Terdampar di sebuah Pulau X dengan hanya bermodalkan
kapal yang rusak akibat terjangan badai dan pakaian yang Fisher, Budi dan Dimas
kenakan membuat mereka kelimpungan. Bagaimana tidak, perjalanan menuju pulau
lain dengan harapan bisa menemukan tempat yang lebih baik dari sebelumnya,
berubah menjadi nestapa yang seutuhnya.
Life must go on, mereka bertiga kemudian mengelilingi pulau guna mencari
sumber potensi yang dapat digunakan untuk setidaknya bertahan hidup. Fisher, yang
dulunya seorang nelayan cukup percaya diri jika di laut yang mengelilingi pulau
ini terdapat banyak ikan. Kemudian, ketika Fisher sedang sibuk membuat jaring
sederhana guna menangkap ikan, Budi dan Dimas pergi ke tengah pulau. Ketika
berkeliling, alangkah bersyukurnya mereka bahwa terdapat banyak sumber daya yang
terkandung di pulau ini. Alhasil, Budi dengan keahlian sebagai peternak merasa
yakin untuk bisa beternak. Dimas juga tidak kalah optimisnya kala mengetahui
tanah di sana sangat cocok untuk ditanami berbagai macam jenis buah-buahan dan
hasil pertanian. Singkatnya, ada sedikit harapan terpancar kepada mereka dari
musibah yang telah dialami.
Pada awalnya, mereka bertiga mengeluarkan segenap
kemampuan mereka untuk mendapatkan hasil dari usahanya. Dengan alat pancing
sederhana, Fisher rela untuk berjam-jam menangkap ikan di bawah terik sinar
matahari walaupun hasilnya tidak sebanyak di masa lalu. Budi masih harus
bersabar untuk merasakan hasil dari usaha ternaknya. Hal yang sama dialami oleh
Dimas, yang harus menunggu waktu yang cukup lama untuk menanti hasil panennya. Segala
kebutuhan dasar mereka bertiga (seperti makan, tempat tinggal dan pakaian)
dikerjakan secara gotong royong. Membuat pakaian serta membangun tempat tinggal
dibuat ala kadarnya ketika mereka ada waktu senggang dari aktivitas utamanya
masing-masing.
Seiring berjalannya waktu, hasil dari pertanian yang
ditekuni oleh Dimas bisa dinikmati. Selain itu, Budi juga bisa menghasilkan output yang menjanjikan dari sektor
peternakan. Demikian juga dengan Fisher yang mampu meng-upgrade peralatan memancingnya sehingga mampu menangkap ikan lebih
banyak dari sebelumnya. Singkat cerita, berkat usaha yang gigih dari mereka,
membuat kehidupan ekonominya lebih baik daripada saat pertama kali menginjakan
kaki di pulau asing ini. Segala kebutuhan yang diperlukan untuk hidup
sehari-hari sudah dapat terpenuhi dengan baik dan bahkan terdapat kelebihan
produksi, sebagian darinya kemudian disimpan dan sebagian yang lain dijadikan
barter. Namun, ketika melakukan transaksi barter, terdapat banyak hambatan. Seperti
dalam setiap transaksinya, nilai barang yang ditukarkan belum tentu nilainya
setara. Nilai satu ekor ikan belum tentu sama dengan nilai 10 apel bukan?
“Hei Dim,, aku
ingin memakan buah, dan kebetulan kamu sedang panen apel. Bagaimana jika 10
apel ini aku ambil dengan memberikan 2 ekor ikan ini kepadamu?” Tawar Fisher kepada Dimas.
“2 ekor ikan
terlalu sedikit jika dibandingkan dengan 10 apelku ini. Bagaimana kalau kamu
memberikan 5 ekor ikan, baru aku mau menukarkan apel ini denganmu.” Dimas membantah tawaran awal Fisher.
*Kemudian negosiasi terus berlanjut..........
Belum lagi jika di antara mereka tidak membutuhkan
barang yang tersedia untuk di barter atau sebaliknya, tidak ada barang yang
diinginkan dalam transaksi barter.
“Aku punya 1
ekor ayam, bagaimana jika kau memberikan 2 ekor ikanmu itu kepadaku?” Tanya Budi kepada Fisher.
“Maaf Bud,
tetapi aku tidak mau memakan ayam hari ini.” Tolak
Fisher atas penawaran dari Budi.
“Lagipula, aku
saat ini menginginkan bebek dibandingkan dengan ayam untuk makan malamku nanti.
Jika kau memiliki seekor bebek, maka aku mau menukarkannya dengan kedua ikanku
ini.” Fisher balik bertanya
kepada Budi.
“Bebek yang ada
saat ini belum bisa untuk aku tukarkan, karena masih diperlukan sebagai induk.”
Pupuslah sudah negosiasi antara
Fisher dan Budi ini.
Tetapi, dari berbagai macam constrain (keterbatasan) yang mereka hadapi, mereka sadar jika setidaknya
mereka bisa bertahan hidup yang awalnya dipandang sebagai sesuatu yang hampir
mustahil. Sehingga, mereka tetap
mengandalkan barter sebagai cara untuk bertransaksi.
Boleh dibilang jika mereka “lebih kaya” (jika
dibandingkan dengan titik awal cerita ini) jika dinilai dari sisi keberadaan
barang-barang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti makanan, rumah
dan lain-lain. Tanpa dibantu dengan adanya bank, uang kertas ataupun sistem
keuangan yang rumit.
Apa yang menjadi batu sandungan kecil saat melakukan
transaksi barter ternyata semakin pelik. Tidak adanya satuan ukur untuk menilai
sebuah barang cukup menyulitkan mereka. Hingga pada akhirnya, datanglah
seseorang dengan kapalnya yang kemudian berlabuh di pantai pulau asing
tersebut. Tak ayal, Fisher, Budi dan Dimas menyambut orang baru ini dengan suka
cita. Karena dianggap sebagai sang penyelamat yang terdeskripsikan dalam doa
mereka. Sambil memohon bantuan atas kesulitan yang dihadapi, mereka kemudian
menceritakan ini kepada pendatang baru yang dikenal sebagai Bobby.
“Baik, saya
mengerti masalah yang kalian alami beberapa waktu belakangan ini. Kebetulan,
saya memiliki sebuah benda yang mampu menjadi solusi atas permasalahan kalian.”
Bobby langsung paham inti masalah
dari tiga kawanan yang terdampar di pulau ini, mungkin juga karena faktor latar
belakang pendidikan di bidang ekonomi yang ditempuhnya.
“Benda apa yang
Anda maksud Bob?” Tanya Fisher
penasaran dengan benda tersebut.
Kemudian, Bobby kembali naik ke kapalnya dan turun
dengan membawa satu dirigen dan sebuah mesin cetak.
“Dengan benda
inilah, persoalan kalian akan terselesaikan” Jawab Bobby dengan menunjuk
benda di dalam dirigen yang diketahui sebagai emas.
“Berarti,
mulai saat ini kita akan menggunakan emas untuk membeli sesuatu?” Tanya
Budi kepada Bobby dengan antusiasnya.
“Tentu tidak,
emas ini akan aku simpan di tempat yang aman. Sebagai gantinya, aku akan
membuat secarik kertas bermotif menarik yang mewakili emas di dirigen ini.” Sanggah Bobby atas pertanyaan Budi.
“Kalian tidak
perlu khawatir, jumlah emas di dalam sini cukup bagi kalian semua untuk
melakukan kegiatan ekonomi sehari-hari.” Ucap Bobby sembari meyakinkan
mereka semua.
“Lalu, kira-kira
berapa nilai yang kalian hasilkan dari memproduksi semua barang ini?” Bobby bertanya.
“Kurang lebih
sekitar Rp 600.” Sahut Fisher
setelah berdiskusi dengan Budi dan Dimas.
Tidak lama kemudian, Bobby menuju mesin cetaknya dan
kemudian mencetak uang hingga mencapai Rp 600. Setelah itu, kemudian dibagikan
kepada mereka bertiga secara rata.
“Potongan kertas
ini mulai saat ini bisa digunakan untuk pembayaran, sehingga kalian tidak perlu
melakukan barter lagi.” Jelas Bobby saat
membagikan kertas yang berfungsi sebagai alat pembayaran yang baru.
“Tetapi, karena
uang kertas ini dibuat oleh saya, maka sayalah yang menjadi pemiliknya. Namun
jangan khawatir, aku bersedia untuk meminjamkan uang ini kepada kalian dan pada
saat kalian mengembalikan uang ini, kalian harus membayar biaya sewa uang ini
(atau yang saat ini kita kenal dengan bunga) sebesar 10% dari total pinjaman
kamu.” Bobby memberikan
penjelasan tambahan kepada mereka.
“Baiklah kalau
begitu Bobby.” Sahut ketiga orang tersebut.
“Karena bisnis
tetaplah bisnis, jika bagi kalian yang gagal dalam membayar utang kepadaku,
maka aku berhak untuk mengambil alih harta kalian.” Kata Bobby tentang
mekanisme peminjaman uang ini.
Di dalam pikiran Fisher, Budi dan Dimas masa depan
akan semakin cerah lagi. Karena transaksi kini akan semakin mudah dan tidak
perlu mengalami masalah saat menggunakan skema barter. Di sisi lain, Bobby juga
bahagia bukan kepalang, mengingat dia hanya dengan mencetak kertas bergambar
namun bisa mendapatkan barang-barang yang ia butuhkan di pulau itu (ketika
mereka gagal melunasi pinjaman mereka. Dan memang Budi dan kawan-kawan sengaja
di desain untuk tidak bisa membayar utang-utangnya).
Fisher, Budi dan Dimas merasakan betapa mudahnya
bertransaksi dengan menggunakan uang kertas ini, tidak ada lagi perdebatan
sengit seperti saat melakukan barter dulu. Perekonomian berputar secara cepat
dan Bobby melihat ini sebagai peluang yang tepat. Sehingga, kemudian Bobby
menelepon 2 kawannya yang merupakan seorang bankir di luar pulau untuk
mengunjungi pulau X.
Setelah beberapa lama kemudian, datanglah kedua
kawannya ini yang bernama Bobo dan Bubu. Saudara kembar yang dikenal sebagai
pebankir handal dari negeri asalnya. Kemudian, mereka bertemu kepada Bobby
untuk membangun struktur finansial yang lebih kompleks daripada saat ini.
Pendek cerita, saudara kembar ini mendirikan bank yang
dinamai Bank BB yang fungsi dasarnya adalah sebagai tempat penyimpanan uang dan
peminjaman (serta pembayaran) utang. Bank BB mengawali perjalanan usahanya
dengan modal sebesar Rp 400. Antusiasme Fisher, Dimas dan Budi yang belum padam
usai mendapatkan solusi alternatif alat pembayaran, kemudian ditambah lagi dengan
disediakannya tempat penyimpanan dan peminjaman uang, membuat 3 sekawan yang
berpendidikan rendah ini kesulitan tidur beberapa hari kemudian karena saking
girangnya dengan diperkenalkannya sistem keuangan yang membawa banyak manfaat.
***
Masa tempo peminjaman ketiga sekawan tersebut sudah
hampir usai. Berarti, mereka harus membayar utang pokok dan bunganya sebesar
masing-masing Rp 220. Padahal, uang yang dibuat oleh Bobby secara keseluruhan
hanya sebesar Rp 600. Sehingga, terjadi kekurangan suplai uang sebesar Rp 60
guna melunasi utangnya. Nasib Fisher kurang beruntung jika dibandingkan dengan
yang lain, dia tidak memiliki uang yang cukup guna melunasi utangnya kepada
Bobby. Fisher pun memohon kepada Bobby untuk menangguhkan pembayarannya,
beruntung sang Bankir sedang berbaik hati, lalu mengiyakan permintaanya.
Karena merasa ditipu dengan sistem ini, 3 sekawan
marah kepada Bobby.. Namun, dengan tenangnya Bobby menyuruh mereka untuk
meminjam uang kembali kepada Bank BB. Agar uang ini masih tetap beredar di
tangan tiga orang ini yang digunakan untuk melakukan transaksi dan membayar
jumlah (bunga) utang yang memang tidak dicetak oleh Bobby.
Kemudian, para sekawan ini meminjam uang kepada Bank
BB. Bank BB juga mengenakan bunga kepada mereka sebesar 10%. Tidak ada pilihan
lain bagi mereka, pilihannya ada dua. Pertama, membayar utang kepada Bobby
dengan uang pinjaman dari Bank BB atau merelakan aset-aset yang mereka bangun
susah payah jatuh ke tangan Bobby. Mereka pun lantas memilih pilihan pertama. Seakan-akan,
tiga sekawan ini terjebak dalam lingkaran setan (Satanic Finance) yang pertama dan kedua, yakni uang kertas berbasis
utang dan riba.
Konflik antara para sekawan dengan Bobby mereda,
kemudian mereka kembali melakukan aktifitas masing-masing. Karena ekonomi masih
tumbuh dengan cepat, maka kemudian Budi dan Dimas memiliki uang yang berlebih
sebanyak Rp 200 per kepala. Kemudian, mereka menitipkannya di Bank BB. Alhasil, total simpanan
Bank BB ini mencapai Rp 800 (Rp 400 merupakan modal Bank BB ditambah
dengan simpanan Dimas dan Budi sebesar Rp 400). Sesuai dengan peraturan awal,
Bank BB boleh hanya menyisihkan 10% dari total simpanan nasabahnya, angka ini
didapat dari pengalaman B bersaudara ini di masa lalu. Kala itu jarang sekali
nasabah yang mengambil uangnya dalam jumlah yang banyak. (istilah riilnya
adalah Giro Wajib Minimum). Lalu sisanya (90%) dapat dipinjamkan kepada nasabah
lain guna mendapatkan profit dari bunga peminjaman uang. Jadi, total uang yang
bisa dipinjamkan kepada nasabah lain sebanyak Rp 720 dan simpanan yang ada di
bank sebesar Rp 80.
***
Fisher rupanya tak puas dengan produktivitasnya saat
ini, dia berniat untuk mempercanggih alat-alat memancing dan kemudian dia
memutuskan untuk meminjam uang kepada Bank BB sebesar Rp 300.
Lalu, Dimas yang membutuhkan uang tunai segera
menuju Bank BB untuk mengambil seluruh uangnya (sebanyak Rp 200). Karena Bank
BB tidak memiliki jumlah uang yang diminta Dimas (bank hanya menyimpan Rp 80),
maka Dimas tidak bisa mengambil uangnya. Tak pelak, Bank BB menjadi sasaran
kemarahan Dimas yang kemudian diikuti dengan kedua kawan lainnya. Mereka
(kembali) merasa dibohongi oleh para bankir namun dengan praktik yang berbeda,
kepercayaan mereka kepada bank seketika runtuh. Praktik perbankan ini dalam
dunia ekonomi disebut sebagai Fractional
Reserve Banking (Satanic Finance nomor
3).
Akhirnya, ketiga sekawan ini sudah muak dengan
permainan yang dibawa oleh para bankir ini, mereka kemudian diusir dari Pulau X
dan para tiga sekawan kembali menata kehidupan ekonominya tanpa para bankir. Walaupun
terasa berat pada awalnya ketika mereka harus kembali menggunakan barter dalam setiap
transaksi. Namun karena mereka merasakan pedihnya menggunakan sistem tersebut,
maka mereka menjalaninya dengan tabah.
*The End*
Sikap yang diambil oleh para 3 sekawan tersebut
sangatlah tepat, karena mereka keluar dari jeratan perbudakan yang dialaminya
sepanjang para bankir datang ke Pulau X. Tetapi, solusi yang dilakukan oleh
ketiga sekawan tersebut memang agak kurang memiliki inovasi. Mereka hanya
melakukan apa yang pernah mereka lakukan sebelum adanya perbudakan. Hal ini
dirasa wajar, karena mereka bukanlah orang-orang yang berpendidikan tinggi.
Apa yang dilakukan oleh para bankir di
masa lalu saat tinggal di Pulau X:
- · Fiat Money berbasis utang
- · Riba
- · Fractional Reserve Banking
Yang memang secara jelas dilarang dalam
kitab suci Agama Islam, Al-Quran.
“Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” QS: Al-Baqarah
276
Dalam Islam, riba walaupun sedikit
kadarnya tetaplah dilarang. Beberapa ahli seperti Bernard Lietaer dan Tarek
el-Diwany mengklasifikasikan dampak utama dari praktik riba dalam perekonomian:
1.
Riba
mensyaratkan pertumbuhan ekonomi yang tidak ada ujungnya walaupun standar hidup
masyarakat tetap konstan
2.
Riba mendorong
kompetisi yang sangat ketat sesama pelaku ekonomi
3.
Riba juga
membuat harta hanya berputar di tangan-tangan kelompok minoritas yang dominan
dari kelompok mayoritas.
Untuk mengukur sektor moneter dengan sektor riilnya,
rumus kuantitas uang Irving Fisher dapat menjelaskan fenomena ini dengan baik:
M x V = P x Q
-
M = Jumlah uang yang beredar -
V = Kecepatan peredaran uang
-
P = Harga dari suatu barang -
Q = Kuantitas barang dan jasa
Dalam persamaan di atas, maka ketika sayap kiri (M x
V) jumlahnya naik, maka harus diikuti oleh sayap kanan (P x T). Begitu pula
sebaliknya. Ketika trisula satanic
finance berlaku, maka kecenderungan jumlah M meningkat sangat lah mungkin,
bahkan harus (dalam cerita tadi, 3 sekawan harus berhutang jika ingin melunasi
utang pokok beserta bunganya). Jika tidak, maka sistem tidak akan jalan seperti
cerita di atas, dimana Bobby menjadi sasaran amarah parah tiga sekawan.
Islam mengenalkan konsep uang dengan menggunakan
Dinar dan Dirham. Kedua benda tersebut (emas dan perak) merupakan sesuatu yang
tidak mudah dibuat dan membutuhkan waktu yang lama. Sehingga, jika dimasukkan
dalam persamaan Fisher di atas, jumlah M tidak meningkat secara drastis. Maka,
ketika sektor riil berkembang, Islam sangat menekankan sekali agar harta tidak
hanya dikuasai atau beredar di golongan minoritas. Sehingga percepatan
perputaran uang juga semakin tinggi karena ruas kanan (M.V) harus sama dengan
ruas kanan (P.T). Akibatnya, poin ketiga dari efek utama riba dapat
diminimalisir demi kemaslahatan umat. Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar