Di
malam yang dingin nan sepi, aku terbangun dari tidurku. Orang-orang disekitarku
tersenyum dan menunjukan raut muka bahagia di wajahnya. Akupun masih belum bisa mengerti kenapa dan
apa maksud ini semua.. Aku masih belum bisa berbuat apa-apa selain menangis dan
tertidur.
Silih
berganti, orang-orang yang ada di sekelilingku bergantian menggendongku. Dari
sekian banyak tangan dan badan yang ku singgah, hanya dekapan ibuku yang paling
membuatku nyaman. Jika ibuku menawarkan ketentraman kepada diriku, lain halnya
dengan dekapan ayahku yang memberikan jaminan keamanan bagiku.
Setelah
sekian lama orang-orang bergantian untuk menggendongku. Aku akhirnya
sedikit-sedikit untuk menyusuri lantai-lantai di rumahku. Bukan lantai keramik
seperti di rumah modern, tetapi hanya batu yang permukaannya sudah dihaluskan.
Bahkan, alas di dapur pun hanya berlapis tanah yang sudah sangat keras. Kadang,
ketika aku merangkak menuju dapur, suara ibuku lantang sekali terdengar. Sambil
berlari, beliau pun langsung menggotongku ke tempat semula.
Melihat
orang-orang di sekitarku tidak ada yang berpindah tempat dengan cara sepertiku,
lalu akupun berusaha meniru apa yang dilakukan mereka, yakni berdiri. Tidak
mudah rupanya, aku masih terlalu takut untuk
berdiri di atas kaki sendiri. Mataku selalu mencari dan menggapai apa
yang bisa aku raih dengan tangan mungilku ini.
Berdiri
saja tidak cukup. Aku hanya bisa terdiam kaku di tempatku berdiri. Lalu
orang-orang terdekatku mulai memancingku untuk berusaha berjalan. Walaupun
sebenarnya, aku masih belum kokoh benar dengan kedua kaki kecilku ini, tetapi
ibu dan ayahku berusaha untuk menghilangkan kelemahanku ini.
Tidak
cukup dengan berlajar jalan di ruang tamu dan ruang tidur, akupun kadang
mencuri kesempatan untuk keluar rumah, menuju pekarangan rumah.
Baru
kali ini, dengan tanpa siapapun yang membopoh diriku, aku bisa dengan bebas berkeliling
di pekarangan rumahku bahwa dunia ini luas. Tidak seperti di rumah yang di
sekati oleh tembok kayu, pemandangan yang indah ini malah disekati oleh pohon-pohon
rindang dan juga bunga-bunga yang elok.
Sungguh,
aku semakin penasaran dengan dunia ini. Lalu, ayah dan juga ibuku mulai sering
mengajakku berkeliling desa tempatku tinggal. Di sepanjang perjalanan, aku disuguhi rumput panjang yang sudah menguning
dan ditanam dengan sekat seperti tangga, yang saat ini ku kenali dengan padi
dan terasering. Selain sawah, telingaku juga dimanjakan dengan suara derasnya
aliran air (yang saat ini ku kenal dengan irigasi) yang kulihat di samping dari
lahan sawah tadi. Setelah beberapa jauh jarak perjalananku, lalu aku bisa
menemukan bahtera air yang sangat banyak dan besar ukurannya. Ibuku bilang, itu
waduk namanya. Yang berguna untuk menghidupi lahan-lahan sawah yang tadi sudah
kulihat sebelumnya.
Lama-kelamaan,
udara semakin mendingin. Ibuku langsung menyarungi tangan dan juga kakiku
dengan kaos tangan dan kaki. Selain itu, aku merasakan perjalanan yang
menanjak. Aku dan kedua orang tuaku lalu berhenti di masjid untuk beristirahat.
Aku bisa melihat betapa indahnya kebun teh namun sedikit terhalang dengan kabut
tipis. Dengan secangkir susu putih hangat, akupun bisa mengurangi rasa dingin
yang melanda tubuhku. Lalu, setelah cukup beristirahat, aku dan orang tuaku
kembali melanjutkan perjalanan.
Jalanan
pun semakin menanjak, dan akhirnya kami tiba di tempat yang orang tuaku maksud.
Ketika aku turun dan berjalan mengikuti orang tuaku, air terjun yang tinggi
menjulang menarik perhatian mataku. Ibuku bilang, bahwa ini merupakan tempat
wisata alam Tawangmangu. Selain itu ada banyak kumpulan kera yang
bergelantungan di atas pohon dan menunggu para pengunjung untuk memberikan
makanan yang mereka bawa.
Tapi
sayangnya, aku ingin bermain di air terjun itu, tetapi karena aku masih kecil
jadi tidak aku masih dalam pengawasan orang tuaku Jadi aku hanya bisa menikmati
sensasi bermain di air terjun dan memberi makan kera di pohon.
Di
sana, aku juga melihat para remaja menggunakan baju mengembang dan helm yang
sedang asyik menunggangi perahu karet.
“Itu
mereka sedang apa bu?” tanyaku kepada ibuku.
“Ooh,
mereka itu lagi main arum jeram dek,” jawab ibuku.
“Adek
boleh ngga main itu?” tanyaku balik sambil menunjuk gerombolan remaja yang
sedang berselancar itu.
“Kamu
belum boleh main itu dek, soalnya kamu masih kecil. Nanti kamu boleh main ya
kalo sudah besar,” tolak ibuku.
“Yahhh,
padahal aku pengen sekali naik itu bu,” balasku dengan memelas
Jadi,
akupun hanya bisa melihat dan merasakan keseruan naik arum jeram dari jembatan
yang melintang di atas sungai ini. Teriakan demi teriakan orang-orang yang
bermain arum jeram seakan-akan tidak ingin kalah dengan suara derasnya air
sungai.
Setelah
puas untuk berwisata alam di Tawangmangu, aku dan keluargaku bergegas pulang.
Akupun kembali disuguhkan dengan kebun teh yang asri nan hijau. Selanjutnya, giliran
lambaian padi yang menguning menandakan bahwa rumahku sudah tidak terlalu jauh
lagi.
Hari
yang menyenangkan tentunya. Bisa keliling desa dengan kesadaran penuh,
membuatku selalu mengingat-ingat hal ini.
Setelah
beberapa hari berlalu, akupun diajak keluar rumah lagi oleh kedua orang tuaku.
Tentu aku antusias sekali mengetahuinya. Apakah kembali ke Tawangmangu? Atau
kah ada tempat baru yang ingin ditunjukan kepadaku? Entahlah, tetapi rasa
ketidaktahuanku membuat aku penasaran mengenai destinasi perjalananku pada hari
ini.
Kembali,
hamparan sawah menjadi pemandangan “wajib” yang harus kulalui ketika aku keluar
dari rumahku. Hal yang wajar, karena rumahku ini terletak di pedesaan yang
berada di kaki gunung Lawu, sehingga air yang kugunakan sehari-hari sangatlah
segar dan masih bisa langsung diminum.
Setelah
beberapa saat berlalu, aku tidak menemui kebun teh yang pernah aku lihat pada
perjalanan sebelumnya. Sawah pun mulai jarang-jarang terlihat, sebagai
gantinya, banyak rumah-rumah yang bangunannya lebih modern jika dibandingkan
dengan rumahku, selain itu terdapat “Ibu, kita sekarang kemana? Ketempat
kemarin?” tanyaku dengan penasaran.
“Bukan
dekk, kita sekarang sedang ingin ke kota,” balas ibuku.
“Emang
bedanya kota dengan desa apa ya bu?” tanyaku lagi.
“Bedanya
itu, kalo di desa lebih banyak sawahnya, kalau di kota adanya gedung-gedung
tinggi. Sawahnya udah jarang-jarang,” jelas ibuku.
“Ooooh
itu bedanya..” gumam ku sambil mengangguk.
Motor
yang ku tunggangi sedang melewati jembatan yang di bawahnya terdapat sungai
yang cukup lebar. “Itu namanya sungai Bengawan Solo dek,” bilang ibuku.
Setelah
melewati jembatan, lalu muncullah tulisan yang membentang lebar di atas,
bertuliskan “Selamat Jalan Karanganyar” dan selang beberapa saat, aku melihat
tulisan “Selamat Datang di Kota Solo”.
Taman
Sri Wedari menjadi objek pertamaku di kota Solo. Di taman tersebut, banyak
sekali para pedagang yang menjajakan jualannya di pinggiran taman. Mulai dari
makanan seperti serundeng, gudeg/krecek, nasi liwet, pecel dan masih banyak
lagi. Ada juga penjual mainan anak-anak. Akupun dibelikan balon dan juga nasi
liwet karena memang sudah memasuki waktu makan siang.
Beruntung,
rindangnya pohon yang berdiri di sekeliling taman membuat udara sejuk. Akupun
bisa bermain dengan saudara sepupuku yang juga ikut bersama om dan tanteku.
Tidak
lama aku berada di taman ini, ibuku langsung bergegas menggendongku yang tengah
terduduk letih di bangku taman. “Mau kemana lagi kita bu habis ini?” tanyaku
kepada ibuku.
“Nanti
kamu akan tahu dek,” balas ibuku tanpa memberitahu tempat tujuan selanjutnya.
Ternyata,
apa yang ibuku katakan tentang perbedaan desa dan kota baru kurasakan dalam perjalanan
dari taman Sriwedari. Sejauh mata memandang, agak sulit menemukan ladang sawah
yang luas, namun digantikan oleh bangunan kokoh seperti rumah penduduk,
pertokoan, pasar dan gedung-gedung lainnya. Kendaraan yang kutemui sangat
banyak jika dibandingkan dengan di jalanan depan rumahku yang kalau sudah lewat
jam 9 malam nyaris jarang sekali ada kendaraan yang berlalu lalang.
Pasar
yang kulihat saat ini jauh lebih rapih dan ramai. Kulihat dari atas motor yang
melaju pelan, di sudut lain banyak sekali kerumunan orang yang sama-sama
memandang ke satu titik. Sehingga, itu membuat ayahku kembali mengarahkan motornya
ke parkiran terdekat.
Ternyata,
kerumunan orang tadi untuk melihat tarian. Ditambah dengan musik yang membuat
hati menjadi nyaman, membuatku dan orang tuaku sejenak untuk menonton tarian
tersebut. Aku mendapat sudut pandang yang bagus karena ayahku rela membopongku
ke pundaknya.
Setelah
acara selesai, orang tuaku langsung menuju pasar yang aku lihat sebelumnya.
Membeli beberapa potong pakaian dan juga makanan. Ibuku bilang, ini merupakan
salah satu pasar yang menjadi ciri khas kota Surakarta, yakni Pasar Klewer.
Jelas aku tidak mengerti kenapa bisa disebut ciri khas, karena yang aku tahu
semua pasar sama saja, walaupun Pasar Klewer ini lebih tertata dan bersih jika
dibandingkan dengan pasar yang ada di desaku.
Mungkin,
karena sudah semua barang didapati oleh orang tuaku, langsung kami bergegas
untuk menuju parkiran motor. “Habis ini kita kemana bu? Tanyaku kepada ibuku.
“Kita
pulang saja nak, hari sudah sore,” ibuku membalas.
Sambil
di perjalanan, aku merasakan perasaan yang gembira sekali. Yahh mungkin karena
biasanya aku hanya melihat sawah dan kebun. Pada perjalanan kali ini aku
menikmati sesuatu yang baru.
Jalanan
semakin padat di sore ini, kulihat banyak kakak remaja-remaja yang sudah keluar
ke jalanan, ditambah dengan maraknya dagangan makanan pinggir jalan yang juga
memiliki banyak pelanggan. Satu hal lagi yang sulit kutemui di desaku.
Tiba-tiba,
ayahku membelokkan motornya ke jalan yang tidak begitu ramai seperti
sebelumnya. Malah, semakin banyak anak remaja yang kulihat di sini. Selang
beberapa saat, aku melihat peris di atasku tulisan “Universitas..” yang
menyambutku untuk datang kesini.
Aku
belum tahu makna kata “Unviersitas”, apakah kota atau desa lain? Setelah motor
yang kunaiki melaju dengan pelan, banyak pohon-pohon rindang yang berdiri tegak
di pinggir jalan. Untuk kesekian kalinya, kami kembali berhenti. Tempat ini
sangat luas, tidak seperti taman yang menjadi tempat kunjungan pertamaku.
Banyak juga orang-orang yang berolahraga di sini, seperti berlari, ada yang
bermain bulu tangkis, sepakbola, dan juga ada yang berfoto-foto ria.
Sambil
duduk-duduk santai di pinggiran jalan, ayah dan ibuku bercerita panjang lebar
mengenai tempat yang sekarang kami singgahi. “Sekarang kamu duduk di kursi
taman kampus Universitas Sebelas Maret, tempat dimana orang-orang yang insyaAllah
sukses dalam kehidupannya nanti nak,” ayahku memulai penjelasannya.
“Selain
itu, kampus ini merupakan kebanggaan kota Surakarta dan desa tempat kita
tinggal, anak orang-orang mampu secara biaya di desa kita melanjutkan
belajarnya disini,” ayahku kembali meneruskan perkataanya.
“Ibu
dan juga ayah berharap, jika kamu nantinya duduk di kursi taman ini sebagai
mahasiswa di kampus ini. Karena kesempatan kami untuk bersekolah di sini telah
lewat, tetapi kamu masih punya kesempatan yang terbuka lebar nak,” ibuku juga
menimpali kata-kata ayahku.
“Iya
bu, yah. Nanti aku akan sekolah disini, aku janji yaa!” jawabku sambil berjanji
kepada orang tuaku.
Matahari
sudah semakin redup, hingga saatnya tiba untuk meninggalkan kampus ini dan
pulang menuju rumah. Sepanjang perjalanan, aku masih terngiang-ngiang mengenai
perbincangan tadi, namun di saat yang bersamaan aku juga sudah berjanji untuk
bersekolah disini, bisa memenuhi harapan orang tuaku yang tidak sempat terwujud.
Belum
sempat aku untuk mengenakan seragam putih-merah seperti teman-teman di sekitar
rumahku, aku harus membantu mengemasi barang-barang yang masih aku perlukan.
Berkali-kali aku bertanya kepada ibu, “kita mau kemana bu?”. Namun, ibuku hanya
bilang kita akan pindah ke tempat yang lebih baik daripada di sini. Yasudah,
aku kembali memasukan barang-barang kesukaanku ke dalam kardus.
Setelah
semua sudah tersusun rapih, aku beserta ayah dan ibuku pamitan kepada mbah
(kakek dan nenek) dan juga para saudaraku yang ada di rumah. Tidak lama, ada bus
kecil yang berhenti di depan pekarangan rumah. Lantas, kami bergegas untuk
masuk ke dalam bus tersebut. “Mau kemana pak?” tanya sang supir bus kepada
ayahku.
“Ke
terminal Tirtonadi mas,” jawab ayahku dengan spontan.
Selang
satu jam, aku tiba di tempat yang dimaksudkan oleh ayahku. Setelah menunggu
beberapa menit, kami langsung menaiki bus yang ukurannya lebih besar daripada
bus yang tadi kunaiki.
Ibuku
berpesan, jika perjalanan ini cukup panjang, jadi ibuku menyuruhku untuk tidur
saja selama perjalanan.
Aku
hanya menghabiskan waktu di perjalanan dengan tidur dan makan saja, ditambah
dengan tempat yang tidak begitu luas membuat perjalanan ini terasa panjang
sekali.
“Bangun
nak, kita sudah sampai,” ujar ibuku seraya mencubit pipiku supaya bisa bangun.
“Ini
di mana bu?” tanyaku penasaran.
“Kita
di kota Depok nak,” jawab ayahku.
Sekilas,
ketika aku menjejakan kaki di kota ini, benar-benar beda sekali dengan kota
Surakarta. Banyak sekali sampah yang berserakan di jalanan, kendaraan yang
jumlahnya banyak sekali hingga sulit untuk bergerak, hingga cuaca yang lebih
panas jika dibandingkan dengan di desaku
Setelah
berjalan beberapa langkah, kami langsung menaiki sebuah mobil yang di desa
dinamakan angkutan desa. Kepadatan kendaraan di kota Depok membuat perjalanan
agak sedikit memakan waktu lebih lama, tapi aku juga penasaran untuk mengetahui
setiap jengkal sudut kota yang aku kunjungi ini.
Akhirnya,
aku dan orang tuaku tiba di depan pintu rumah yang sederhana ini. Ukurannya
jelas jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan rumahku yang ada di desa.
Selain itu, jarak antar rumah sangat berdekatan sekali, berbeda dengan di desa
yang dipisahkan dengan pekarangan yang luas.
Belum
sempat aku mengelilingi kota ini, aku harus pergi ke sekolah pertamaku. Namanya
adalah SDN Beji 7. Di sana, aku bertemu dengan teman-teman yang tidak pernah
kutemui sebelumnya.
Namun, selama bersekolah di sana, aku merasa bahagia karena
ternyata teman-teman di sekolahku sangat ramah dan menyenangkan. Cukup banyak
pengalaman dan kejadian seru (dan mengharukan) ketika aku bersekolah di Beji 7.
Setiap berangkat sekolah, saya dan juga rekan saya harus melewati rumah yang memiliki
anjing. Ketika apes, aku dan rekanku bisa dikejar-kejar oleh anjing tersebut.
Sampai di kelas, aku dan rekanku dianggap mencuri start olahraga duluan.
Dengan
komposisi kelas yang tidak berubah selama enam tahun, aku dan teman-teman
kelasku sudah mengerti luar dalam masing-masing dari kita. Selain ikatan
pertemanan kami, para orang tua kami pun juga memiliki hubungan yang akrab
karena sering bertemu untuk menunggui kami ketika di sekolah.
Lulus
dari SDN Beji 7, aku bersyukur bisa diterima di Sekolah Menengah Pertama Negeri
5 Depok yang letaknya dekat dengan rumahku. Banyak sekali teman-teman dari SDN
Beji 7 yang masih kutemui di sekolah ini. Selama tiga tahun saya bersekolah di
sini, Menurutku di kelas sembilan lahh yang menjadi momen berkesan selama
bersekolah di tingkat SMP. Karena ketika mejalani masa-masa terakhirku di
jenjang pendidikan menengah pertama, aku dapat bertemu dengan kawan-kawan yang
memiliki hobi dan minat yang sama, yakni sepakbola. Dari minat dan hobi yang
sama tersebut lah kami bisa menyatu. Hal tersebut di deklarasikan dengan
lahirnya sebuah nama “Rajagobal” yang merupakan sebuah tim futsal di kelas Sembilanku
dulu. Namun, saat ini kami sudah jarang untuk bermain futsal seperti dulu
karena kesibukan masing-masing dari kami. Namun, dari itu kami juga tetap masih
mengusahakan untuk bertemu, berkumpul satu sama lain ketika hari liburan tiba.
Ternyata,
setelah pengumuman hasil ujian nasional SMP dikeluarkan, nilaiku tidaklah
begitu baik, walaupun tidak buruk juga. Tetapi nilai yang kuraih tidak bisa
mengantarkanku kepada satu kursi di sekolah menengah atas negeri yang ada di
kota Depok. Sehingga, SMA swasta yang letaknya tidak begitu jauh jaraknya dari
rumahku menjadi tempatku bersekolah untuk jenjang atas.
SMA
Sejahtera 1 Depok, itulah sekolah yang kumaksud. Ada banyak teman yang kukenal di
SD dan SMP yang melanjutkan studi di sini. Eki, Farid, Luthfan dan Winda
merupakan temanku dari SD dan SMP yang satu SMA denganku. Membayangkan bersama
mereka untuk dua belas tahun berada dalam satu sekolah yang sama benar-benar
suatu keunikan sendiri, terutama juga dengan Winda yang merupakan teman
sekelasku di taman kanak-kanak.
Selain
itu, ada dua kawanku dari Rajagobal yang bersekolah di SMA Sejahtera 1 Depok,
yakni Ardi dan Feris. Namun, selama tiga tahun menempuh pendidikan di sana, aku
hanya sekelas dengan Eki, itupun hanya setahun, di tingkatan teratas jenjang
pendidikan sekolah.
Namun,
walaupun hanya setahun, tetapi momen-momen yang kulalui benar-benar sangat
mengesankan. Baik canda tawa, semua aku rasakan di masa putih abu-abu ini.
Di
masa yang seharusnya kami mempersiapkan untuk fokus terhadap ujian, kami
sekelas beberapa kali membuat masalah terhadap guru pengajar hingga bimbingan
konseling (untung saja tidak sampai kepala sekolah). Tetapi, hal-hal konyol
yang kami lakukanlah yang membuat hari-hari di SMA ku makin bewarna. Untungnya,
menjelang bulan ujian nasional, kami semua sadar untuk waktunya serius
mempersiapkan ujian.
Saat
input nama perguruan tinggi negeri untuk jalur undangan, aku benar-benar
bingung mengenai pilihan kampus mana yang aku cantumkan di daftar pilihan. Aku
ingat, bahwa aku punya janji dengan orang tuaku bahwa aku akan kuliah di UNS
Surakarta. Tetapi, kampus yang dekat sekali dengan rumahku (hanya membutuhkan
tujuh menit jika naik motor) yakni Universitas Indonesia, juga memiliki daya
tarik sendiri (siapa sih yang menolak untuk bisa kuliah di UI?).
Akhirnya,
aku memilih UNS dengan program jurusan manajemen dan ekonomi pembangunan
sebagai pilihan satu dan dua. Lalu di urutan terakhir, aku cantumkan
Universitas Padjajaran dengan ilmu politik sebaga prodinya. Aku harus mengorbankan
UI pada pilihan kampus di jalur SNMPTN ini, karena jatah untuk mengambil kampus
di luar daerah sudah kuhabiskan untuk UNS (UI termasuk region DKI Jakarta
ketika aku mendaftar di SNMPTN tahun 2014).
Setelah
selesai melalui proses SNMPTN, aku tetap belajar guna mempersiapkan hal yang
terburuk (tidak diterima) pada seleksi non tes tulis ini.
Hari
itu tiba, setelah nilai ujian nasional terbit terlebih dahulu minggu lalu, pada
pukul lima sore ini akan diumumkan hasil SNMPTN. Aku yang sedang berjalan-jalan
di kota pelajar seringkali melihat jam tangan yang terpasang di kiri tanganku. Memasuki
pukul dua sore, aku sudah berada di kamar hotel untuk bersiap melihat hasil
pengumuman itu.
Tab
dan hpku sedang dalam status siaga di masa-masa ini, tab yang kubawa akan
digunakan untuk bisa menerabas masuk ke situs web SNMPTN, lalu hp yang selalu
menemaniku berfungsi untuk mendapati kabar terbaru dari rekan-rekanku.
Ternyata,
beberapa temanku sudah memasang status media sosial atas rasa syukurnya bisa
diterima pada jalur ini. Lalu, aku langsung bergegas meraih tabku untuk membuka
web SNMPTN, namun website tersebut sedang down, berkali-kali kupencet tombol
refresh, hasilnya tetap sama. Di grup kelas dua belasku, ada beberapa anak yang
sudah diterima menjadi mahasiswa PTN di Jakarta.
Namun, jumlah yang tidak lolos
lebih banyak jika dibandingkan dengan rekanku yang diterima.
Setelah
berkali-kali mencoba merefresh namun gagal, akhirnya aku memutuskan untuk
melupakan sejenak (namun justru semakin terngiang-ngiang di kepalaku)
pengumuman SNMPTN ini.
Jarum
pendek jam sudah menunjukan angka 5, aku rasa web SNMPTN sudah tidak down
seperti tadi. Benar saja, aku dengan lancar meluncur ke laman utama web
pengumuman hasil SNMPTN. Terdapat tanggal lahir dan nomor peserta yang harus diinput
untuk melihat hasilnya.
Dengan
perlahan sambil melihat nomor pendaftaran dari hp, aku memasukan data dengan
pasti. Lalu langsung ku tekan tombol oke di bawah nomor pendaftaran.
Dan..
muncul juga laman hasil pengumuman SNMPTNnya. Kata “maaf” terpampang jelas
sebagai penanda bahwa aku tidak lolos pada seleksi ini. Tidak berselang lama,
ayahku meneleponku, menanyakan hasil. Untungnya, reaksi dari kegagalanku tidak
mengecewakannya dalam perbincangan di telepon (atau mungkin disembunyikan? Entahlah).
Pikiranku
langsung menuju SBMPTN dan juga SIMAK UI. Sesampainya di rumah, aku langsung
mengerjakan banyak soal yang terdapat di buku kumpulan soal. Mungkin sebagai
pelampiasanku karena tidak lolos pada seleksi ini. Pilihanku berganti haluan
menjadi Universitas Indonesia, entah kapok atau bukan, aku tidak lagi melihat
UNS sebagai pilihan kampusku pada ujian tulis nanti.
Namun
ketika sudah mengerjakan kedua soal ujian tulis tadi, aku benar-benar tidak
yakin dengan hasilnya. Tidak sedikit soal yang kutembak karena kehabisan waktu.
Padahal, seharusnya aku bisa menjawab soal-soal yang terlewat. Tetapi sudahlah,
aku hanya bisa pasrah saja.
Kata
“maaf” kembali menghiasi laman hasil kedua tes masuk perguruan tinggi. Aku
hanya bisa menerima kenyataan saja, apa persiapanku yang kurang, atau pilihanku
yang terlalu tinggi untuk kugapai. Sempat juga terbesit bahwa aku akan ‘balas
dendam’ di tahun depan.
Hasil
sudah tidak bisa berubah, aku harus ikhlas untuk menerima kenyataan ini. Dan menjadi
mahasiswa peguruan tinggi swasta yang letaknya dipisahkan dengan stasiun kerta
api Pondok Cina bukanlah suatu yang buruk bagiku.
Ketika
aku bertemu teman-teman baruku di kampus, tidak sedikit dari mereka yang juga
merasakan kegagalan dalam test masuk perguruan tinggi negeri. Namun, seiring
berjalannya waktu, kami bisa melupakan kegagalan tersebut dan bisa menjalani
kehidupan di kampus dengan hati yang lega.
Menjelang
hari pembukaan pendaftaran SBMPTN dan SIMAk, pikiranku kembali mengingatkan
jika ada misi yang belum selesai. Beberapa temanku juga membahas tentang ini,
dan niat untuk mengikuti lagi ujian tulis masuk PTN kembali bergelora.
Hari
pendaftaran sudah dibuka, aku masih menunggu jadwal kuliah dengan jadwal test
SBMPTN dan SIMAK. Setelah dipikir-pikir, tak apalah bolos sehari, karena aku
sebelumnya tidak pernah bolos mengikuti perkuliahan. Sontak, aku membuka laman SBMPTN dan SIMAK guna memasukan
data diri, prodi tujuan dan mendapatkan kode verifikasi pembayaran.
Aku
tetap bergeming untuk memilih UI sebagai kampus yang aku tuju pada perhelatan
test masuk PTN ini, dengan jurusan pilihan pertama Ilmu Ekonomi (sama dengan
tahun lalu) dan pilihan kedua Ilmu Ekonomi Islam (pilihan baru di tahun ini).
Setelah
resmi terdaftar sebagai salah satu peserta test SBMPTN, aku langsung membuka
buku modul SBMPTNku yang sudah tersimpan rapi di kardus bersama buku-buku yang
tidak terpakai lainnya.
Jujur,
hal itu membuat konsentrasiku di kampus menjadi terpecah. Karena di kampus aku
masih masuk kelas biasa untuk mempersiapkan Ujian Akhir Semester dua.
Untuk
persiapan ujian test tulis PTN, aku juga tidak bisa all out mempersiapkannya.
Karena seperti yang sudah ku sampaikan, bahawa aku masih memiliki jam di kampus
yang lumayan padat. Tetapi, aku berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk
kedua hal tersebut.
Hari
test pun sudah kulewati semua, untuk soal SBMPTN aku benar-benar lancar
mengerjakannya jika dibandingkan dengan tahun lalu dimana aku sampai menembak
banyak nomor. Sedangkan di SIMAK, soal yang kuhadapi jauh lebih sulit daripada
soal SIMAK tahun lalu dan juga soal SBMPTN yang jadwal testnya lebih dulu.
Selama
menunggu hasil, aku bisa lebih fokus untuk menjalani perkuliahan di Gunadarma.
Entahlah, aku merasa enjoy pada saat itu jika dibandingkan waktu-waktu lain
selama berkuliah di Gunadarma. Tentu juga aku berdoa dengan giatnya untuk
mendapatkan hasil yang terbaik pada test tahun ini.
Di
bulan puasa minggu kedua, pengumuman hasil SBMPTN ditampilkan. Kali ini
pengumuman diluncurkan pada jam lima sore, menjelang berbuka puasa. Aku
memutuskan untuk membuka pengumumannya setelah solat tarawih.
Pulang
dari masjid, kepalaku sudah menuju kepada hasil pengumuman SBMPTN. Setibanya di
rumah, aku langsung menuju kamar dan menyalakan laptop.
Kulihat
lini masa berbagai media sosial lewat hpku, ada yang berbeda. Di tahun lalu,
ada beberapa kawanku yang membagi kebahagiaannya ketika diterima di PTN
impiannya masing-masing. Namun, pada tahun ini kemeriahan itu tidak nampak.
Akhirnya, aku langsung membuka web SBMPTN untuk melihat hasilnya.
Lagi..
kata maaf bewarna merah terpampang di monitor laptopku ini. Pikiran dan jiwaku
tiba-tiba kosong. Walau aku tahu ini merupakan test yang tidak kuharapkan lebih
dari hasilnya, tetapi kenyataannya, aku sangat terpukul sekali setelah membuka
hasil SBMPTN ini.
Yap,
memang masih ada SIMAK UI, tetapi dalam pengerjaan soalnya, aku jauh lebih bisa
mengerjakan soal SBM dibandingkan dengan SIMAK. So, soal yang bisa kukerjakan
dengan lancar saja aku tidak lolos, bagaimana hasil SIMAK dimana aku kesulitan
dalam mengerjakan soal-soalnya.
Tetapi,
segelap-gelapnya suasana hati dengan kegagalan (lagi) dalam SBMPTN, aku masih punya
setitik harapan di SIMAK. Namun, harapan yang terbatasi oleh kenyataan.
Kenyataan jika aku kesulitan dalam menjawab soal-soalnya, membuatku lost hope
untuk menanti hasil SIMAK nanti.
Hari
senin sehabis solat ashar, tepat di minggu terakhir di bulan puasa, ternyata di
lini masa pesan instan LINE memberitahukan jika pengumuman SIMAK dimajukan
menjadi hari ini pukul lima sore. Sontak, adrenalin tubuhku berubah drastis. Rasa
lapar dan haus khas ibadah puasa pun menjadi sirna melihat berita tersebut.
Kulihat di website resmi kampus UI juga memang sudah muncul laman hasil
pengumuman SIMAK. Namun, suasana berbagai media sosial lainnya yang tampak adem
anyem di lini masaku. Mungkin memang rekan-rekanku tidak mengikuti tes ini.
Pola
yang sama dengan waktu pengumuman SBMPTN kulakukan ketika membuka hasil SIMAK,
dengan harapan, aku bisa meminta ketenangan untuk melihat peluang terakhirku
untuk mewujudkan mimpiku menjadi nyata.
Sekitar
pukul sepuluh malam, aku sudah bersedia di depan laptopku lagi. Kubuka Google
Chrome dan selanjutnya, kuketik “SIMAK UI” di kolom pencarian. Cukup lancar,
karena mungkin orang-orang sudah membuka web itu terlebih dahulu.
Kumasukan
email beserta password yang menjadi akun pendaftaran SIMAK. Lagi-lagi, bisa
masuk dengan mulus tanpa hambatan. Kupastikan ini merupakan akun SIMAK yang
baru (padahal di rekomendasikan untuk menggunakan akun yang lama jika ingin
mendaftar). Tujuannya sepele, aku hanya ingin membuka lembaran baru (akun baru)
sambil berharap hasilnya juga akan berbeda.
Setelah
benar jika aku sudah login di akun pendaftaran SIMAK yang terbaru, lalu dengan
perlahan, tangan kananku mengarahkan pointer mouse di laman “lihat hasil
seleksi”. Mataku terpejam sambil kedua tanganku menyangga kepalaku untuk
menunggu laman pengumuman hasil seleksi, serta berusaha menenangkan pikiran dan
hati dengan beristighfar.
Beberapa
detik berlalu, ketika aku sudah yakin jika laman pengumuman sudah muncul di
layar, aku langsung membuka mataku. Dengan pandangan yang masih kabur, aku
melihat sesuatu yang berbeda di laman hasil seleksi ini. Dulu tampilan hasil
pengumumannya begitu simple, namun sekarang terdapat warna hijau yang mencolok
dan tulisan yang panjang.
Aku
berusaha untuk memfokuskan pandangan.. dan ternyata aku bisa lolos pada seleksi
tahun ini! Jantungku berdegup semakin kencang, menandakan bahwa ini merupakan
kejadian yang benar-benar menjadi sejarah dalam hidupku. Langsung ku panggil
ibu yang sedang berada di dapur, lalu kubiarkan beliau untuk melihat layar
laptopku. Sontak, ibuku langsung mengucapkan selamat kepadaku. Selain itu aku
juga bangga bisa menuntaskan janji di masa kecilku, walaupun bukan di kampus
yang sama, dengan yang ibu sebut, dulu kala.
Menjadi
salah satu mahasiswa, di fakultas yang sedikit banyak memberikan kontribusi
bagi bangsa ini, merupakan kebangganku dan juga kebanggaan rekan-rekanku di
fakultas ekonomi UI. Tentu, ini bukan sekedar kebetulan semata, mengutip
pernyataan pak Jossy bahwa kita bertemu di sini adalah by design, rancangan dari yang Maha Kuasa. Sudah barang tentu jika
Allah mempercayai aku dan rekan-rekanku untuk bisa menduduki enam ratus kursi
yang sebelumnya diperebutkan oleh belasan ribu orang…
End
#NewYoungGreyPride #PalingSialJadiMenteri
FEB
UI 2015!!
SIAP!
FEB
UI 2015
KAMI
SIAP!!
FEB
UI 2015
MENJADI
INSPIRASI!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar