatan sekolah dasar dan sekolah menegah pertama
mencapai sekitar 20 juta orang atau 18 persen. Sedangkan pekerja yang
berpendidikan tinggi hanya sekitar 10 juta orang saja atau 9 persen.[9] Karena
mayoritas tenaga kerja termasuk kedalam golongan unskilled workers maka akan ada kecenderungan untuk dibayar murah
sehingga akan mengakibatkan kesejahteraan yang menurun.
Tingkat tabungan masyarakat Indonesia juga tidak
terlalu tinggi, yakni dikisaran 44 persen pada tahun 2009 menurut data Bank
Dunia. Rasio rekening tabungan masyarakat sebanyak 504 per 1000 orang. Masih
sedikitnya nominal tabungan penduduk Indonesia di bank karena ada kecenderungan
bagi mereka untuk menginvestasikan hartanya berupa ruma, tanah, emas yang
nilainya dianggap lebih stabil (Bank Dunia, 2009). Sehingga investasi yang
dilakukan di Indonesia akan sulit jika hanya mengandalkan perbankan.
Pemanfaatan bonus demografi dari sisi produksi dan
industrialisasi masih menemui banyak hambatan, lalu bagaimana jika ditinjau
dari segi konsumsi? Tiga indikator yang mencerminkan kondisi konsumsi
masyarakat di Indonesia menunjukan tren yang membuat kita optimis bahwa bonus
demografi melalui peningkatan tingkat konsumsi memiliki dampak terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Gambar 6 –
Kredit Konsumer. Sumber: tradingeconomics.com
Gambar 7 –
Keyakinan Konsumen. Sumber: tradingeconomics.com
Gambar 8 –
Belanja Konsumen. Sumber: tradingeconomics.com
Kesimpulan
Persiapan Indonesia untuk menyongsong bonus
demografi nanti nampaknya belum dilakukan secara maksimal. Terutama dari sisi
produksi dan industri. Terlihat dari hal-hal yang bersifat fundamental seperti
rasio pekerjaan di sektor informal masih lebih tinggi dibandingkan dengan
sektor formal, lalu juga dari sisi human
capital dimana sumber daya manusia di pasar tenaga kerja yang mayoritasnya
masih merupakan tamatan sekolah dasar-menengah. Kondisi tersebut belumlah kuat
untuk menjadi modal Indonesia guna menyambut kesempatan yang hanya 1 kali dalam
sejarah. Tetapi, pertumbuhan penduduk memberikan kontribusi yang cukup
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yakni sekitar 55 persen dari produk
domestik bruto. Namun, jika pemerintah hanya mengandalkan konsumsi dari
masyarakat saja, Indonesia akan terjebak dalam golongan middle income trap.
Dari kasus bonus demografi di Indonesia, jika
dikaitkan dengan teori ekonomi kependudukan maka bisa termasuk mahzab yang
pesimis (dari segi produksi) dan optimis (dari segi konsumsi) sekaligus.
Untuk menghadapi kondisi yang vital bagi kehidupan
bangsa ini di masa depan. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas penunjang
seperti pendidikan dan kesehatan. Sehingga, ketika masa bonus demografi
tersebut tiba, sumber daya manusia sudah memiliki kompetensi untuk mempercepat
produksi domestik nasional. Untuk mengakomodir tenaga kerja yang ada, maka
iklim usaha harus dijaga di level yang baik agar semakin banyak industri yang
menanamkan modalnya di Indonesia. Ketika investasi di Indonesia semakin marak,
maka diperlukan juga tabungan nasional dimana dalam kasus di Asia Timur pada
masa bonus demografi tingkat tabungan masyarakat menjadi andalan dalam
melakukan pembiayaan investasi. Program Inkulsi Keuangan dari Otoritas Jasa
Keuangan diharapkan bisa meningkatkan jumlah tabungan masyarakat, karena dengan
program ini masyarakat yang pada awalnya belum tersentuh produk perbankan
menjadi paham dan akhirnya ikut andil dalam proporsi tabungan nasional.
Sehingga, apabila pemerintah dapat menjalankan
hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia serta peningkatan
proses industrialisasi, maka Indonesia akan menjadi negara dengan pendapatan
per kapita tinggi dengan memanfaatkan bonus demografi ini. Apabila gagal
memanfaatkannya, maka Indonesia berpeluang besar untuk menjadi negara middle income trap.
[1]
Perhitungan yang dilakukan oleh David,
E Bloo, David Canning dan Jaypee Sevilla (2000) adalah pengalaman berbagai
negara. Peforma ekonomi suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
[2] David E.
Bloom, David Canning dan Jaypee Sevilla, The
Demographic Dividend, Population Matters, Pittsburgh, hlm. 20
[3] Kelompok
umur non-produktif (<15 tahun dan >64 tahun) dan umur produktif (15-64
tahun)
[4] Mankiw, Macroeconomics, Worth Publishers, New York, 2007, hlm.65
[5] https://www.bps.go.id/Brs/view/id/283
[6] https://sp2010.bps.go.id/
[7] https://bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1275
[8] Mankiw,
Op.cit. hlm 65
[9] https://bps.go.id/Subjek/view/id/6#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1
Daftar Referensi
- Birdsal, Nancy; Allen Kelley; and Steven Sinding,
2001. Population Matters. New York:
Oxford University Press
- Schultz, Paul; John Strauss, 2008: Handbook of Development Economics.
Amsterdam: Elsevier B.V
- Bloom,
David; David Canning; Jaypee Sevilla, 2003:
The Demographic Dividend. Pittsburg: RAND
- Clark, Gregory and Gillian Hamilton, 2006: Survival of the Richest: The Malthusian
Mechanism in Pre-Industrial England. The Economic History Association.
- Hirschman, Charles, 1984: Economics of Population. Chicago: The University Of Chicago Press
Journals
- Adioetomo, Sri Moertiningsih. 2005: Bonus Demografi: Hubungan antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi.
Jakarta: BKKBN
- Badan Pusat Statistik. 2012: Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 28 Maret 2017
- Bank Dunia, 2009. Indonesia 2014 and Beyond: A Selective Look. Jakarta: Bank Dunia.
Diakses tanggal 28 Maret 2017
- Friedrich Ebert Stiftung. 2011: Economy of Tomorrow: Indonesia. Yogyakarta: UAJY Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar