Hakekat
Pemerintah
Semua negara di dunia ini memiliki organsisasi yang
khusus untuk mengurusi kegiatan negara dalam kesehariannya. Dirasa tidak cukup
dengan hanya mengandalkan aparatur negara jika harus masuk ke dalam persoalan-persoalan
yang menimpa daerah (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa untuk
lapisan penamaan wilayah di Indonesia) maka terdapat pula aparatur daerah yang
memfokuskan dirinya untuk memantau, menganalisis hingga menangani suatu masalah
di daerah kekuasaannya (kekuasaan terbatas oleh kekuasaan yang dimiliki rakyat
dalam sistem demokrasi from people to the
people for people). Tugas inti dari pemerintah adalah melayani rakyatnya.
Sulit dibayangkan jika negara atau daerah tidak
memiliki sebuah perangkat yang mengatur keberlangsungan hidup negara yang
bersangkutan. Karena kita selama ini melihat dan mengetahui bahwa peran
pemerintah (dalam hal ini di Indonesia) sangat kentara terasa di Republik ini.
Bayangkan, mulai dari hal-hal vital yang berkaitan dengan hajat hidup orang
banyak seperti listrik, bahan bakar minyak, berbagai jenis pangan yang diatur
sedemikian rupa oleh pemerintah (yang menganut mahzab Keynesian, yang merupakan aliran ekonomi dimana pemerintah harus
ambil peran dalam aktifitas ekonomi negaranya) lewat kekuasaannya untuk
meneribtkan seperangkat aturan seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan turunannya
(Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Meneteri, TAP MPR, Peraturan
Daerah hingga Perturan Gubernur yang kesemuanya merupakan output dari kebijakan publik). Belum lagi berbagai aturan yang
mengatur berbagai macam sendi kehidupan seperti hukum dan HAM, politik maupun
sosial. Dengan keadaan yang seperti itu praktis memang bahwa sulit kemungkinan
jika suatu negara tidak memiliki pemerintahan.
Polemik Tanah
Jakarta yang Menurun
Jakarta, merupakan kota yang memiliki velocity of money hingga sekitar 60-70%
dan angka sisanya, yakni 30-40%
dibagi kepada daerah lain dengan porsi yang berbeda-beda, tergantung dari
kegiatan ekonomi daerah yang bersangkutan seperti apa bentuknya. Dengan kondisi
tersebut, membuat Ibu Kota Indonesia ini begitu seksi bagi para pendatang dari
daerah untuk berbondong-bondong mengadu nasibnya (walaupun orang daerah tidak
tahu atau tidak mengerti bahkan tidak peduli dengan (pengertian dan mekanisme) peredaran
uang yang ada di Jakarta, tetapi hal tersebut tetap tidak menghalangi pandangan
bahwa Jakarta dirasa menjadi tempat yang pas untuk mengubah taraf hidup mereka.
Lalu apa hubungannya dengan peredaran uang yang
tinggi tadi di Jakarta? Jika kita melihat persamaan pertukaran yang ditemukan
oleh Irving Fischer ini, bahwa semakin tinggi jumlah uang (dilambangkan dengan
M) dan diikuti oleh V yang merupakan kecepatan perputaran uang, maka penduduk
yang berada di Jakarta akan memegang uang lebih sering jika dibandingkan dengan
di desa (dengan V yang rendah). Dengan penduduk memegang uang lebih sering maka
kesempatan untuk membeli barang dan jasa semakin sering. Hal ini akan berbalik
keadaanya jika penduduk tetap tinggal di desa dengan aktifitas ekonomi
(dilambangkan dengan M x V) yang rendah (relatif) jika dibandingkan dengan
Jakarta. Maka kesempatan penduduk untuk menaikan kelas ekonominya agak sulit. Kenapa?
Karena jumlah uang yang beredar mayoritasnya hanya berada di Jakarta, bahkan
untuk di daerah persentasenya kecil sekali, hanya 7-10% saja.
Untuk penggambaran yang lebih riilnya, contohnya
seperti di kampung halaman saya, yakni di Karanganyar, Jawa Tengah. Sewaktu
berkunjung kesana di hari-hari biasa, aktifitas pasar tradisionalnya yakni
Pasar Karangpandan (karena pasar merupakan tempat terbaik untuk melihat peredaran
uang atau aktifitas ekonomi secara umum. Tetapi tidak hanya pasar Karangpandan
saja, hal yang sama juga berlaku pada tempat-tempat wisata maupun jajanan di
pusat kabupaten) relatif lebih sepi jika dibandingkan dikala menjelang hari
raya Idul Fitri dimana orang-orang sudah banyak yang tiba di kampung halamannya
dan hal ini juga akan menyemarakkan kegiatan ekonomi di sana, orang-orang yang
merayakan hari raya ini memilik tendensi untuk berbelanja lebih jika
dibandingkan dengan hari-hari biasa. Efeknya, orang-orang yang berjualan
memiliki kesempatan untuk menerima uang lebih sering jika dibandingkan dengan
hari-hari biasanya. Inilah yang menjadi penggambaran mengapa komponen money velocity menjadi salah satu
pemikat (dan penyebab?) kepadatan penduduk di Jakarta. Hal ini juga dapat merefeleksikan
bahwa hari raya Idul Fitri (atau hari besar dan panjang lainnya) dapat menjadi
salah satu cara untuk menyebarkan kekayaan (peredaran uang) yang tadinya
berpusat di Jakarta menjadi di berbagai kota maupun daerah.
Lalu, mengapa saya memasukan unsur peredaran uang
dalam pembahasan kali ini? Peredaran uang menjadi polemik bagi suatu pemerintah
(dalam hal ini Indonesia) karena akan menciptakan kesenjangan antara
kesejahteraan penduduk desa dan kota. Mayoritas uang beredar di Jakarta juga
menjadi akar masalah yang serius untuk diperhatikan sebelum kita memperthatikan
akibat dari masalah yang lahir karenanya (penurunan tanah di Jakarta). Ketika
aktifitas ekonomi mayoritas terjadi di Jakarta, maka para investor atau
perusahaan akan cenderung melakukan ekspansi usahanya di kota yang pada jaman
penjajahan Belanda bernama Batavia ini. Selain itu, yang sudah kita bahas bahwa
penduduk juga akan berbondong-bondong untuk datang ke Jakarta. Kedua hal
tersebut akan menambah pembangunan gedung dan juga berbagai macam infrastruktur
lainnya. Jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti
Bandung, Surabaya, Makassar, maupun Medan, bahwa Jakarta lah kota yang memiliki
gedung pencakar langit terbanyak diantara kota-kota tersebut. Tentu, berdirinya
gedung-gedung tinggi tersebut akan menambah beban bumi untuk menopang
berdirinya gedung tersebut dan selain itu akan meningkatkan eksploitasi air
tanah yang massif, karena kebutuhannya juga besar.
Eksploitasi air yang berlebihan menjadi salah satu
penyebab turunnya tanah di Jakarta. Kemudian terdapat faktor dari luar, yakni
perubahan iklim yang menyebabkan es di kutub mencair, sehingga akan
meningkatkan jumlah air di lautan dan menyebabkan permukaan laut yang semakin
meninggi.
Berbagai upaya nyata sudah dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta untuk merespon kejadian ini, yakni dengan membangun
tanggul di Jakarta Utara yang dimaksudkan agar air laut tidak menggenangi daratan
pesisir Jakarta Utara yang dimana terdapat banyak rumah-rumah warga, pelabuhan
untuk nelayan hingga PLTU Muara Kamal. Lalu, bagaimana dengan solusi dari segi
kebijakan publik yang pemerintah bisa gunakan untuk mengantisipasi bencana ini?
Mengenal Kebijakan
Publik
Sudah sempat disinggung pada bagian awal makalah
ini, bahwa bentuk dari kebijakan publik adalah UUD, UU, Peraturan Presiden dan
lain sebagainya. Kemudian, dari sana kita bisa menyimpulkan bahwa kebijakan publik
adalah suatu konsep atau rancangan dari pemerintah yang behubungan dengan
kepentingan umum. UUD disusun oleh Presiden dan disahkan oleh DPR, begitu pula
PerDA yang merupakan rancangan dari Kepala Daerah kemudian dibahas di DPRD
sebelum disahkan menjadi PerDa yang berlaku di masyarakat. Namun, kebijakan publik
tidak hanya sebatas peraturan saja, tetapi juga dalam rancangan belanja negara
(APBN) dan juga belanja daerah (APBD). Karena rancangan belanja tersebut juga
memiliki kaitannya dengan kepentingan umum (uang dari APBN dan APBD mayoritas
berasal dari pajak yang dipungut dari masyarakat. Kemudian ada beberapa pos
anggaran yang dapat dirasakan betul untuk masyarakat seperti pendidikan dan
masyarakat).
Solusi Kebijakan
Publik untuk Merespon Penurunan Tanah di Jakarta
Ada banyak pihak (terutama kelompok Home Group di
kelas MPKT B – J) yang menawarkan berbagai macam solusi untuk mengatasi problem
serius di kota yang memiliki 13 sungai ini. Mulai dari hal yang kecil nan
sederhana seperti membuat lubang resapan air, kolam penampungan air, sampai biopori.
Ada yang menengah, seperti pembangunan gedung yang menggunakan konsep green building. Selain itu tidak
ketinggalan juga kebijakan yang bersifat pencegahan yakni moratorium
pembangunan (pemberhentian segala aktifitas pembanguan di tempat yang menjadi
sasaran dari moratorium tersebut). Hingga solusi yang sangat wow, yakni
pembangunan Giant Sea Wall (Tanggul raksasa).
Dari keseluruhan solusi di atas, keseluruhannya
terdengar positif. Di sisi lain, juga masuk ranah yang mejadi tema kami, yaitu
kebijakan publik. Karena bagaimanapun, pembangunan tempat penampung air, konsep
green building, hingga megaproyek Giant Sea Wall harus memiliki dasar
hukumnya, tidak bisa asal bangun yang penting jadi. Apalagi hal ini berkaitan
dengan keberlangsungan daerah Jakarta yang diramalkan pada tahun 2030 garis
pantainya berada di Senayan. Kemudian, jika pembangunan tersebut dananya
berasal dari APBD maupun APBN, maka makin menguatkan bahwa solusi yang
ditawarkan masuk ke dalam tema kami.
Kalau di istilah finansial, terdapat istilah too big to fail untuk menggambarkan
betapa buruknya jika institusi keuangan (yang besar) akan bangkrut, efeknya akan
kerasa kemana-mana, berdampak sistemik (istilah yang popular untuk kasus bank
yang bermasalah di tahun 2008). Maka Jakarta,
bisa kami sebut too big to sink. Sulit dibayangkan jika Jakarta tenggelam dan
hilang (separuhnya, karena kawasan Senayan diprediksikan menjadi garis pantai
baru dan sebelah selatannya seperti Fatmawati, Simatupang dan Pondok Indah
menjadi lebih dekat untuk berekreasi di pantai. *semoga prediksinya salah) akan
berdampak sekali terhadap kondisi ekonomi, sosial dan politiknya karena
bagaimanapun segalanya ada di Jakarta minus sumber daya alam. Dengan persentase
peredaran uang yang mencapai 70%, berarti jika Jakarta hilang sebagian dan
aktifitas ekonomi Indonesia berkurang 35%, Indonesia bahkan mengalami lebih
dari sekedar resesi. Tentu saja
pernyataan itu berlebihan, karena Jakarta tidak tenggelam dalam hitungan hari atau
jam. Namun, itu hanya kami gunakan untuk menggambarkan bahwa Jakarta too big to sink.
Oleh karena itu, pemerintah (baik pusat maupun
daerah, walaupun praktis ada desentralisasi, namun semua kantor pemerintah
pusat bahkan Istana Negara terdapat di Jakarta) harus tanggap cepat dalam
merumuskan berbagai macam kebijakan publik entah itu dari segi peraturan maupun
pembangunan.
Tetapi, dari berbagai solusi yang kami ketahui dari
presentasi seluruh HG di kelas. Menurut kami solusi yang cukup efisien adalah
konsep green building dan juga
moratorium pembanguan. Kenapa tidak memasukan pembuatan kolam penampungan air,
biopori maupun pembangunan tanggul raksasa? Mari kita bahas satu persatu.
Sulit sekali untuk menemukan lahan kosong yang luas
dan juga tersebar di penjuru kota Jakarta menjadikan handicap untuk pembangunan kolam penampungan air. Jika hanya
membangun sedikit dan berukuran kecil dimungkinkan jika pembanguna kolam tidak
mencapai titik optimumnya. Padahal manfaat dari pembangunan kolam penampungan
air ini cukup banyak seperti dapat menampung air hujan yang kemudian dapat
dimanfaatkan oleh gedung-gedung untuk dikonsumsi demi mengurangi atau menghilangkan
eksploitasi air tanah yang menjadi salah satu penyebab turunnya tanah di
Jakarta. Kemudian bisa dijadikan tempat penampungan air hujan ketika semakin
terbatasnya ruang terbuka hijau yang salah satu fungsinya untuk menyerap air
hujan karena banyaknya pembangunan gedung.
Biopori, sebenarnya ini merupakan suatu hal yang
harus diinternasilisasikan kepada masyarakat khusunya di DKI Jakarta. Membuat
peraturan daerah untuk mewajibkan pembuatan lubang biopori di lingkungan
sekitar tidak akan berjalan efektif jika masyarakatnya tidak diberikan edukasi
mengenai pengertian dan manfaat yang dihasilkan oleh lubang biopori ini. Terlebih,
kegiatan ini sifatnya seperti sukarela. Artinya dibutuhkan perangkat pemerintah
terbawah (yakni kepala Rukun Tetangga) untuk menjadi pioneer dalam pembuatan lubang biopori tersebut, bisa lewat kerja
bakti bulanan misalnya. Dan yang terpenting adalah, tidak ada paksaan untuk
melakukan hal tersebut. Karena jika lewat peraturan yang dibuat pemerintah
sifatnya adalah memaksa. Jika melanggar, bisa dikenai hukuman. Tentu orang
lebih suka jika tidak dipaksa bukan? Apalagi hal ini berkaitan dengan
keberlangsungan tempat tinggal mereka.
Pembanguan tanggul raksasa, yang biayanya ditaksir
mencapai 450 triliun rupiah ini merupakan proyek yang sangat mahal. Dengan
menggunakan asumsi APBN Indonesia tahun 2016 yang penerimaannya ditargetkan
sebesar Rp 1.822 triliun, berarti pemerintah pusat harus melonggarkan 24,2%
dari pos belanja pemerintah untuk membiayai proyek ini. Hal yang dirasa
mustahil mengingat pada APBN di tahun yang sama diasumsikan defisit hingga
2,15% dari penerimaan negara.
Pembiayaan melalui utang juga dirasa riskan. Apakah
benar jika tanggul raksasa ini bisa menjanjikan pendapatan yang dapat digunakan
untuk mencicil utang nantinya? Mungkin jika nantinya tanggul ini
dikomersialisasikan seperti Palm Island di Dubai akan menghasilkan pendapatan
baru. Berarti kawasan ini hanya eksklusif untuk orang-orang yang berada di
kelas atas? Kemudian orang-orang kecil seperti nelayan akan kehilangan mata
pencahariannya dikarenakan pembangunan pulau baru yang awalnya merupakan tempat
mereka berlayar? Kemudian juga, pembangunan tanggul raksasa hanya akan
mengantisipasi salah satu dari kedua faktor utama penyebab penurunan tanah di
Jakarta, yakni meningkatnya ketinggian permukaan laut. Tanggul raksasa tidak
menyelesaikan masalah dari eksploitasi air tanah secara massif. Lalu, apakah
dengan mengeluarkan Rp 450 triliun ini dirasa efektif jika hanya bisa mengatasi
satu penyebab saja? Entahlah, pemerintah pasti memiliki hitung-hitungan sendiri
mengenai hal ini.
Kami berasumsi bahwa solusi yang kami pilih
merupakan solusi yang applicable dan
murah serta relatif tanpa resiko, yakni konsep green building dan moratorium pembangunan.
Konsep green building menjadi konsep yang murah
karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membangun konsep ini
(asumsi jika pembanguna gedung dilakukan oleh pihak swasta), pemerintah hanya
perlu mengeluarkan peraturan yang memberlakukan agar semua gedung di Jakarta mengikuti
konsep green building. Tentu hal ini
menjadi applicable karena pembuatan
peraturan adalah wewenang dari pemerintah. Lalu, ada moratorium pembangunan. Sama
seperti sebelumnya bahwa kebijakan ini bentuknya adalah seperangkat aturan yang
menyatakan pelarangan pembanguna gedung bertingkat dan ukuran yang besar untuk
mengurangi penyebab turunnya permukaan tanah di Jakarta. Hal ini juga akan
membawa berkah bagi daerah lain karena adanya peralihan pembangunan dari kota
Jakarta ke kota-kota lainnya di Indonesia. Tetapi, jangan lupakan bahwa
pemerintah harus menyiapkan segala fasilitas yang merata di kota-kota besar
lainnya agar menjadi insentif bagi perusaahaan atau investor yang ingin
melakukan pembangunan di daerah tersebut.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya pribadi
berpendapat bahwa pemerintah harus cepat dan cermat dalam memutuskan berbagai
macam solusi yang sudah di bahas oleh para ahli. Karena jika terlambat dalam
memutuskan tindakan, maka Jakarta akan tiada dan kerugian yang tiada tara.