Sabtu, 08 April 2017

Menyongsong Indonesia Emas 2045: Bonus Demografi sebagai Katalisator Pembangunan Ekonomi Republik Indonesia

Landasan Teori Ekonomi Kependudukan

Secara umum, terdapat beberapa pandangan atau mahzab mengenai hubungan jumlah populasi dengan pertumbuhan ekonomi. Yakni paham pesismistis dimana menurut kaum yang memiliki pandangan ini, bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk akan menahan pertumbuhan ekonomi. Salah satu tokoh yang terkenal dalam golongan ini ialah Thomas Malthus yang dalam bukunya tahun 1790an menulis bahwa pertumbuhan produksi makanan diibaratkan dengan deret hitung dan disisi lain pertumbuhan jumlah manusia diibaratkan dengan deret ukur. Maka di suatu titik, manusia akan mengalami kelaparan masal dan tingkat kematian akan meningkat tajam. Pada intinya, kelompok pesimistis ini memandang bahwa peningkatan jumlah penduduk akan membebani perekonomian pada umumnya. Mahzab yang kedua yakni kaum optimis dimana mereka percaya bahwa pertumbuhan jumlah penduduk menjadi “bahan bakar” untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Mahzab ini muncul ketika teori Malthus tentang bencana kelaparan tidak terjadi ketika jumlah penduduk meningkat drastis. Hal tersebut bisa terjadi karena perkembangan teknologi pangan dan industri meningkat secara pesat dalam sejarah manusia (Amartya Sen, 1999). Selain itu, Simon Kuznets dan Julian Simon (1967) memandang bahwa manusia merupakan aset ekonomi, dimana semakin besar jumlah penduduk maka akan meningkat pula kecerdasan dan kreatifitas manusia  untuk membuat inovasi yang membuat pertumbuhan ekonomi semakin pesat. Pandangan yang terakhir yakni kaum yang netralis yang menganggap bahwa jumlah penduduk tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Beberapa ekonom (David, E Bloo, David Canning dan Jaypee Sevilla, 2000) telah melakukan analisis mengenai pengaruh antara populasi dengan pertumbuhan ekonomi, namun hasilnya adalah jumlah penduduk hanya berpengaruh kecil atau tidak signifkan terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata ada beberapa faktor lain seperti ukuran negara, keterbukaan terhadap perdagangan bebas, pendidikan  dan kesehatan masyarakat serta kualitas orang-orang di pemerintahan yang membuat bahwa hubungan antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi tidak signifikan secara general.[1] Sehingga dengan adanya hasil penelitian ini melahirkan golongan yang ketiga: population neutralism.

Pada dasarnya, ketiga teori atau paham tentang hubungan antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi memiliki asumsi dasar yang berbeda. Pada teori pesimis cenderung mengabaikan proses industrialisasi, di sisi kaum optimis memandang bahwa adanya proses industrialisasi berbasis padat karya dengan memberdayakan potensi penduduknya.

Dari ketiga pandangan tersebut, bahwa ada kecenderungan untuk mengabaikan ukuran dari perubahan struktur demografi, yakni struktur umur penduduk.[2] Ekonom hanya fokus terhadap angka pertumbuhan penduduk saja, tanpa memperhatikan perubahan distribusi kelompok umur[3].  Padahal, pola perilaku di masing-masing kelompok umur memiliki pola yang berbeda satu sama lain. Golongan muda non produktif (<15 tahun) membutuhkan pengeluaran di sektor kesehatan dan pendidikan, kelompok usia produktif (15-64 tahun) yang menghasilkan pendapatan kemudian menanggung biaya dari usia non-produktif dan menghasilkan tabungan, dan kelompok usia tua non produktif (>64 tahun) membutuhkan jaminan sosial kesehatan dan uang pensiunan. Gambar di bawah ini menjelaskan siklus konsumsi dan pendapatan sesuai dengan tingkat umur manusia.


Gambar 1 - Siklus Pendapatan dan Pengeluaran Berdasarkan Umur. Sumber: The Demographic Dividend (2002) hlm 21

Dari grafik tersebut, terlihat bahwa manusia sudah melakukan pengeluaran untuk kebutuhan hidupnya bahkan sejak lahir di dunia ini (ditandai dengan garis horizontal consumption) sampai ia meninggal. Tetapi, hanya penduduk di usia produktif lah yang mendapatkan pendapatan karena pada saat itulah mereka sedang dalam masa-masa dimana sanggup dan mampu bekerja dan berarti mereka jugalah yang  menanggung biaya hidup dari usia non produktif baik yang belum produktif (<15 tahun) dan sudah tidak produktif (>64 tahun). Sehingga, dari sinilah muncul istilah dependecy ratio atau rasio ketergantungan yang merupakan salah satu ukuran suatu negara digolongkan sebagai negara maju atau negara berkembang. Semakin tinggi angka dependency ratio maka semakin tinggi beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk membiayai kehidupan penduduk non-produktif. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah angka dependency ratio, maka semakin rendah pula tanggungan penduduk usia produktif terhadap biaya hidup usia yang sudah tidak atau belum produktif.

Bonus Demografi memiliki dampak yang sangat signifikan bagi variabel-variabel dalam perekonomian dan yang paling penting ialah tenaga kerja, tabungan dan human capital.


\\\\\\\\

            Suplai Tenaga Kerja
Ketika suatu negara mengalami bonus demografi, maka jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih banyak dan di sisi lain hal ini akan meningkatkan suplai tenaga kerja di labour market dan apabila seluruh tenaga kerja terserap akibat dari banyaknya industri yang membuka pabrik, maka produksi domestik bruto akan meningkat dan begitu pula dengan pendapatan per kapitanya. Kemudian, karena jumlah anak-anak di masa ini lebih sedikit sehingga membuka kesempatan bagi para wanita rumah tangga untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Sehingga pendapatan dalam keluarga akan lebih tinggi dan besaran tabungan (yang merupakan dampak nomor dua) juga cenderung meningkat (ceteris paribus).

2.      Tabungan
Bonus demografi juga dapat meningkatkan jumlah tabungan dimana hal tersebut akan meningkatkan investasi di sebuah negara (Saving=Investment). Karena akibat dari peningkatan tabungan ini akan cenderung menurunkan tingkat bunga. Hubungan antara tingkat bunga dengan investasi adalah berbanding terbalik, ketika tingkat bunga turun maka investasi akan meningkat.[4] Kemudian jika investasi yang tinggi dikombinasikan dengan suplai tenaga kerja, hasilnya perekonomian suatu negara yang mengalami bonus demografi akan mencapai output tertingginya dan juga jumlah tabungan akan meningkat pula (Higgns, 1998; Hinggins and Williamson, 1997; Kelly and Schmidt, 1996; Lee, Mason, and Miller, 2000; Leff, 1969; Mason, 1988; Webb and Zia, 1990).

3.      Human Capital
Kemudian dampak dari bonus demografi yang ketiga ialah human capital. Transisi demografi ini berawal dari angka mortalitas menurun dan meningkatkan tingkat kesehatan sehingga life expectancy juga lebih panjang. Ditambah dengan pendapatan yang tinggi membuat orang-orang menginvestasikan uangnya untuk pendidikan dan kesehatan sehingga menghasilkan tenaga kerja yang memiliki skill tinggi dan lebih produktif, akibatnya pendapatan akan meningkat dan standar hidupnya akan lebih baik (International Labour Office, 1996; Bloom, Canning, and Sevilla, 2001).

Tetapi, kontingensi seperti itu sangat tergantung dari kebijakan pemerintah. Jika kebijakan pemerintah adalah bertujuan untuk menstimulir kegiatan investasi, maka melimpahnya jumlah tenaga kerja bisa terakomodir sehingga produktifitas nasional bisa meningkat. Selain itu, pemerintah juga memiliki peran yang penting untuk menciptakan lingkungan atau fasilitas pendidikan dan kesehatan guna memanfaatkan momentum bonus demografi ini.

Sekilas Pandang Kondisi Demografi di Indonesia

Setelah kita membahas teori dan berbagai penelitian yang dilakukan dalam ekonomi kependudukan, di bagian ini akan lebih banyak dibahas mengenai kondisi demografi di Indonesia dari periode orde baru, saat ini dan proyeksi di masa depan.

Definisi bonus demografi menurut Badan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merupakan suatu bonus yang dinikmati suatu negara akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (usia 15-64 tahun) jika dibandingkan dengan usia non-produktif (0-15 tahun dan 64 tahun ke atas).

Transisi demografi tersebut dapat dicapai oleh Indonesia berkat keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Keberhasilan program ini dapat dilihat dari perbandingan sensus penduduk tahun 2000 dimana jumlah penduduk berusia di bawah 15 tahun berjumlah sekitar 65 juta jiwa, tidak bertambah secara signifikan jika kita melihat hasil sensus penduduk tahun 1970 yang jumlahnya sekitar 60 juta jiwa. Untuk jumlah penduduk di usia produktif, pada sensus penduduk tahun 1970 berjumlah sekitar 65 juta jiwa dan pada tahun 2000 jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat, dimana jumlah penduduk usia produktif menjadi sekitar 135 juta jiwa[5]. Pada sensus penduduk yang teranyar (2010), jumlah usia produktif meningkat menjadi 140 juta jiwa, sedangkan pertumbuhan usia di bawah 15 tahun juga bertambah namun tidak secepat pertambahan usia produktif, yakni sebanyak 67 juta jiwa[6].

Selain itu, jika kita melihat angka rasio ketergantungan atau dependency ratio Indonesia dari tahun sensus tahun 1970 hingga sensus terbaru tahun 2010 menunjukan tren yang menurun. Dimana pada tahun 1970 dependency ratio mencapai sekitar 80 per 100 orang, lalu pada sensus 2000 menjadi sekitar 54-55 per 100, kemudian di angka 50,5 per 100 di tahun 2010 dan Badan Pusat Statistik memproyeksikan pada tahun 2035 menjadi 47,3 per 100[7] yang berarti, di masa kini dan masa depan, usia produktif akan menanggung biaya yang lebih sedikit untuk menanggung biaya hidup usia non produktif sehingga tabungan usia penduduk produktif semakin besar dan ini akan memacu investasi, karena jumlah tabungan sama dengan jumlah investasi[8] dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan berkaselerasi lebih cepat. Sehingga, kondisi tersebut sering disebut dengan windows of opportunity atau jendela peluang bagi sebuah negara untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan porsi industri manufaktur atau jasa yang memiliki nilai tambah lebih banyak atau juga usaha mikro kecil menengah karena pada saat bonus demografi inilah tersedia tenaga kerja yang melimpah dan membuat pendapatan per kapita negara tersebut meningkat berkali-kali lipat. Di sisi lain, bonus demografi ini membawa efek samping yakni meledaknya jumlah penduduk usia tua dimana pada saat yang bersamaan transisi usia muda (di bawah 15 tahun) untuk menjadi usia produktif belum sepenuhnya sempurna sehingga tabungan dari usia produktif dialihkan kepada dana jaminan sosial sehingga investasi mengalami stagnasi (Adioetomo, 2005).


Gambar 3 - Proyeksi Demografi Indonesia. Sumber: Badan Pusat Statistik dan UN Statistics

Pada data BPS tentang struktur penduduk Indonesia tahun 2012, penduduk dewasa dan produktif mendominasi struktur penduduk Indonesia dengan angka di kisaran 53%. Dimana pada kelompok usia non-produktif seperti usia anak sekolah dan balita mencapai 40 persen dan kelompok lansia di kisaran 7 persen. Namun, hal ini tidak akan berlangsung lama, karena setelah tahun 2030 angka ketergantungan akan meningkat karena jumlah penduduk usia tua semakin banyak (lihat gambar 3).

Jika kita melihat perubahan piramida penduduk Indonesia pada gambar 4, terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana penduduk di usia produktif semakin banyak di tahun 2010. Hal ini merupakan sebuah indikator keberhasilan program Keluarga Berencana yang berhasil menahan pertumbuhan jumlah penduduk anak-anak (<15 tahun) dan disaat yang bersamaan penduduk usia produktif juga bertambah (yang ditandai oleh gemuknya bentuk piramida bagian tengah).



Gambar 4 - Piramida Penduduk Indonesia 1961-2010. Sumber: slideshare Strategi Pembangunan Nasional, Dadang Solihin, 2012


Korelasi Antara Jumlah Penduduk Indonesia dan Pertumbuhan Ekonomi

Pada dasarnya perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 hingga 2012 tumbuh di bawah rata-rata potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena perekonomian paska krisis didominasi oleh kehilangan permanen dalam output perekonomian atau permanent output loss (POL) (Wasisto, 2015). Permanent output loss ialah kondisi proyeksi ekonomi yang cenderung mengarah pada penurunan tren pertumbuhan ekonomi karena minimnya penyerapan kapital (Cerra 2008, 442). Kondisi pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh POL merupakan implikasi dari resep kebijakan penghematan dari IMF sehingga Pemerintahan Indonesia mengurangi belanja fiskal dan menyebabkan perekonomian terperangkap ke dalam permanent output loss (Friedrich, 2011). Hal tersebut kemudian membuat pemerintah mengurangi pembiayaan pada sektor yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat (seperti infrastruktur) sehingga industri dalam negeri tidak atau sulit berkembang sehingga banyak tenaga kerja yang tidak dapat terserap.

Kondisi makro ekonomi Indonesia juga sepertinya masih belum bisa dikatakan mampu untuk mengakomodir bonus demografi pada tahun 2020-2030 nanti. Beberapa indikator ekonomi belum sepenuhnya mencerminkan bahwa Indonesia siap untuk menyongsong bonus yang hadir mungkin hanya satu kali dalam sejarah suatu bangsa, misalnya dari Indeks PMI Manufaktur yang menggambarkan aktifitas perekonomian di suatu negara. Jika PMI diatas 50%, berarti sektor industri berada dalam ekspansi dan jika PMI dibawah 50%, maka sektor industri berada dalam status resesi atau melambat.


Gambar 5Indeks PMI Indonesia 2013-2017. Sumber: tradingeconomics.com

Jika melihat tren perkembangan indeks PMI ini, kegiatan sektor industri Indonesia masih belum menunjukan ekspansi yang signifikan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara berbasis industri. Hal ini tentu harus menjadi perhatian bagi pemerintah karena pada masa bonus demografi Indonesia akan memiliki labour supply yang melimpah dan apabila proses industrialisasi stagnan, maka potensi peningkatan pengangguran akan sangat terbuka selain hilangnya kesempatan Indonesia untuk memanfaatkan window of opportunity yang langka ini.

Itu merupakan sudut pandang dari sisi industri, lalu bagaimana dengan kesiapan atau kapabilitas tenaga kerja itu sendiri?

Pada struktur ketenagakerjaan Indonesia, terdapat sekitar 44 juta orang yang bekerja di sektor formal (40 persen) dan sekitar 66 juta orang bekerja pada sektor informal (60 persen). Tingkat pendidikan tenaga kerja masih didominasi oleh pekerja berpendidikan rendah dimana ada 54 juta orang (49 persen) merupakan tamatan sekolah dasar dan sekolah menegah pertama mencapai sekitar 20 juta orang atau 18 persen. Sedangkan pekerja yang berpendidikan tinggi hanya sekitar 10 juta orang saja atau 9 persen.[9] Karena mayoritas tenaga kerja termasuk kedalam golongan unskilled workers maka akan ada kecenderungan untuk dibayar murah sehingga akan mengakibatkan kesejahteraan yang menurun.

Tingkat tabungan masyarakat Indonesia juga tidak terlalu tinggi, yakni dikisaran 44 persen pada tahun 2009 menurut data Bank Dunia. Rasio rekening tabungan masyarakat sebanyak 504 per 1000 orang. Masih sedikitnya nominal tabungan penduduk Indonesia di bank karena ada kecenderungan bagi mereka untuk menginvestasikan hartanya berupa ruma, tanah, emas yang nilainya dianggap lebih stabil (Bank Dunia, 2009). Sehingga investasi yang dilakukan di Indonesia akan sulit jika hanya mengandalkan perbankan.

Pemanfaatan bonus demografi dari sisi produksi dan industrialisasi masih menemui banyak hambatan, lalu bagaimana jika ditinjau dari segi konsumsi? Tiga indikator yang mencerminkan kondisi konsumsi masyarakat di Indonesia menunjukan tren yang membuat kita optimis bahwa bonus demografi melalui peningkatan tingkat konsumsi memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi.



Gambar 6 – Kredit Konsumer. Sumber: tradingeconomics.com


Gambar 7 – Keyakinan Konsumen. Sumber: tradingeconomics.com


Gambar 8 – Belanja Konsumen. Sumber: tradingeconomics.com

Kesimpulan

Persiapan Indonesia untuk menyongsong bonus demografi nanti nampaknya belum dilakukan secara maksimal. Terutama dari sisi produksi dan industri. Terlihat dari hal-hal yang bersifat fundamental seperti rasio pekerjaan di sektor informal masih lebih tinggi dibandingkan dengan sektor formal, lalu juga dari sisi human capital dimana sumber daya manusia di pasar tenaga kerja yang mayoritasnya masih merupakan tamatan sekolah dasar-menengah. Kondisi tersebut belumlah kuat untuk menjadi modal Indonesia guna menyambut kesempatan yang hanya 1 kali dalam sejarah. Tetapi, pertumbuhan penduduk memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yakni sekitar 55 persen dari produk domestik bruto. Namun, jika pemerintah hanya mengandalkan konsumsi dari masyarakat saja, Indonesia akan terjebak dalam golongan middle income trap.

Dari kasus bonus demografi di Indonesia, jika dikaitkan dengan teori ekonomi kependudukan maka bisa termasuk mahzab yang pesimis (dari segi produksi) dan optimis (dari segi konsumsi) sekaligus.

Untuk menghadapi kondisi yang vital bagi kehidupan bangsa ini di masa depan. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas penunjang seperti pendidikan dan kesehatan. Sehingga, ketika masa bonus demografi tersebut tiba, sumber daya manusia sudah memiliki kompetensi untuk mempercepat produksi domestik nasional. Untuk mengakomodir tenaga kerja yang ada, maka iklim usaha harus dijaga di level yang baik agar semakin banyak industri yang menanamkan modalnya di Indonesia. Ketika investasi di Indonesia semakin marak, maka diperlukan juga tabungan nasional dimana dalam kasus di Asia Timur pada masa bonus demografi tingkat tabungan masyarakat menjadi andalan dalam melakukan pembiayaan investasi. Program Inkulsi Keuangan dari Otoritas Jasa Keuangan diharapkan bisa meningkatkan jumlah tabungan masyarakat, karena dengan program ini masyarakat yang pada awalnya belum tersentuh produk perbankan menjadi paham dan akhirnya ikut andil dalam proporsi tabungan nasional.

Sehingga, apabila pemerintah dapat menjalankan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia serta peningkatan proses industrialisasi, maka Indonesia akan menjadi negara dengan pendapatan per kapita tinggi dengan memanfaatkan bonus demografi ini. Apabila gagal memanfaatkannya, maka Indonesia berpeluang besar untuk menjadi negara middle income trap.



[1] Perhitungan yang dilakukan oleh David, E Bloo, David Canning dan Jaypee Sevilla (2000) adalah pengalaman berbagai negara. Peforma ekonomi suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
[2] David E. Bloom, David Canning dan Jaypee Sevilla, The Demographic Dividend, Population Matters, Pittsburgh, hlm. 20
[3] Kelompok umur non-produktif (<15 tahun dan >64 tahun) dan umur produktif (15-64 tahun)
[4] Mankiw, Macroeconomics, Worth Publishers,  New York, 2007, hlm.65
[5] https://www.bps.go.id/Brs/view/id/283
[6] https://sp2010.bps.go.id/
[7] https://bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1275
[8] Mankiw, Op.cit. hlm 65
[9] https://bps.go.id/Subjek/view/id/6#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1

Daftar Referensi

- Birdsal, Nancy; Allen Kelley; and Steven Sinding, 2001. Population Matters. New York: Oxford University Press 
- Schultz, Paul; John Strauss, 2008: Handbook of Development Economics. Amsterdam: Elsevier B.V
-  Bloom, David; David Canning; Jaypee Sevilla, 2003: The Demographic Dividend. Pittsburg: RAND
- Clark, Gregory and Gillian Hamilton, 2006: Survival of the Richest: The Malthusian Mechanism in Pre-Industrial England. The Economic History Association.
- Hirschman, Charles, 1984: Economics of Population. Chicago: The University Of Chicago Press Journals
- Adioetomo, Sri Moertiningsih. 2005: Bonus Demografi: Hubungan antara Pertumbuhan  Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: BKKBN
- Badan Pusat Statistik. 2012: Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 28 Maret 2017
- Bank Dunia, 2009. Indonesia 2014 and Beyond: A Selective Look. Jakarta: Bank Dunia. Diakses tanggal 28 Maret 2017
- http://id.tradingeconomics.com/indonesia/indicators. Diakses tanggal 29 Maret 2017
- Friedrich Ebert Stiftung. 2011: Economy of Tomorrow: Indonesia. Yogyakarta: UAJY Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar