Pertumbuhan
ekonomi global belum menunjukan sinar cerahnya, Indonesia tidak bisa mengelak
dari fenomena ini, aktivitas bisnis dan perdagangan juga lesu. Pemerintah
berusaha menggerakan roda perekonomian nasional lewat belanja negara, yang
dimana komponen utamanya (di APBN 2016 mencapai 84%) merupakan dari pajak.
Disaat pajak yang menjadi andalan tidak maksimal karena iklim bisnis yang lesu kurang
darah, amnesti pajak ibarat menjadi ujung tombak pemerintah untuk memompa
pendapatan pemerintah dan tentu menambal defisit anggaran tahun 2016. Tax
amnesty bertujuan untuk melupakan tunggakan wajib pajak di masa lalu dengan
membayar denda, kemudian meningkatkan jumlah wajib pajak di masa depan.
Intinya, lewat kebijakan ini pemerintah berusaha untuk mendapatkan pajak yang
sesuai target di APBN 2016. Lalu, mengapa di (sebagian) masa Khalifah Umar Bin
Khattab, muzakki (orang pembayar zakat) kesulitan untuk membayar zakat (mencari
orang miskin)? Insya Allah akan saya urai satu persatu dalam esai sederhana
ini.
Sejak
pertengahan bulan Juli lalu, Pemerintah telah memberlakukan satu kebijakan yang
mesti melewati lika-liku panjang sejak masih menjadi Rancangan Undang-Undang
(RUU) hingga beleid tersebut akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
untuk menjadi Undang-Undang.
Tax amnesty digadang-gadang
menjadi harapan pemerintah untuk menerima pendapatan ekstra guna menutupi
lubang defisit anggaran di APBN tahun ini dan juga membuka pintu lebar-lebar
bagi para investor yang memarkirkan uangnya di luar negeri (negara surga pajak)
untuk memindahkannya ke dalam negeri (repatriasi aset) yang nantinya digunakan
untuk membangun infrastruktur, diinvestasikan di surat berharga atau aset
lainnya.
Dari
Rp 11.000 triliun uang warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri,
Kementrian Keuangan optimis bisa meraih Rp 165 triliun dari pemberlakuan
amnesti pajak.
“Banyak sekali uang milik orang
Indonesia di luar negeri. Ada data di kantong saya, di Kemenkeu di situ
dihitung ada Rp. 11.000 triliun yang disimpan di luar negeri. Di kantong saya
beda lagi datanya, lebih banyak. Karena sumbernya berbeda,”
ucap Jokowi dalam acara sosialisasi pengampunan pajak di JIExpo 1 Agustus 2016.
Yang saya kutip dari detikcom.
Pernyataan
yang menarik yang keluar dari mulut presiden. Kemudian orang yang usil bertanya: Kenapa WNI lebih memilih
untuk menaruh dana di luar negeri? Atau mungkin bisa juga seperti ini; Apa yang
policy maker lakukan sehingga uang
yang semestinya bisa untuk membangun negeri ini malah dinikmati oleh negara
lain?
Pajak dan Kesadaran Masyarakat
Reformasi
soal perpajakan yang digalakan oleh Direktorat Jenderal Pajak bukanlah tahun
1983 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian bagi masyarakat
untuk memabayar pajak sehingga target negara dalam penerimaan anggaran tercapai.
Salah satu kebijakan yang merefleksikan tujuan tersebut adalah dengan
diberlakukannya self assesment system dalam
undang-undang perpajakan guna memberikan kepercayaan penuh terhadap wajib pajak
untuk menghitung, melaporkan dan membayar pajak sendiri.
Selain
self assessment system, Dirjen Pajak
juga melakukan kampanye peduli pajak, meningkatkan pelayanan kepada wajib
pajak, penyuluhan pajak, hingga pemberian penghargaan kepada wajib pajak yang
patuh setelah sebelumnya hanya diberikan kepada pembayar pajak terbesar.
Untuk
membuat self assessment system berjalan
mulus maka sangat diperlukan kesadaran dari setiap wajib pajak. Namun, di sisi
lain usaha pemerintah lewat pajak dengan memindahkan kekayaan dari yang mampu
kepada yang membutuhkan guna mengentaskan kemiskinan juga tidak berkurang
secara signifikan, padahal penerimaan negara lewat pajak memiliki tren yang
cenderung naik.
Chart
1. Source: Badan Pusat Statistik. Chart diolah.
Chart
2. Sumber: Pajak.go.id. Chart diolah.
Memang,
jika kita hanya melihat penerimaan pemerintah (dalam hal ini khusus pajak) yang
cenderung meningkat tidak menjamin bahwa belanja sosial pemerintah akan ikut membesar.
Karena pos pengeluaran pemerintah juga tidak hanya itu saja. Hal ini coba saya
uraikan dengan grafik perbandingan penerimaan di sektor pajak dengan belanja
sosial di bawah ini.
Chart
3. Source: APBN tahun 2007-2013, Grafik diolah.
Dari
grafik di atas terlihat jelas bahwa pajak yang didapatkan oleh pemerintah
cenderung meningkat, tetapi hal tersebut tidak diikuti oleh belanja sosial
dalam APBN yang malah stagnan. Apakah jumlah anggaran untuk belanja sosial
sudah mencapai titik maksimum sehingga pemerintah tidak meningkatkan alokasi
dana untuk itu? Jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga, jawabannya
cenderung tidak. Mengapa? Dalam data yang dipublish
oleh Asian Development Bank tentang perbandingan belanja sosial di negara Asia
Pasifik, persentase belanja sosial dengan PDB Indonesia masih kalah dengan
negara-negara di kawasan ASEAN, bahkan dengan Timor Leste yang notabene bukan
negara kaya tetapi menduduki peringkat yang sangat baik, yakni di peringkat ke
delapan.
Chart
4
Kebijakan Fiskal yang Salah Arah?
Sejak
reformasi, Indonesia beralih dari kebijakan anggaran berimbang menjadi
kebijakan anggaran defisit. Alasannya adalah untuk mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Karena unsur belanja pemerintah juga termasuk sebagai komponen
perhitungan Gross Domestik Product. Mengapa
demikian, karena sampai saat ini GDP merupakan salah satu indikator ekonomi
makro untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara. Walaupun sebenarnya
banyak yang memiliki pendapat termasuk penulis sendiri bahwa GDP bukanlah
parameter terbaik dalam menentukan negara tersebut makmur atau tidak.
Defisit
anggaran sendiri adalah pemerintah menetapkan anggaran belanja yang lebih besar
dibandingkan dengan penerimaannya, dalam undang-undang ditetapkan batas
maksimum defisit APBN sebesar 2,5%. Tujuannya seperti sudah disebut di awal,
yakni mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang
lazim dilakukan oleh banyak negara-negara di dunia ini, termasuk juga negara
dengan GDP terbesar saat ini, Amerika Serikat.
Namun,
di sisi lain dengan kebijakan anggaran defisit sejak reformasi ini juga
membutuhkan utang untuk menambal shortfall.
Lebih-lebih banyak dari pinjaman publik mengandung bunga atau riba, yang
jelas-jelas dilarang dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 275.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ
وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Hal
tersebut (pembayaran bunga) kemudian menjadi beban bagi anggaran belanja
negara, karena bagaimanapun hutang (ditambah bunga) adalah kewajiban yang musti
dibayar. Tetapi sayangnya, anggaran untuk membayar utang bunga kepada debitur
malah lebih besar jika dibandingkan dengan anggaran untuk sosial. Suatu hal
yang cukup memprihatinkan, uang yang telah rela masyarakat sumbangkan dari
hasil kerja kerasnya, juga dibayarkan untuk sesuatu yang telah Allah haramkan,
bahkan dosa riba termasuk 7 macam dosa besar menurut sabda Rasulullah SAW.
Chart
5. Sumber APBN 2007-2013
Dari
berbagai data yang menguraikan hubungan antara penerimaan pajak dengan
kemiskinan, sulit mengatakan bahwa semakin tingginya pajak maka akan mengurangi
angka kemiskinan, karena salah satu penyebabnya alokasi terhadap belanja sosial
yang masih minim. Akibatnya, hal ini akan berpotensi untuk menurunkan semangat
gotong royong (tidak mau membayar pajak) dari masyarakat dan badan usaha yang
patuh membayar pajak untuk membantu pemerintah mengurangi kemiskinan.
Ketika
pemerintah “nantinya” melakukan ekstentifikasi maupun intensifikasi soal
perpajakan (bahkan hingga wajib pajak merasa keberatan dengan beban pajak)
dengan alasan untuk mengurangi kemiskinan, sebaiknya kita perlu melihatnya
dengan kritis tujuan pemerintah tersebut.
Wajib Pajak (Muslim) Terkena Dua
Kewajiban, yakni Pajak dan Zakat
Zakat
dan pajak masihlah menjadi dua kewajiban yang berbeda di Indonesia, zakat
merupakan sebuah kewajiban keagamaan dan pajak sebagai kewajiban kepada negara.
Hal ini diatur dalam undang-undang yang berbeda. Padahal, subjek pendapatan
wajib pajak pribadi mayoritas hanya ada satu, kalaupun lebih, itu juga sudah
terkena pajak penghasilan maupun juga zakat.
Sumber:
Slideplayer.info
Di
Indonesia, seorang wajib pajak bisa dikenai pajak 30 persen atas
penghasilannya, belum lagi pajak pertambahan nilai 10 persen ketika kita
mengonsumsi barang atau jasa tertentu yang menurut pemerintah bukan kebutuhan
pokok, pajak penjualan, bea cukai, retribusi daerah, pajak bumi dan bangunan,
pajak penerangan, dan pajak badan usaha yang mencapai 25 persen, mungkin masih
ada jenis pajak lain-lainnya. Pemungutan pajak yang berlapis dan belum lagi
kewajiban zakat atas penghasilan yang hanya satu sumber tentu dirasa berat.
Orang
kaya yang pintar (licik) dan juga yang mengerti seluk beluk pajak (atau mampu
membayar konsultan pajak) akan berusaha untuk menghindari atau meminimalkan
tagihan pajak kepadanya. Hal yang lazim dilakukan adalah dengan menaruh uang di
negara-negara surga pajak (tax havens)
seperti Monako, Bahama, Hong Kong, Malaysia, Amerika Serikat ataupun Singapura.
Sedangkan, di sisi lain orang menengah bawah yang tidak terlintas di dalam
benaknya untuk mengikuti jejak orang kaya tersebut hanya bisa menerima
kenyataan. Membayar pajak dengan patuh.
Ini
bukanlah bentuk perlawanan terhadap pajak, namun harus diakui bahwa pajak
merupakan variabel pengurang dari penghasilan dari wajib pajak. Sehingga
pendapatan yang digunakan untuk konsumsi juga berkurang akibat pajak.
Sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika uang pajak itu kembali kepada
masyarakatnya, namun karena pengeluaran untuk utang beserta bunganya yang
cenderung meningkat tiap tahunnya, maka pembayar pajak akan mendapatkan manfaat
yang tidak utuh lagi. Apalagi, jika memang pemasukan pajak pemerintah dijadikan
jaminan untuk mendapatkan utang-utang baru (karena memang APBN mayoritasnya
berasal dari pajak) maka pajak yang diminta di masa depan juga diusahakan
supaya lebih banyak. Tingkat tarif pajak yang tinggi memiliki kecenderungan
untuk mendistorsi iklim usaha atau konsumsi rumah tangga. Buktinya, para
pejabat negeri ini seringkali memberikan pernyataan di media massa (kala
mendeklarasikan Tax Amnesty) jika banyak sekali uang (harta) warga negara
Indonesia yang disimpan di luar negeri, demi menghindari pajak yang relatif
lebih tinggi di Indonesia.
Solusi untuk Permasalahan Ini
Sejarah
mencatat, jika pernah ada sebuah negara yang kesulitan untuk mencari orang
miskin guna menyalurkan uang zakat yang mereka kumpulkan (pada saat
pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz, 717 – 720 M). Sebuah negara di masa keemasan
Islam dan juga sebuah negara yang mendirikan teguh prinsip-prinsip ekonomi
Islam.
Artinya,
negara yang makmur atau setidaknya sebuah negara yang penduduknya tidak
kekurangan harta memang bukanlah mimpi di siang bolong. Pada saat itu, sang
khalifah pada periode awal menjabat langsung melakukan perombakan terhadap
pegawai pemerintah yang korup maupun yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat,
melakukan reformasi baitul mal serta anggaran
dengan memaksimalkan penerimaan dari kharaj
dan jizyah dan di satu sisi juga melakukan
penghematan anggaran.
Tentu
tidak ada larangan bagi (pejabat) Indonesia untuk meniru langkah yang dilakukan
oleh Umar Bin Abdul Aziz yang telah teruji keberhasilannya dalam membangun
pondasi ekonomi yang mantap dalam waktu hanya 3 tahun. Namun, keadaan yang
dihadapi oleh sang khalifah berbeda dengan Presiden Republik Indonesia. Umar
mewarisi negara yang rusak akibat keserakahan dari khalifah sebelumnya tetapi
juga belum menghadapi praktik ribawi (atau lebih pas disebut satanic triangle yang merupakan
perpaduan antara uang fiat, riba dan fraksional
reserve banking) yang generasi saat ini hadapi. Dan menurut saya, keadaan
sekarang jauh lebih pelik dan kompleks untuk menjadikan bangsa Indonesia bangsa
yang makmur –kemiskinan hilang-.
Satanic
Triangle:
1.
Uang
Fiat
2.
Riba
3.
Fraksional
Reserve Banking
Utang
Indonesia per Juli 2016 sebesar 3.359,82
triliun. Atau butuh satu setengah total anggaran belanja negara (dengan
mengabaikan pengeluaran untuk pos-pos lain) untuk melunasi utang tersebut. Malah
tanda-tanda buruk tentang kebijakan fiskal sudah terjadi, yakni defisit
keseimbangan primer yang merupakan jumlah penerimaan yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan pengeluaran minus pembayaran utang bunga. Hal ini terjadi
sejak tahun 2012, dimana keseimbangan primer APBN mengalami defisit Rp 52,7
triliun dan masih berlanjut pada RAPBN 2017 diasumsikan mengalami defisit Rp
111,4 trilliun. Singkatnya, Indonesia
butuh utang untuk membayar bunga utang.
Utang sebesar itu bukanlah jumlah yang bisa dilunasi dalam
waktu yang singkat atau skenario buruknya, utang tersebut memang tidak akan
pernah bisa dilunasi. Toh, mungkin memang merupakan niat dari kreditur hanya
untuk mendapatkan pendapatan dari bunga, yang penting mereka bisa “menguasai”
negara-negara yang menjadi peminjamnya. Jika mengikuti cara-cara konvensional,
utang bisa dilunasi dengan menjual aset (BUMN atau SDA), berhutang lebih
banyak, meningkatkan penerimaan pajak dan kalau sudah terjepit, monetisasi
utang. Masih ada satu lagi yang tertinggal, yakni ngemplang utang.
Keseluruhan cara tersebut benar-benar tidak ada yang nyaman
untuk dilakukan, jikalau menjual aset belum tentu kreditur mau menilai aset
tersebut dengan harga yang pantas. Berhutang lebih banyak juga tidak mengobati
masalah, karena masalahnya adalah utang jadi tidak logis jika dijadikan obat
permasalahan ini. Meningkatkan pajak? Jika masyarakat menerima tidak menjadi
masalah, namun bagaimana jika mereka tidak mau? Revolusi Prancis dan Amerika
Serikat menjadi catatan sejarah pemberontakan soal pajak. Monetisasi utang juga hanya mencekik rakyat karena
akan menjerumuskan nilai uang mereka, kekayaan riil mereka juga menguap, hidup
sengsara. Lalu bagaimana yang terakhir? Mungkin secara langsung tidak berdampak
terhadap masyarakat, namun tentu sang kreditur juga tidak mau “setoran” dari
pajak negara debitur hilang begitu saja, kreditur berpotensi melakukan apa saja
seperti perang tanpa fisik maupun dengan senjata, bukan opsi yang bagus jika
Indonesia ingin berinteraksi dengan negara luar. Keadaan yang rumit, entahlah, Saya
tidak memiliki ide untuk menyelesaikan masalah utang APBN kecuali dengan
menyarankan kepada umat muslim untuk membaca doa bebas utang.
Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan. (QS Al Insyirah
94:5-6).
Mengapa saya fokus kepada pelunasan
utang publik? Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita merasakan hal yang
mengganjal dalam hati (enggak enakan kalau
bahasa kehidupan sehari-hari) dengan orang yang kita pinjam uangnya. Hal yang
sama juga terjadi pada negara, bahkan mungkin lebih buruk, karena kreditur seringkali
mensyaratkan (memaksakan) hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan nurani
bangsa, namun karena posisi debitur yang lemah, tidak ada jalan lain. Contoh
legendarisnya, ketika Indonesia meminjam dana kepada International Monetary
Fund, guna bangkit dari krisis moneter 1997-1998.
Negara yang
benar-benar berdaulat, adalah negara yang tidak memiliki utang kepada pihak
lain, kecuali dengan rakyatnya. Karena definisi negara, adalah sekumpulan
rakyat itu sendiri.
Ini
baru menyinggung poin nomor 2, tentang utang (publik) beserta bunganya. Kedengarannya
terlalu naif jika melihat atau memimpikan sebuah negara tanpa utang. Tetapi,
kenyataannya saat ini, APBN kita sudah mengalami defisit, bahkan defisit
keseimbangan primer. Ini akibat yang harus kita tanggung dengan kebijakan
defisit anggaran. Namun dengan diraihnya kedaulatan penuh, Indonesia bisa mengimplementasikan
kebijakan moneter seperti masa kejayaan Islam. Tanpa uang fiat, tetapi dengan
dinar. Tidak pula dengan fractional
reserve banking yang membuat bank-bank umum bisa mencetak uang dari “ruang
hampa” tergantung dari seberapa besar cadangan uang yang dimilikinya dan
seberapa tinggi reserve requirementnya.
Mengapa
saya ingin membuang dua hal tersebut?
Karena
kedua hal tersebut lah yang membuat uang semakin tidak berharga nilainya.. Yang
menanggung akibatnnya lagi-lagi rakyat. Nilai uang yang mereka pegang sangat
mungkin untuk menguap begitu saja jika memang terjadi ekspansi moneter yang
begitu cepatnya. Mengapa? Karena uang fiat dengan mudahnya dicetak (atau bahkan
tinggal menambahkan bit bit angka di layar komputer saja). Kemudian, bank juga
bisa bisa menambah uang di suatu negara dengan praktik FRBnya tersebut. Kembali
lagi, rakyat kecil lah yang di zhalimi. Mereka hanya bisa mengeluh mengapa
harga-harga barang selalu naik, padahal di satu sisi ada pihak yang memang
“mencuri” dengan halus kekayaan riil mereka. Penjajahan era modern.
Pembelajaran
tentang (asal-usul) uang, walaupun dengan segala kerumitannya, menjadi
pembelajaran yang paling berharga dalam ilmu ekonomi.
Solusinya,
tiru uang yang digunakan ketika Islam berjaya, dinar dan dirham. Memang pasti
akan ada kesulitan tersendiri dengan menggunakan kedua komoditas tersebut.
Namun faktanya 1 dinar di masa Rosulullah dengan masa kini masih mampu untuk
membeli seekor kambing. Itu merupakan bukti betapa dirham merupakan mata uang
lintas zaman yang sudah terbukti daya belinya jika dibandingkan dengan mata
uang Rupiah.
Jika
pada saat Rupiah dirilis pertama kali pada tahun 1946 dan Rp 8,5 ekuivalen
dengan 1 dinar, maka pada saat ini dibutuhkan sekitar Rp 2.100.000 untuk 1
dinar.
Pada
akhirnya, memang banyak ekonom dari berbagai belahan dunia yang memprediksikan
kejatuhan sistem moneter ribawi seperti ini. Untuk itu, tidak ada salahnya
selagi kita diberik nikmat iman dan islam oleh Allah SWT guna mempelajari
ekonomi yang turun langsung dari sang pencipta.
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Daftar Pustaka
The Indonesia Tax In Brief,
Penerbit Dirjen Pajak
Pengusahamuslim.com-tanya-jawab-hukum-pajak
Euis
amalia, Op Cit, hal 49
The Theft Of Nation,
Ahmad Kameel Mydin Meera
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
http://finance.detik.com/read/2016/08/18/111052/3277751/4/pemerintah-ri-berutang-untuk-bayar-bunga-utang-ini-bahayanya